Yang Tua yang Telantar?
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Indonesia saat ini masih berbangga sebagai negara dengan angkatan kerja muda dalam jumlah relatif besar.
Hal ini dianggap sebagai alasan mengapa Indonesia perlu bergegas meningkatkan produktivitas pekerja agar jangan sampai Indonesia masuk ke dalam ”jebakan kelas menengah” (middle income trap). Kondisi dengan, pertama- tama, tingkat pertumbuhan ekonomi sangat dinamis, tetapi kemudian melambat dengan cepat pula sehingga gagal mengantar negara ke tingkat penghasilan tinggi.
Sudut pandang itu cukup dominan dianut para pengambil keputusan era Presiden Joko Widodo. Presiden menekankan perlunya perbaikan iklim usaha dan daya saing. Dalam kampanye dia pernah mengusung ide perbaikan sistem teknologi dalam pengelolaan bisnis dan investasi. Nawacitayangdigaungkannya punmengutip perlunya penegakan hukum yang bebas dari korupsi dan tepercaya, lagi-lagi demi mendukung perbaikan perekonomian di Indonesia sehingga negeri ini lebih berdaulat secara ekonomi.
Bahkan ada istilah revolusi karakter bangsa yang antara lain juga diterjemahkan sebagai langkah yang diperlukan untuk keluar dari ”jerat” ketidakberdayaan di tengah potensi ekonomi yang sesungguhnya besar. Sayangnya ada satu sisi penting dari republik ini yang luput dipertimbangkan jika hanya itu sudut pandang kita dalam melihat angkatan kerja di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus 2010 mengungkap bahwa jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas yang kini 18,1 juta jiwa akan meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 33,7 juta jiwa pada tahun 2025 dan di tahun 2035 menjadi 48,2 juta. Ratarata usia penduduk pun akan bergeser dari waktu itu 27,2 tahun menjadi 33,7 tahun. Temuan ini konsisten dengan masalah terkini dari TNP2K di kantor Presiden di mana per 2013 diperkirakan sudah terdapat 20 juta jiwa penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun.
Sejumlah provinsi yang sukses menekan angka kelahiran (dan kemiskinan) telah menjadi provinsi yang menua dengan cepat juga. Artinya ruang gerak kita untuk sekadar fokus pada mengejar pertumbuhan ekonomi telah makin sempit. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, Indonesia akan masuk dalam kategori negara yang menua. Dalam negara yang menua, sejumlah hal patut menjadi perhatian. Penuaan penduduk erat kaitannya dengan morbiditas (derajat sakit), meningkatnya kebutuhan akan layanan kesehatan, turunnya produktivitas dalam pekerjaan, dan akhirnya perlambatan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi makro.
Kualitas hidup seorang lansia ditentukan oleh kemampuannya melalui masa-masa sulit tersebut dengan tingkat penghasilan yang menurun. Menurut studi Evi Arifin (2012), sejumlah kabupaten/kota di Pulau Jawa termasuk yang cepat menua, antara lain Gunung Kidul, Wonogiri, Kulon Progo, Klaten hingga Sragen. Daerahdaerah tersebut lebih banyak yang tergolong miskin.
Daerah yang tergolong sangat muda penduduknya contohnya Batam, Bontang, Murung Raya, Mamuju Utara dan Kutai Timur; daerah yang justru belum cukup dikelola. Artinya, kita tidak bisa lagi berpikir sekadar sampai pemilu 2019. Sepuluhtahunadalahwaktu yang sangat singkat. Kita perlu mengantisipasi perubahan pola sosial dan ekonomi dalam masyarakat, termasuk juga karena para mitra kerja sama ekonomi dan investasi akan mempertimbangkan faktor penuaan tadi.
Saat ini pemerintah belum cukup sigap merespons tren penuaan tersebut. Sampai saat ini perhatian pemerintah pada kelompok usia tua terbatas pada para pensiunan pegawai negeri sipil. Per 4 Juni 2015, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33/2015 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya. PP tersebut mengatur angka nominal terendah yang diterima seorang pensiunan (yakni Rp1.051.800 bagi pensiun janda/duda PNS, Rp1.486.500 bagi pensiun janda/ duda PNS yang telah mangkat, dan Rp297.300 bagi orang tua PNS yang telah mangkat).
Selain itu ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 38/2015 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/ Tunjangan Bulan Ke-13 bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI, Polri, pejabat negara dan penerima pensiun/tunjangan. Sudut pandang kebijakan di atas masih sebatas memberi peningkatan nominal dan bukannya memberi kecukupan bagi kebutuhan seseorang ketika sudah menua.
