Dalam Hidup, yang Penting Go!
A
A
A
Kata ”motivasi” sekarang ini bagai mantra. Mantra untuk meraih kesuksesan. Sejatinya, supaya lebih maju, kita memerlukan motivasi. Motivasi itu bisa bersumber dari diri sendiri atau orang lain.
Tetapi biasanya kita akan mengalami kesulitan melakukan motivasi kepada diri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan orang lain untuk memotivasi, sehingga kini muncul banyak motivator muda yang laris manis. Motivator muda itu tidak kalah dengan motivator senior yang sering muncul di sebuah stasiun televisi swasta atau di radio. Buku bertajuk 4G for Life yang ditulis Stefanus G Wardjono memberikan warna lain.
Kata ”4G” bukan berarti kelanjutan dari perkembangan teknologi komunikasi 3G tetapi merupakan singkatan dari empat kata mantra Go, Grow, Glow dan Glorify. Dalam menyajikan buku kecil itu, Stefanus membagi empat tahap, yakni Go, Grow, Glow dan Glorify. Apa yang kita inginkan harus mulai dari tindakan (Go ). Jadi, segeralah bertindak dengan melakukan apa pun yang saat ini dapat kita kerjakan.
Tidak perlu berurutan, tidak perlu menunggu selesai tahap demi tahap. Dari mana pun kita bisa mengawalinya, yang penting Go dulu. Dalam merumuskan tentang kerelaan dalam bekerja, Stefanus memberikan kisah seorang biksu muda yang mengeluh lantaran setiap pagi ia disuruh mencuci pakaian milik kepala biara. Padahal semalaman, ia merasa kurang tidur karena harus bermeditasi. Menurutnya, ia ke biara untuk menuntut ilmu dan bukan menjadi seorang tukang cuci pakaian.
Maka, ia mencuci sambil mengomel dan mengeluh saja. Dan akhirnya ia menemui Ajahn Brahm, seorang biksu senior, untuk meminta nasihat. Lalu apa nasihatnya? ”Keluhanmu yang membuat kamu lelah, coba lihat sekarang tanganmu begitu berotot dan kuat, itulah sesungguhnya cara kepala biara melatihmu”. (halaman 28) Selanjutnya, dalam tahap Grow, Stefanus menegaskan bahwa dalam setiap situasi dan kondisi, kita wajib berupaya keras untuk maju, bertumbuh dan berkembang.
Stefanus mengingatkan bahwa pada hakikinya kita adalah pemenang. Ingatlah, kita berasal dari setitik sel yang berhasil mengalahkan jutaan sel lainnya. Hanya sel yang paling cepat bergerak yang bisa mengalahkan sel lainnya. Tuhan sudah menciptakan sistem seleksi alam sedemikian rupa hanya benih-benih yang telah teruji dan lolos seleksi dan menjadi pemenanglah yang dapat tumbuh menjadi makhluk hidup.
Maka sesungguhnya kita semua sudah memiliki mental pemenang setidaknya pada babak penyisihan. (halaman 67) Pada tahap ketiga Glow, Stefanus memberikan gambaran jelas tentang tipe pemberi. Ada tiga tipe pemberi. Pertama, tipe batu karang. Ia harus dipukul dengan keras dan dengan benar, maka ia akan mengeluarkan percikan api yang juga harus ditangkap dengan benar sampai menjadi api.
Hal ini berarti sama saja dengan harus diingatkan terlebih dahulu untuk memberikan. Kedua, tipe karet busa. Ia akan mengeluarkan airnya jika diperas. Semakin diperas semakin banyak ia keluarkan air sampai akhirnya ia sendiri menjadi kering. Tipe pemberi ini, biasanya ia baru memberikan setelah diingatkan berkali-kali. Biasanya tipe kedua ini cenderung tidak peduli dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Tipe ketiga, seperti sarang lebah yang tanpa perlu diperas mengalirkan madu yang manis. Madu yang terus mengalir ini akan memberikan hasil yang lebih baik lagi. Tipe ini biasanya percaya jika dengan memberi ia bisa memberi manfaat kepada orang lain. Singkat kata, jadilah seorang pemberi seperti sarang lebah yang senantiasa siap mengalirkan madu yang manis tanpa perlu diminta.
Dan kita tidak perlu mengingat apa saja yang telah kita berikan. Karena sesungguhnya, hidup yang lebih bermakna manakala kita mampu memberikan manfaat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. (halaman 99) Kemudian dalam menutup tahap akhir yakni Glorify, Stefanus mengingatkan kita akan akhir hidup manusia, yakni kematian.
Jika saja kita tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir dalam hidup, beberapa dari kita mungkin akan menyusun rencana kebaikan untuk menyambut detik-detik hari kematiannya. Beberapa dari mereka akan segera meminta maaf kepada setiap orang yang telah tersakiti. Namun, kematian datang seperti pencuri di malam hari.
Maka, hendaklah kita senantiasa berjaga-jaga, sebab syarat mati tidak harus sakit, syarat mati tidak harus usia tua dan ia tidak menunggu kita siap. Bagi manusia, kematian hanyalah berhentinya hidup fisik, bukan jiwa. Jiwa adalah abadi, hanya berpindah ke dimensi yang berbeda. Kebaikankebaikanlah yang akan menjadi pelita yang menemani dan menerangi perjalanan jiwa ke rumah keabadian.
(halaman 148) Begitulah perjalanan manusia yang minimal harus melalui empat tahap Go, Grow, Glow dan Glorify jika ingin maju, tumbuh dan berkembang. Segalanya hendaknya hanya untuk memuliakan Tuhan. Empat tahap itu telah disajikan Stefanus dengan runtut dengan kisah-kisah nyata meskipun sederhana. Justru inilah yang patut dibaca oleh siapa saja yang ingin maju! Sungguh!
