Besarnya Populasi Jadi Problem Jakarta

Rabu, 10 Juni 2015 - 08:41 WIB
Besarnya Populasi Jadi Problem Jakarta
Besarnya Populasi Jadi Problem Jakarta
A A A
JAKARTA - Kota yang baik adalah kota yang nyaman ditinggali. Para pemangku kebijakan pun berlomba-lomba mewujudkan kota yang nyaman ditinggali warganya.

Sebuah acara berstandar internasional yang membahas masalah perkotaan diselenggarakan di Raffles Hotel, Jalan Dr Satrio, Jakarta Pusat, kemarin hingga besok. New Cities Summit 2015 yang dihadiri 800 peserta dari 45 negara itu bertema ”Meraih Momen Perkotaan: Kota-Kota di Jantung Pertumbuhan dan Pembangunan”.

Terpilihnya Jakarta sebagai tuan rumah bukan tanpa alasan. Saat ini Jakarta telah menjelma sebagai salah satu kota metropolitan di Asia dengan total populasi sekitar 27 juta jiwa, seperlima dari jumlah populasi urban di Indonesia yang mencapai 120 juta jiwa. Di prediksi pada 2050 jumlah populasi Jakarta mencapai 40 juta jiwa.

Dengan kondisi demikian, tak aneh bila Jakarta menghadapi tantangan yang disebabkan pertumbuhan demografi dan ekonomi yang pesat. Chairman New Cities Foundation John Rossant mengatakan, penyelenggaraan New Cities Summit di Jakarta sama dengan menghubungkan seluruh kawasan yang menjadi tempat tinggal dari setengah populasi dunia.

Dia optimistis acara ini mampu memberikan dampak besar dalam konteks pembangunan ekonomi dan sosial. ”Pesatnya transformasi Jakarta sebagai ibu kota Indonesia menjadikan lokasi yang sangat tepat untuk menjawab periode pertumbuhan urbanisasi yang sangat pesat. Acara ini akan menjadi kesempatan Jakarta dalam konteks urbanisasi di Asia,” kata John saat memberikan sambutannya, kemarin.

Rossant sadar bertambahnya jumlah populasi di Jakarta telah meningkatkan tingginya mobilitas masyarakatnya. Tak aneh jika kemacetan di Jakarta setiap tahun semakin memburuk. Untuk itu, melalui konferensi ini, pihaknya menggelar sebuah kompetisi yang bernama ”Jakarta Urban Challenge”.

Kompetisi ini bertujuan untuk mencari solusi lokal untuk memperbaiki mobilitas di Jakarta. ”Total hadiah mencapai USD20.000. Sebelumnya ada 226 aplikasi telepon pintar dengan pendaftar yang berumur 18-35 tahun. Kami seleksi hingga akhirnya mencapai tiga finalis saja,” ungkapnya.

Dalam acara ini para peserta juga akan mempelajari sejarah sekaligus masa depan Jakarta melalui berbagai acara tambahan serta kunjungan di sejumlah wilayah. Termasuk makan malam di Museum Bank Indonesia dan kunjungan ke mass rapid transit(MRT), dan tur ke BSD City, salah satu dari proyek perencanaan kota paling ambisius di Indonesia.

Senior Vice President Smart Cities Schneider Electric Charbel Aoun mengatakan, urbanisasi telah menimbulkan berbagai permasalahan. Sebagai solusi, Jakarta harus mewujudkan smart city. Aoun menjelaskan, untuk membentuk smart city, ada lima faktor yang diperlukan yakni visi pemimpin, aturan yang baku, terintegrasi, berkolaborasi, dan inovasi.

Dari lima itu, visi dari pemimpinlah yang paling penting. ”Semua akan menjadi siasia ketika pemimpinya tidak komit terhadap konsep smart city. Visinya harus jelas karena keinginanmembawaperubahan bagi kota tersebut,” terangnya. Secara spesifik, Aoun menyoroti masalah pengaturan energi. Saat ini Jakarta tidak memiliki kemampuan dalam menyimpan energi.

Seharusnya bila energi dapat disimpan dan diatur dengan baik, mobilitas, air, pelayan publik, dan permukiman akan maju dengan sendirinya. ”Nantinya dari itu semua, kita hanya butuh kolaborasi dan integrasi saja. Smart citydapat membuat lingkungan menjadi lebih baik,” tandasnya.

Aoun tak menampik untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota idaman membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dia mencontohkan Paris yang dibutuhkan sedikitnya tiga tahun untuk menjadikan sebagai salah satu kota pintar di Eropa. ”Saat ini dalam catatan kami, sudah ada 300 kota di dunia yang dinyatakan sebagai kota pintar,” tambahnya.

Country President Scheneider Electric Indonesia Riyanto Mashan menuturkan, saat ini rasio listrik di Indonesia hanya mencapai 84%. Tak aneh bila pemerintah pun berupaya untuk mencakupi rasio listrik mencapai 90% pada 2019 dengan menyiapkan 35.000 megawatt.

”Dana yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai itu butuh sekitar USD84 juta. Kita juga tidak hanya butuh untuk tambahan tenaga listrik, penyalurannya pun harus diperbaiki sehingga listrik bisa tersalurkan sampai dengan kota di timur Indonesia,” tuturnya.

Barulah setelah listrik di Indonesia terpenuhi, Riyanto meminta pemerintah menyiapkan infrastruktur negara dan ketahanan pangannya. Dari data statistik, biaya logistik di Indonesia saat ini mencapai 20%, tertinggi di Asia. Selain itu dia menyinggung belum ada campur tangan pemerintah pusat dalam membentuk smart city.

Karena itu, dia mendesak Presiden Jokowi membuat regulasi minimum dengan konsep smart city. ”Kita tidak punya departemen dalam konsep smart city. Kalau saja ada, mungkin kota daerah akan mengikuti. Bagaimanapun juga kita punya namanya otonomi daerah di setiap daerah,” ucapnya.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hadir sebagai pembuka acara New Cities Summit memaparkan konsep masa depan Jakarta. Sejak dia bersama Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, Ahok ingin sekali membangun rumah susun sewa (rusunawa) terpadu seperti Hotel Raflesia dengan apartemen dan Ciputra World dengan Lotte Mart.

Rusunawa terpadu itu dilengkapi dengan pasar rakyat yang umumnya diburu masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Sayangnya, untuk mewujudkan konsep tersebut, mantan bupati Belitung Timur itu harus melewati perdebatan yang begitu panjang.

Salah satunya perdebatan boleh dan tidak di atas pasar ada hunian.”Saya tidak peduli. Swasta saja boleh mix used, kok kita enggak boleh. Tahun depan kita bangun rusun terpadu sebanyak 12,” tandasnya.

Yan yusuf/ Bima setiyadi
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6793 seconds (0.1#10.140)