Kualitas hidup lansia yang tidak bisa lagi dianggap produktif di sektor publik maupun swasta belum menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan. Fokus perhatian masih pada perbaikan taraf hidup hari ini. Tidak jelas perhitungannya untuk pengadaan pajak yang mendukung keberlanjutan program. Lebih penting lagi, kedua kebijakan tersebut hanya menyentuh para pegawai dan pensiunan sektor publik.
Padahal mayoritas penduduk Indonesia justru hidup dari sektor swasta, bahkan lebih dari 80% berwirausaha, bekerja tanpa kontrak kerja, dan tanpa penghasilan bulanan yang tetap. Sebagainegara demokrasi, Indonesia patut menyadari sejumlah standar internasional tentang perlunya menjaga kelayakan hidup warga negara.
Kelayakan hidup tersebut menyangkut perhatian pada perbaikan akses kesehatan, fasilitasi bagi lansia yang sakit atau tanpa keluarga, serta penyediaan fasilitasfasilitas publik yang ramah lansia. Sesungguhnya itulahyangdipahami secara internasional sebagai bagian dari prinsip kewarganegaraan (citizenship ). Segala kegiatan bernegara dan layanan publik patut mengarah pada kebersamaan sosial (social inclusion) di mana tak satu pun orang, termasuk lansia, telantar.
Saat ini sebenarnya sudah ada kerangka program nasional untuk mengembangkan jaring pengaman sosial bagi pensiunan di sektor swasta, yakni yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (badan layanan umum yang merupakan transformasi dari BUMN PT Jamsostek). Program ini diberi payung UU 40/2004 dan UU 24/2011. Per 1 Juli 2015 sebenarnya program nasional tersebut diwajibkan secara hukum untuk diterapkan secara nasional.
Sayangnya, sampai hari ini belum ada peraturan pemerintah tentang penerapan kedua UU tersebut, terutama yang terkait soal pensiun. Pada 5 Juni 2015 sempat beredar informasi bahwa Presiden sedang dalam proses memutuskan tarif premi pensiun; paling lambat 8 Juni akan keluar peraturan pemerintahnya. Sampai sekarang aturan itu belum keluar juga. Yang memprihatinkan adalah kebimbangan ini disinyalir lagi-lagi karena soal sudut pandang pemerintah yang belum utuh melihat tren nasional ke arah penuaan tadi.
Sudut pandang yang dominan adalah pertimbangan dari para pengusaha yang ingin memperkecil iuran pensiun (menjadi 1,5% upah dari dulu 3,7% upah) karena alasan perekonomian melambat. Di sisi lain para aktuaris dan ahli bidang pensiun yang duduk di Dewan Jaminan Sosial Nasional dan di Kementerian Tenaga Kerja sudah menghitung secara profesional tentang angka kontribusi yang paling mungkin diterapkan saat ini, yakni 5% dari pengusaha (ditambah 3% dari pekerja).
Harapannya agar nominal dana pensiun yang diterima setelah mengiur 15 tahun terbilang masih cukup untuk memenuhi biaya hidup masa itu. Prediksi inflasi, angka harapan hidup dan biaya kesehatan sudah dihitung di sana. Hasilnya, pemerintah bergeming. Dalam kondisi seperti ini, patut saya sampaikan observasi dari seorang ekonom senior Prof Grenville dari Lowy Institute di Australia tentang kondisi bisnis di Indonesia.
Ia mengamati bahwa mayoritas perusahaan besar di Indonesia hidup dari tabungan. Bahkan perusahaan besar yang sudah go-public di pasar modal memilih untuk menanamkan sahamnya di perusahaan sendiri dan bukan di perusahaan atau sektor usaha lain. Artinya upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi belum didukung perilaku dunia usaha.
Di tingkat mikro, kecenderungannya adalah untuk mengandalkan kekuatan sendiri dibandingkan mengembangkan jejaring yang berpotensi memperkuat basis usaha dalam jangka panjang. Dengan kecenderungan seperti itu, Prof Grenville mengingatkan bahwa itulah sebabnya terbentuknya dana pensiun nasional menjadi sangat penting.
Dana tersebut menjadi pegangan angkatan kerja karena perusahaan memilih untuk mengandalkan kemampuan diri sendiri dan perspektifnya masih jangka pendek. Artinya risiko jatuh bangunnya perusahaan menjadi suatu keniscayaan. Kalau para pekerja (dan majikannya) tidak dibiasakan untuk menabung untuk masa tua, masa produktif hari ini tidak akan membantu Indonesia mempersiapkan diri memasuki masa penuaan yang tak lebih dari 10 tahun lagi.
Pemerintah perlu sigap dan segera mengantisipasi jangan sampai Indonesia menjadi tua tanpa kepastian sumber dana untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Indonesia saat ini masih berbangga sebagai negara dengan angkatan kerja muda dalam jumlah relatif besar.