Paul Sutaryono,
Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
Tetapi biasanya kita akan mengalami kesulitan melakukan motivasi kepada diri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan orang lain untuk memotivasi, sehingga kini muncul banyak motivator muda yang laris manis. Motivator muda itu tidak kalah dengan motivator senior yang sering muncul di sebuah stasiun televisi swasta atau di radio. Buku bertajuk 4G for Life yang ditulis Stefanus G Wardjono memberikan warna lain.
Kata ”4G” bukan berarti kelanjutan dari perkembangan teknologi komunikasi 3G tetapi merupakan singkatan dari empat kata mantra Go, Grow, Glow dan Glorify. Dalam menyajikan buku kecil itu, Stefanus membagi empat tahap, yakni Go, Grow, Glow dan Glorify. Apa yang kita inginkan harus mulai dari tindakan (Go ). Jadi, segeralah bertindak dengan melakukan apa pun yang saat ini dapat kita kerjakan.
Tidak perlu berurutan, tidak perlu menunggu selesai tahap demi tahap. Dari mana pun kita bisa mengawalinya, yang penting Go dulu. Dalam merumuskan tentang kerelaan dalam bekerja, Stefanus memberikan kisah seorang biksu muda yang mengeluh lantaran setiap pagi ia disuruh mencuci pakaian milik kepala biara. Padahal semalaman, ia merasa kurang tidur karena harus bermeditasi. Menurutnya, ia ke biara untuk menuntut ilmu dan bukan menjadi seorang tukang cuci pakaian.
Maka, ia mencuci sambil mengomel dan mengeluh saja. Dan akhirnya ia menemui Ajahn Brahm, seorang biksu senior, untuk meminta nasihat. Lalu apa nasihatnya? ”Keluhanmu yang membuat kamu lelah, coba lihat sekarang tanganmu begitu berotot dan kuat, itulah sesungguhnya cara kepala biara melatihmu”. (halaman 28) Selanjutnya, dalam tahap Grow, Stefanus menegaskan bahwa dalam setiap situasi dan kondisi, kita wajib berupaya keras untuk maju, bertumbuh dan berkembang.
Stefanus mengingatkan bahwa pada hakikinya kita adalah pemenang. Ingatlah, kita berasal dari setitik sel yang berhasil mengalahkan jutaan sel lainnya. Hanya sel yang paling cepat bergerak yang bisa mengalahkan sel lainnya. Tuhan sudah menciptakan sistem seleksi alam sedemikian rupa hanya benih-benih yang telah teruji dan lolos seleksi dan menjadi pemenanglah yang dapat tumbuh menjadi makhluk hidup.
Maka sesungguhnya kita semua sudah memiliki mental pemenang setidaknya pada babak penyisihan. (halaman 67) Pada tahap ketiga Glow, Stefanus memberikan gambaran jelas tentang tipe pemberi. Ada tiga tipe pemberi. Pertama, tipe batu karang. Ia harus dipukul dengan keras dan dengan benar, maka ia akan mengeluarkan percikan api yang juga harus ditangkap dengan benar sampai menjadi api.
Hal ini berarti sama saja dengan harus diingatkan terlebih dahulu untuk memberikan. Kedua, tipe karet busa. Ia akan mengeluarkan airnya jika diperas. Semakin diperas semakin banyak ia keluarkan air sampai akhirnya ia sendiri menjadi kering. Tipe pemberi ini, biasanya ia baru memberikan setelah diingatkan berkali-kali. Biasanya tipe kedua ini cenderung tidak peduli dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Tipe ketiga, seperti sarang lebah yang tanpa perlu diperas mengalirkan madu yang manis. Madu yang terus mengalir ini akan memberikan hasil yang lebih baik lagi. Tipe ini biasanya percaya jika dengan memberi ia bisa memberi manfaat kepada orang lain. Singkat kata, jadilah seorang pemberi seperti sarang lebah yang senantiasa siap mengalirkan madu yang manis tanpa perlu diminta.
Dan kita tidak perlu mengingat apa saja yang telah kita berikan. Karena sesungguhnya, hidup yang lebih bermakna manakala kita mampu memberikan manfaat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. (halaman 99) Kemudian dalam menutup tahap akhir yakni Glorify, Stefanus mengingatkan kita akan akhir hidup manusia, yakni kematian.
Jika saja kita tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir dalam hidup, beberapa dari kita mungkin akan menyusun rencana kebaikan untuk menyambut detik-detik hari kematiannya. Beberapa dari mereka akan segera meminta maaf kepada setiap orang yang telah tersakiti. Namun, kematian datang seperti pencuri di malam hari.
Maka, hendaklah kita senantiasa berjaga-jaga, sebab syarat mati tidak harus sakit, syarat mati tidak harus usia tua dan ia tidak menunggu kita siap. Bagi manusia, kematian hanyalah berhentinya hidup fisik, bukan jiwa. Jiwa adalah abadi, hanya berpindah ke dimensi yang berbeda. Kebaikankebaikanlah yang akan menjadi pelita yang menemani dan menerangi perjalanan jiwa ke rumah keabadian.
(halaman 148) Begitulah perjalanan manusia yang minimal harus melalui empat tahap Go, Grow, Glow dan Glorify jika ingin maju, tumbuh dan berkembang. Segalanya hendaknya hanya untuk memuliakan Tuhan. Empat tahap itu telah disajikan Stefanus dengan runtut dengan kisah-kisah nyata meskipun sederhana. Justru inilah yang patut dibaca oleh siapa saja yang ingin maju! Sungguh!
Paul Sutaryono,
Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
(bbg)