Polri Nilai BW Permainkan Hukum
A
A
A
JAKARTA - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menilai pencabutan gugatan praperadilan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) sebagai langkah yang telah mempermainkan hukum.
Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Victor Edison Simanjuntak pun menyesalkan sikap BW tersebut. ”Itu main-main namanya,” kata Victor di Mabes Polri, Jakarta, kemarin. Kekecewaan Victor wajar sebab pihaknya telah melakukan penghargaan terhadap upaya hukum BW untuk mengajukan permohonan praperadilan.
Penghormatan itu dilakukan dengan menunda pelimpahan tahap II berkas BW ke Kejaksaan Agung (Kejagung) sampai proses praperadilan selesai. ”Kita orangnya fair . Kita kasih kesempatan, malah dicabut lagi,” katanya. DisisilainVictormenandaskan, keinginan Polri untuk menuntaskan polemik kasus BW melaluipengujianperkaradipraperadilan tidak terwujud. Menurut Victor, putusan praperadilan terhadap kasus BW dapat menunjukkan kepada masyarakat kebenaran yang sesungguhnya.
”Kita ingin menunjukkan ke masyarakat kalau kita tidak main-main di depan hukum. Mari dibuktikan di praperadilan,” tandasnya. Dengan pencabutan permohonan praperadilan BW ini, Polri sudah tidak memiliki pertimbangan lagi untuk menunda pelimpahan tahap II. Victor mengaku akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan kuasa hukum Polri sebelum memutuskan untuk melakukan pelimpahan tahap II. ”Akan saya tanyakan kepada mereka dulu, jika memungkinkan, langsung saja tahap II,” ujarnya.
Joel Baner Toendan selaku kuasa hukum Polri turut menyesalkan pencabutan permohonan praperadilan BW. Terlebih, alasan yang dipakai untuk mencabut permohonan tersebut cenderung melecehkan wibawa pengadilan. Seolah institusi itu tidak bisa independen dan adil terhadap perkara yang diputuskannya. ”Mencabut itu hak. Tapi, jangan suudzon dengan pengadilan dan Polri. Kalau memang punya bukti, diuji di pengadilan,” katanya.
Joel pun menepis tudingan bahwa pihaknya bersekongkol dengan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam beberapa penanganan perkara praperadilan yang memenangkan pihak Polri. Menurut dia, kemenangan Polri dalam beberapa kasus praperadilan justru menunjukkan Polri selalu mengedepankan fakta hukum dan bukti dalam penanganan perkara seseorang yang dapat diuji di pengadilan.
”Kalau kita tidak percaya kepada pengadilan, lalu siapa yang memutus? Pengadilan memutus berdasarkan fakta dan bukti,” tandasnya. Kemarin BW resmi mencabut permohonan praperadilan atas penangkapan dan penersangkaan dirinya oleh Polri. Ada beberapa pertimbangan BW terkait keputusannya mencabut permohonan. Abdul Fickar Hadjar selaku kuasa hukum BW menilai, berdasarkan fakta-fakta, proses persidangan, serta putusan praperadilan dalam beberapa kasus seperti persidangan Novel Baswedan atau perkara lain seperti praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, Ilham Arief Sirajuddin, dan Hadi Poernomo di PN Jakarta Selatan, putusan hakim telah menyimpang dan berada di luar nalar hukum.
”Mengupayakan praperadilandalamkasusKPKvsPolridiPN Jaksel seperti sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya,” ungkap Abdul Fickar. PN Jaksel, menurut dia, telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi. Berdasarkan eksaminasi beberapa putusan, Abdul menilai, tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan. Ketiadaan standar itu juga menyangkut hukum acara praperadilan yang sampai saat ini belum juga dibuat Mahkamah Agung (MA).
”Proses praperadilan yang tujuannya menguji proses, tetapi menjadi ajang untuk penilaian pokok perkara yang sebenarnya bukan kewenangan hakim praperadilan,” katanya. Berdasarkankenyataantersebut, kata Abdul, kuasa hukum mendesakMA segera tanggapdengan membuat standar dan hukum acara yang jelas terkait praperadilan. ”Bisa berupa surat edaranMA (sema) atauperaturan Mahkamah Agung (perma),” sebutnya.