Hal ini dianggap sebagai alasan mengapa Indonesia perlu bergegas meningkatkan produktivitas pekerja agar jangan sampai Indonesia masuk ke dalam ”jebakan kelas menengah” (middle income trap). Kondisi dengan, pertama- tama, tingkat pertumbuhan ekonomi sangat dinamis, tetapi kemudian melambat dengan cepat pula sehingga gagal mengantar negara ke tingkat penghasilan tinggi.
Sudut pandang itu cukup dominan dianut para pengambil keputusan era Presiden Joko Widodo. Presiden menekankan perlunya perbaikan iklim usaha dan daya saing. Dalam kampanye dia pernah mengusung ide perbaikan sistem teknologi dalam pengelolaan bisnis dan investasi. Nawacitayangdigaungkannya punmengutip perlunya penegakan hukum yang bebas dari korupsi dan tepercaya, lagi-lagi demi mendukung perbaikan perekonomian di Indonesia sehingga negeri ini lebih berdaulat secara ekonomi.
Bahkan ada istilah revolusi karakter bangsa yang antara lain juga diterjemahkan sebagai langkah yang diperlukan untuk keluar dari ”jerat” ketidakberdayaan di tengah potensi ekonomi yang sesungguhnya besar. Sayangnya ada satu sisi penting dari republik ini yang luput dipertimbangkan jika hanya itu sudut pandang kita dalam melihat angkatan kerja di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus 2010 mengungkap bahwa jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas yang kini 18,1 juta jiwa akan meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 33,7 juta jiwa pada tahun 2025 dan di tahun 2035 menjadi 48,2 juta. Ratarata usia penduduk pun akan bergeser dari waktu itu 27,2 tahun menjadi 33,7 tahun. Temuan ini konsisten dengan masalah terkini dari TNP2K di kantor Presiden di mana per 2013 diperkirakan sudah terdapat 20 juta jiwa penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun.
Sejumlah provinsi yang sukses menekan angka kelahiran (dan kemiskinan) telah menjadi provinsi yang menua dengan cepat juga. Artinya ruang gerak kita untuk sekadar fokus pada mengejar pertumbuhan ekonomi telah makin sempit. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, Indonesia akan masuk dalam kategori negara yang menua. Dalam negara yang menua, sejumlah hal patut menjadi perhatian. Penuaan penduduk erat kaitannya dengan morbiditas (derajat sakit), meningkatnya kebutuhan akan layanan kesehatan, turunnya produktivitas dalam pekerjaan, dan akhirnya perlambatan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi makro.
Kualitas hidup seorang lansia ditentukan oleh kemampuannya melalui masa-masa sulit tersebut dengan tingkat penghasilan yang menurun. Menurut studi Evi Arifin (2012), sejumlah kabupaten/kota di Pulau Jawa termasuk yang cepat menua, antara lain Gunung Kidul, Wonogiri, Kulon Progo, Klaten hingga Sragen. Daerahdaerah tersebut lebih banyak yang tergolong miskin.
Daerah yang tergolong sangat muda penduduknya contohnya Batam, Bontang, Murung Raya, Mamuju Utara dan Kutai Timur; daerah yang justru belum cukup dikelola. Artinya, kita tidak bisa lagi berpikir sekadar sampai pemilu 2019. Sepuluhtahunadalahwaktu yang sangat singkat. Kita perlu mengantisipasi perubahan pola sosial dan ekonomi dalam masyarakat, termasuk juga karena para mitra kerja sama ekonomi dan investasi akan mempertimbangkan faktor penuaan tadi.
Saat ini pemerintah belum cukup sigap merespons tren penuaan tersebut. Sampai saat ini perhatian pemerintah pada kelompok usia tua terbatas pada para pensiunan pegawai negeri sipil. Per 4 Juni 2015, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33/2015 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya. PP tersebut mengatur angka nominal terendah yang diterima seorang pensiunan (yakni Rp1.051.800 bagi pensiun janda/duda PNS, Rp1.486.500 bagi pensiun janda/ duda PNS yang telah mangkat, dan Rp297.300 bagi orang tua PNS yang telah mangkat).
Selain itu ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 38/2015 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/ Tunjangan Bulan Ke-13 bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI, Polri, pejabat negara dan penerima pensiun/tunjangan. Sudut pandang kebijakan di atas masih sebatas memberi peningkatan nominal dan bukannya memberi kecukupan bagi kebutuhan seseorang ketika sudah menua.
