Waspada TV UHD Palsu
A
A
A
Tingginya minat terhadap TV Ultra High Definition (UHD) di pasar ternyata mengakibatkan dampak negatif. Yakni, beredarnya TV UHD yang tidak sesuai standar internasional.
UHD adalah panel dengan minimum standar resolusi 3840 piksel x 2160 garis (8,3 megapixels, rasio aspek 16:9). Sejak 2013, PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) sudah mulai agresif bermain di segmen ini. Menurut Corporate Marketing Director PT SEIN Jo Semidang, segmen TV UHD tumbuh hampir 100% disaat market FPTV hanya tumbuh 13% dibanding tahun lalu.
”Konsumen semakin tertarik dengan TV UHD bukan hanya karena resolusinya 4x lebih tinggi dari Full HD, melainkan juga menampilkan detail gambar, kontras warna dan tingkat brightness yang lebih tinggi,” ungkapnya. Menurut Jo, saat ini UHD tidak lagi ”teknologi masa depan” atau premium, melainkan sudah menjadi fitur standar . ”TV dengan panel UHD sudah mendominasi pasar, sama ketika Full HD menggantikan HD,” katanya.
Bahkan, 16 dari 30 varian TV yang sudah dan akan diluncurkan Samsung tahun ini termasuk dalam kategori UHD, dengan layar mulai 40 inci hingga 88 inci, serta harga antara Rp9 jutaan sampai Rp250 jutaan. ”Pasarnya sudah sangat matang. Harganya juga kian terjangkau,” ungkap Jo. Dalam membeli TV, lanjut Jo, konsumen selalu menginginkan teknologi terbaru.
”Dari pada TV Full HD, mereka lebih memfavoritkan UHD karena pengalaman menonton yang jauh lebih baik,” ungkapnya. Sayangnya, pasar yang semakin berkembang ini memunculkan pilihan TV UHD yang tidak sesuai standar internasional. TV yang mulai bermunculan sejak 1- 2 bulan terakhir itu menggunakan RGB White untuk menambahkan jumlah piksel, mengakibatkan kualitas gambar memiliki kontras warna dan tingkat brightness lebih rendah dibanding TV UHD sebenarnya.
”Resolusi yang digunakan UHD TV yang tidak sesuai standar internasional itu ada yang hanya2880piksel x 2160 piksel dan 6,2 juta piksel, dibawah standar internasional TV UHD menurut Consumer Electronics Association (CEA) di Amerika dan Digital Europe (DE) di Eropa yang sebesar 3840 x 2160 piksel dan 8,3 juta piksel,” ungkap Jo. Karena itu, Jo mengimbau agar konsumen lebih berhati-hati ketika ingin membeli TV UHD.
”Harus ada edukasi ke konsumen. Karena ketika mereka (konsumen) membeli TV UHD, seharusnya mereka juga mendapatkan eksperiens UHD, bukan sebaliknya,” ia menambahkan. Apa dampak ketika konsumen membeli TV UHD palsu? Pertama, menurut Jo, standar resolusi UHD tidak terpenuhi. Sehingga konsumen tidak mendapatkan resolusi UHD sebenarnya. Kedua, teknologi RGBWhite tidak mampu mendefinisikan warna dengan baik.” TV UHD tidak sesuai standar ini memakai teknologi RGBWhite untuk menghemat biaya. Tapi, sub piksel putih di RGBWhite membuat brightness (kecerahan) maupun colour definition (warna) menurun,” ungkapnya.
Lalu, bagaimana konsumen membedakan UHD palsu dan asli? Menurut Jo, ada dua cara paling mudah. Pertama, mencermati sertifikasi berupa logo UHD resmi keluaran DE dan CEA. ”Logo tersebut sudah kita benamkan di dalam produk TV UHD Samsung mulai pekan depan,” papar Jo. Cara kedua adalah dengan memotret layar TV UHD yang akan dibeli menggunakan smartphonedan melakukan perbesaran hasil gambar hingga 8 kali.
Perbesaran hasil gambar TV UHD palsu akan menampilkan pola Red-Blue-Green-White, sementara di TV UHD polanya Red- Blue-Green. Ketiga, cermati juga soal harga. Harga TV UHD palsu umumnya lebih murah.”Jika TV UHD Samsung ukuran 55 inci dibanderol Rp45 juta-Rp55 jutaan, harga TV dengan RGBWhite bisa dibawah Rp30 juta,” paparnya. ”Karena itu, konsumen harus lebih jeli dalam memilih TV UHD agar mereka dapat menikmati pengalaman menonton berkualitas UHD yang sebenarnya,” pungkasnya.