Terkait langkah yang akan ditempuh BW selanjutnya seusai pencabutan praperadilan, Abdul Fickar mengaku masih akanmendiskusikandengantim. Namun, Abdul tidak menampik, meski sudah dicabut beberapa kali, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan mengajukan kembali permohonan sebelum pelimpahan tahap II perkara BW oleh Bareskrim dilakukan. Yang jelas, kata Abdul, pihaknya akan meminta Kejagung menghentikan kasus BW. ”Kalau berkas nanti dilimpahkan, kan sudah hak Kejagung. Nanti kita akan minta jaksa agung menghentikan perkara,” ungkapnya.
Sementara itu, MA menegaskan pihaknya tidak akan mengeluarkan peraturan (perma) maupun surat edaran (sema) untuk mengakomodasi praperadilan. Hukum acara praperadilan sudah sangat jelas dan tidak ada yang mesti diatur lebih lanjut dalam perma maupun sema. ”Apa kira-kira yang mesti diatur? Acara praperadilan itu sederhana sekali. Orang mengajukan permohonan kemudian diproses tentukan hakimnya, lalu tanggapan termohon kemudian pembuktian dan putusan. Jadi yang mau diatur dalam perma atau sema itu yang mana? Ini yang susah,” ungkap juru bicara MA Suhadi.
Suhadi menerangkan, setiap putusan yang diputuskan hakim dalam praperadilan semuanya bergantung pada alasan permohonan sehingga tidak bisa disamaratakan bunyi putusannya. Hakim pun tidak bisa membatasi alasan seseorang dalam mengajukan praperadilan karena itu kebebasan tiap individu yang berkepentingan. Misalnya, dalam kasus perdata itu intinya hanya dua yakni wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH).
Tetapi, alasannya itu ada ribuan sehingga hakim akan mendengarkan dalilnya dulu lalu tanggapan tergugat baru dapat ditemukan hukumnya oleh hakim, apakah melanggar UU atau tidak. ”Nah, praperadilan juga begitu. Sama yang digugat itu kan Pasal 77, tapi kenapa bisa ada yang ditolak dan dikabulkan? Karena, intinya itu gugatannya macam-macam. Alasannya beragam,” paparnya.
Khoirul muzzaki/ nurul adriyana
Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Victor Edison Simanjuntak pun menyesalkan sikap BW tersebut. ”Itu main-main namanya,” kata Victor di Mabes Polri, Jakarta, kemarin. Kekecewaan Victor wajar sebab pihaknya telah melakukan penghargaan terhadap upaya hukum BW untuk mengajukan permohonan praperadilan.
Penghormatan itu dilakukan dengan menunda pelimpahan tahap II berkas BW ke Kejaksaan Agung (Kejagung) sampai proses praperadilan selesai. ”Kita orangnya fair . Kita kasih kesempatan, malah dicabut lagi,” katanya. DisisilainVictormenandaskan, keinginan Polri untuk menuntaskan polemik kasus BW melaluipengujianperkaradipraperadilan tidak terwujud. Menurut Victor, putusan praperadilan terhadap kasus BW dapat menunjukkan kepada masyarakat kebenaran yang sesungguhnya.
”Kita ingin menunjukkan ke masyarakat kalau kita tidak main-main di depan hukum. Mari dibuktikan di praperadilan,” tandasnya. Dengan pencabutan permohonan praperadilan BW ini, Polri sudah tidak memiliki pertimbangan lagi untuk menunda pelimpahan tahap II. Victor mengaku akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan kuasa hukum Polri sebelum memutuskan untuk melakukan pelimpahan tahap II. ”Akan saya tanyakan kepada mereka dulu, jika memungkinkan, langsung saja tahap II,” ujarnya.
Joel Baner Toendan selaku kuasa hukum Polri turut menyesalkan pencabutan permohonan praperadilan BW. Terlebih, alasan yang dipakai untuk mencabut permohonan tersebut cenderung melecehkan wibawa pengadilan. Seolah institusi itu tidak bisa independen dan adil terhadap perkara yang diputuskannya. ”Mencabut itu hak. Tapi, jangan suudzon dengan pengadilan dan Polri. Kalau memang punya bukti, diuji di pengadilan,” katanya.