Kualitas hidup lansia yang tidak bisa lagi dianggap produktif di sektor publik maupun swasta belum menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan. Fokus perhatian masih pada perbaikan taraf hidup hari ini. Tidak jelas perhitungannya untuk pengadaan pajak yang mendukung keberlanjutan program. Lebih penting lagi, kedua kebijakan tersebut hanya menyentuh para pegawai dan pensiunan sektor publik.
Padahal mayoritas penduduk Indonesia justru hidup dari sektor swasta, bahkan lebih dari 80% berwirausaha, bekerja tanpa kontrak kerja, dan tanpa penghasilan bulanan yang tetap. Sebagainegara demokrasi, Indonesia patut menyadari sejumlah standar internasional tentang perlunya menjaga kelayakan hidup warga negara.
Kelayakan hidup tersebut menyangkut perhatian pada perbaikan akses kesehatan, fasilitasi bagi lansia yang sakit atau tanpa keluarga, serta penyediaan fasilitasfasilitas publik yang ramah lansia. Sesungguhnya itulahyangdipahami secara internasional sebagai bagian dari prinsip kewarganegaraan (citizenship ). Segala kegiatan bernegara dan layanan publik patut mengarah pada kebersamaan sosial (social inclusion) di mana tak satu pun orang, termasuk lansia, telantar.
Saat ini sebenarnya sudah ada kerangka program nasional untuk mengembangkan jaring pengaman sosial bagi pensiunan di sektor swasta, yakni yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (badan layanan umum yang merupakan transformasi dari BUMN PT Jamsostek). Program ini diberi payung UU 40/2004 dan UU 24/2011. Per 1 Juli 2015 sebenarnya program nasional tersebut diwajibkan secara hukum untuk diterapkan secara nasional.
Sayangnya, sampai hari ini belum ada peraturan pemerintah tentang penerapan kedua UU tersebut, terutama yang terkait soal pensiun. Pada 5 Juni 2015 sempat beredar informasi bahwa Presiden sedang dalam proses memutuskan tarif premi pensiun; paling lambat 8 Juni akan keluar peraturan pemerintahnya. Sampai sekarang aturan itu belum keluar juga. Yang memprihatinkan adalah kebimbangan ini disinyalir lagi-lagi karena soal sudut pandang pemerintah yang belum utuh melihat tren nasional ke arah penuaan tadi.
Sudut pandang yang dominan adalah pertimbangan dari para pengusaha yang ingin memperkecil iuran pensiun (menjadi 1,5% upah dari dulu 3,7% upah) karena alasan perekonomian melambat. Di sisi lain para aktuaris dan ahli bidang pensiun yang duduk di Dewan Jaminan Sosial Nasional dan di Kementerian Tenaga Kerja sudah menghitung secara profesional tentang angka kontribusi yang paling mungkin diterapkan saat ini, yakni 5% dari pengusaha (ditambah 3% dari pekerja).
Harapannya agar nominal dana pensiun yang diterima setelah mengiur 15 tahun terbilang masih cukup untuk memenuhi biaya hidup masa itu. Prediksi inflasi, angka harapan hidup dan biaya kesehatan sudah dihitung di sana. Hasilnya, pemerintah bergeming. Dalam kondisi seperti ini, patut saya sampaikan observasi dari seorang ekonom senior Prof Grenville dari Lowy Institute di Australia tentang kondisi bisnis di Indonesia.
Ia mengamati bahwa mayoritas perusahaan besar di Indonesia hidup dari tabungan. Bahkan perusahaan besar yang sudah go-public di pasar modal memilih untuk menanamkan sahamnya di perusahaan sendiri dan bukan di perusahaan atau sektor usaha lain. Artinya upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi belum didukung perilaku dunia usaha.
Di tingkat mikro, kecenderungannya adalah untuk mengandalkan kekuatan sendiri dibandingkan mengembangkan jejaring yang berpotensi memperkuat basis usaha dalam jangka panjang. Dengan kecenderungan seperti itu, Prof Grenville mengingatkan bahwa itulah sebabnya terbentuknya dana pensiun nasional menjadi sangat penting.
Dana tersebut menjadi pegangan angkatan kerja karena perusahaan memilih untuk mengandalkan kemampuan diri sendiri dan perspektifnya masih jangka pendek. Artinya risiko jatuh bangunnya perusahaan menjadi suatu keniscayaan. Kalau para pekerja (dan majikannya) tidak dibiasakan untuk menabung untuk masa tua, masa produktif hari ini tidak akan membantu Indonesia mempersiapkan diri memasuki masa penuaan yang tak lebih dari 10 tahun lagi.
Pemerintah perlu sigap dan segera mengantisipasi jangan sampai Indonesia menjadi tua tanpa kepastian sumber dana untuk memenuhi kebutuhan hidup.
(ars)