Danang arradian
UHD adalah panel dengan minimum standar resolusi 3840 piksel x 2160 garis (8,3 megapixels, rasio aspek 16:9). Sejak 2013, PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) sudah mulai agresif bermain di segmen ini. Menurut Corporate Marketing Director PT SEIN Jo Semidang, segmen TV UHD tumbuh hampir 100% disaat market FPTV hanya tumbuh 13% dibanding tahun lalu.
”Konsumen semakin tertarik dengan TV UHD bukan hanya karena resolusinya 4x lebih tinggi dari Full HD, melainkan juga menampilkan detail gambar, kontras warna dan tingkat brightness yang lebih tinggi,” ungkapnya. Menurut Jo, saat ini UHD tidak lagi ”teknologi masa depan” atau premium, melainkan sudah menjadi fitur standar . ”TV dengan panel UHD sudah mendominasi pasar, sama ketika Full HD menggantikan HD,” katanya.
Bahkan, 16 dari 30 varian TV yang sudah dan akan diluncurkan Samsung tahun ini termasuk dalam kategori UHD, dengan layar mulai 40 inci hingga 88 inci, serta harga antara Rp9 jutaan sampai Rp250 jutaan. ”Pasarnya sudah sangat matang. Harganya juga kian terjangkau,” ungkap Jo. Dalam membeli TV, lanjut Jo, konsumen selalu menginginkan teknologi terbaru.
”Dari pada TV Full HD, mereka lebih memfavoritkan UHD karena pengalaman menonton yang jauh lebih baik,” ungkapnya. Sayangnya, pasar yang semakin berkembang ini memunculkan pilihan TV UHD yang tidak sesuai standar internasional. TV yang mulai bermunculan sejak 1- 2 bulan terakhir itu menggunakan RGB White untuk menambahkan jumlah piksel, mengakibatkan kualitas gambar memiliki kontras warna dan tingkat brightness lebih rendah dibanding TV UHD sebenarnya.
”Resolusi yang digunakan UHD TV yang tidak sesuai standar internasional itu ada yang hanya2880piksel x 2160 piksel dan 6,2 juta piksel, dibawah standar internasional TV UHD menurut Consumer Electronics Association (CEA) di Amerika dan Digital Europe (DE) di Eropa yang sebesar 3840 x 2160 piksel dan 8,3 juta piksel,” ungkap Jo. Karena itu, Jo mengimbau agar konsumen lebih berhati-hati ketika ingin membeli TV UHD.
”Harus ada edukasi ke konsumen. Karena ketika mereka (konsumen) membeli TV UHD, seharusnya mereka juga mendapatkan eksperiens UHD, bukan sebaliknya,” ia menambahkan. Apa dampak ketika konsumen membeli TV UHD palsu? Pertama, menurut Jo, standar resolusi UHD tidak terpenuhi. Sehingga konsumen tidak mendapatkan resolusi UHD sebenarnya. Kedua, teknologi RGBWhite tidak mampu mendefinisikan warna dengan baik.” TV UHD tidak sesuai standar ini memakai teknologi RGBWhite untuk menghemat biaya. Tapi, sub piksel putih di RGBWhite membuat brightness (kecerahan) maupun colour definition (warna) menurun,” ungkapnya.
Lalu, bagaimana konsumen membedakan UHD palsu dan asli? Menurut Jo, ada dua cara paling mudah. Pertama, mencermati sertifikasi berupa logo UHD resmi keluaran DE dan CEA. ”Logo tersebut sudah kita benamkan di dalam produk TV UHD Samsung mulai pekan depan,” papar Jo. Cara kedua adalah dengan memotret layar TV UHD yang akan dibeli menggunakan smartphonedan melakukan perbesaran hasil gambar hingga 8 kali.
Perbesaran hasil gambar TV UHD palsu akan menampilkan pola Red-Blue-Green-White, sementara di TV UHD polanya Red- Blue-Green. Ketiga, cermati juga soal harga. Harga TV UHD palsu umumnya lebih murah.”Jika TV UHD Samsung ukuran 55 inci dibanderol Rp45 juta-Rp55 jutaan, harga TV dengan RGBWhite bisa dibawah Rp30 juta,” paparnya. ”Karena itu, konsumen harus lebih jeli dalam memilih TV UHD agar mereka dapat menikmati pengalaman menonton berkualitas UHD yang sebenarnya,” pungkasnya.
Danang arradian
(ars)