Joel pun menepis tudingan bahwa pihaknya bersekongkol dengan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam beberapa penanganan perkara praperadilan yang memenangkan pihak Polri. Menurut dia, kemenangan Polri dalam beberapa kasus praperadilan justru menunjukkan Polri selalu mengedepankan fakta hukum dan bukti dalam penanganan perkara seseorang yang dapat diuji di pengadilan.
”Kalau kita tidak percaya kepada pengadilan, lalu siapa yang memutus? Pengadilan memutus berdasarkan fakta dan bukti,” tandasnya. Kemarin BW resmi mencabut permohonan praperadilan atas penangkapan dan penersangkaan dirinya oleh Polri. Ada beberapa pertimbangan BW terkait keputusannya mencabut permohonan. Abdul Fickar Hadjar selaku kuasa hukum BW menilai, berdasarkan fakta-fakta, proses persidangan, serta putusan praperadilan dalam beberapa kasus seperti persidangan Novel Baswedan atau perkara lain seperti praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, Ilham Arief Sirajuddin, dan Hadi Poernomo di PN Jakarta Selatan, putusan hakim telah menyimpang dan berada di luar nalar hukum.
”Mengupayakan praperadilandalamkasusKPKvsPolridiPN Jaksel seperti sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya,” ungkap Abdul Fickar. PN Jaksel, menurut dia, telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi. Berdasarkan eksaminasi beberapa putusan, Abdul menilai, tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan. Ketiadaan standar itu juga menyangkut hukum acara praperadilan yang sampai saat ini belum juga dibuat Mahkamah Agung (MA).
”Proses praperadilan yang tujuannya menguji proses, tetapi menjadi ajang untuk penilaian pokok perkara yang sebenarnya bukan kewenangan hakim praperadilan,” katanya. Berdasarkankenyataantersebut, kata Abdul, kuasa hukum mendesakMA segera tanggapdengan membuat standar dan hukum acara yang jelas terkait praperadilan. ”Bisa berupa surat edaranMA (sema) atauperaturan Mahkamah Agung (perma),” sebutnya.
Terkait langkah yang akan ditempuh BW selanjutnya seusai pencabutan praperadilan, Abdul Fickar mengaku masih akanmendiskusikandengantim. Namun, Abdul tidak menampik, meski sudah dicabut beberapa kali, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan mengajukan kembali permohonan sebelum pelimpahan tahap II perkara BW oleh Bareskrim dilakukan. Yang jelas, kata Abdul, pihaknya akan meminta Kejagung menghentikan kasus BW. ”Kalau berkas nanti dilimpahkan, kan sudah hak Kejagung. Nanti kita akan minta jaksa agung menghentikan perkara,” ungkapnya.
Sementara itu, MA menegaskan pihaknya tidak akan mengeluarkan peraturan (perma) maupun surat edaran (sema) untuk mengakomodasi praperadilan. Hukum acara praperadilan sudah sangat jelas dan tidak ada yang mesti diatur lebih lanjut dalam perma maupun sema. ”Apa kira-kira yang mesti diatur? Acara praperadilan itu sederhana sekali. Orang mengajukan permohonan kemudian diproses tentukan hakimnya, lalu tanggapan termohon kemudian pembuktian dan putusan. Jadi yang mau diatur dalam perma atau sema itu yang mana? Ini yang susah,” ungkap juru bicara MA Suhadi.
Suhadi menerangkan, setiap putusan yang diputuskan hakim dalam praperadilan semuanya bergantung pada alasan permohonan sehingga tidak bisa disamaratakan bunyi putusannya. Hakim pun tidak bisa membatasi alasan seseorang dalam mengajukan praperadilan karena itu kebebasan tiap individu yang berkepentingan. Misalnya, dalam kasus perdata itu intinya hanya dua yakni wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH).
Tetapi, alasannya itu ada ribuan sehingga hakim akan mendengarkan dalilnya dulu lalu tanggapan tergugat baru dapat ditemukan hukumnya oleh hakim, apakah melanggar UU atau tidak. ”Nah, praperadilan juga begitu. Sama yang digugat itu kan Pasal 77, tapi kenapa bisa ada yang ditolak dan dikabulkan? Karena, intinya itu gugatannya macam-macam. Alasannya beragam,” paparnya.
Khoirul muzzaki/ nurul adriyana
(ars)