Lima Tahun Berpuasa di Lokasi Pengungsian
A
A
A
Hariati Sitepu, 40, warga Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Karo, Sumatera Utara, berjalan menuju dapur umum di subuh yang dingin pada Kamis (18/6) dini hari.
Di hari pertama Ramadan itu, ibu dua anak ini hendak bekerja menyiapkan sahur untuk para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung yang menghuni kamp penampungan. Udara dingin yang menusuk tulang tak menghalangi Hariati dan ibu-ibu lainnya untuk menyiapkan menu sahur sederhana di lokasi pengungsian di Jambur, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat itu. Meski terlihat mengantuk dan letih, Hariati dan ibu-ibu lainnya tampak sigap menyiapkan sahur dengan menu seadanya.
Berselang 30 menit kemudian, menu untuk sahur pun siap disantap. Setelah memanjatkan doa, ratusan pengungsi yang terdiri atas orang tua, remaja, dan anak-anak mulai bersantap sahur sembari bercerita ringan tentang kehidupan, kondisi anak-anak, dan kampung halaman yang mereka tinggalkan setelah mengungsi. Rasa persaudaraan dan kebersamaan terasa kental di lokasi dapur umum berukuran 5 x 5 meter tersebut.
Bagi Hariati dan ratusan umat Islam lain yang menghuni kamp penampungan, ini adalah tahun kelima mereka menjalankan ibadah puasa di tempat itu. ”Sejak tahun 2010 hingga sekarang ini, kami selalu menjalani puasa dan berlebaran di pengungsian. Setiap bulan Ramadan pasti mengungsi. Enggak tega aku melihat anak-anak yang masih kecil ini,” ungkap Ati, panggilan akrab Hariati, sambil berlinang air mata. Ati yang pagi itu mengenakan jilbab putih bercerita, sebelum bencana datang kembali, mereka sudah hidup nyaman di desa dengan kembali mengolah lahan pertanian.
Mereka juga sudah bisa mengumpulkan uang. Namun amukan Gunung Sinabung untuk kesekian kalinya kembali memaksa mereka meninggalkan rumah dan harta benda untuk mengungsi. ”Sedih mengawali puasa di pengungsian seperti sekarang ini. Harapan kami mudah-mudahan Gunung Sinabung tidak mengamuk lagi, biar kami bisa pulang. Di sini sulit, mau salat saja kami bingung di mana tempatnya. Kami harap pemerintah dapat menyediakan ruang untuk kami beribadah,” sebutnya.
Erupsi Gunung Sinabung yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menyisakan penderitaan berkepanjangan bagi warga Kabupaten Karo, terutama yang bermukim di sekitar kawasan lereng gunung. Cobaan terasa berlipat karena pengungsi yang beragama Islam harus menjalani ibadah puasa di pengungsian dengan kondisi penuh keterbatasan.
”Harapan kami ke depannya masalah pengungsi diperhatikan, termasuk gizi, terutama bagi mereka yang muslim karena harus berpuasa,” ujar Sekretaris Desa Kuta Rayat, Sastrawan Ginting.
RIZA PINEM
Kabanjahe
Di hari pertama Ramadan itu, ibu dua anak ini hendak bekerja menyiapkan sahur untuk para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung yang menghuni kamp penampungan. Udara dingin yang menusuk tulang tak menghalangi Hariati dan ibu-ibu lainnya untuk menyiapkan menu sahur sederhana di lokasi pengungsian di Jambur, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat itu. Meski terlihat mengantuk dan letih, Hariati dan ibu-ibu lainnya tampak sigap menyiapkan sahur dengan menu seadanya.
Berselang 30 menit kemudian, menu untuk sahur pun siap disantap. Setelah memanjatkan doa, ratusan pengungsi yang terdiri atas orang tua, remaja, dan anak-anak mulai bersantap sahur sembari bercerita ringan tentang kehidupan, kondisi anak-anak, dan kampung halaman yang mereka tinggalkan setelah mengungsi. Rasa persaudaraan dan kebersamaan terasa kental di lokasi dapur umum berukuran 5 x 5 meter tersebut.
Bagi Hariati dan ratusan umat Islam lain yang menghuni kamp penampungan, ini adalah tahun kelima mereka menjalankan ibadah puasa di tempat itu. ”Sejak tahun 2010 hingga sekarang ini, kami selalu menjalani puasa dan berlebaran di pengungsian. Setiap bulan Ramadan pasti mengungsi. Enggak tega aku melihat anak-anak yang masih kecil ini,” ungkap Ati, panggilan akrab Hariati, sambil berlinang air mata. Ati yang pagi itu mengenakan jilbab putih bercerita, sebelum bencana datang kembali, mereka sudah hidup nyaman di desa dengan kembali mengolah lahan pertanian.
Mereka juga sudah bisa mengumpulkan uang. Namun amukan Gunung Sinabung untuk kesekian kalinya kembali memaksa mereka meninggalkan rumah dan harta benda untuk mengungsi. ”Sedih mengawali puasa di pengungsian seperti sekarang ini. Harapan kami mudah-mudahan Gunung Sinabung tidak mengamuk lagi, biar kami bisa pulang. Di sini sulit, mau salat saja kami bingung di mana tempatnya. Kami harap pemerintah dapat menyediakan ruang untuk kami beribadah,” sebutnya.
Erupsi Gunung Sinabung yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menyisakan penderitaan berkepanjangan bagi warga Kabupaten Karo, terutama yang bermukim di sekitar kawasan lereng gunung. Cobaan terasa berlipat karena pengungsi yang beragama Islam harus menjalani ibadah puasa di pengungsian dengan kondisi penuh keterbatasan.
”Harapan kami ke depannya masalah pengungsi diperhatikan, termasuk gizi, terutama bagi mereka yang muslim karena harus berpuasa,” ujar Sekretaris Desa Kuta Rayat, Sastrawan Ginting.
RIZA PINEM
Kabanjahe
(ars)