Radikalisme Bukan Napas Islam
A
A
A
JAKARTA - Islam sesungguhnya adalah agama yang bernapaskan cinta dan damai. Radikalisme selama ini menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam untuk banyak gerakan radikalisme dan terorisme.
”Inti dari ajaran Islam adalah cinta dan identik dengan perdamaian, banyak orang yang lupa soal itu. Cinta bukanlah barang baru, tapi memang otentik ajaran dalam Islam. Adapun muslim sejati adalah mereka yang mencintai Allah dan dicintai Allah,” ujar mantan Menko Kesra Alwi Shihab saat dihubungi kemarin. Menurutnya, seluruh bangsa Indonesia patut khawatir dengan adanya virus kekerasan dan radikalisme yang cukup merajalela ini.
”Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan mereka. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah,” imbuh dia.
Alwi mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan dari mana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam. Atas kondisi itulah Islam Indonesia dianggap radikal, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang cinta dan damai. ”Umat Islam harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai,” ucap Alwi.
Sementara itu, mantan Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat menilai penyebaran paham radikalisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia sudah bukan hal baru karena tidak lepas dari kaitan geografis dan kultural Indonesia. ”Saya menilai ada kaitannya karakter geografis dan kultural masyarakat kita yang memang radikal dan (menyukai) kekerasan,” papar dia. Komarudin juga mencontohkan Islam di Timur Tengah dengan di Indonesia.
Di Timur Tengah, negara Islam terpecah menjadi 22 negara, tergantung dari kesultanan dan kekhalifahannya. ”Tapi di Indonesia tidak. Di sini kesultanan dari Sabang sampai Merauke justru bersatu untuk bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar dia. Intinya, lanjut Komarudin, persoalannya bukan Islam cinta, tetapi lahan yang ada di Indonesia harus digemburkan untuk menyuburkan dan memperkuat Islam itu sendiri. ”Itu bisa berjalan bila ada kepastian hukum, konstitusi, perdamaian,” tegas Komar.
Alfian/sindonews
”Inti dari ajaran Islam adalah cinta dan identik dengan perdamaian, banyak orang yang lupa soal itu. Cinta bukanlah barang baru, tapi memang otentik ajaran dalam Islam. Adapun muslim sejati adalah mereka yang mencintai Allah dan dicintai Allah,” ujar mantan Menko Kesra Alwi Shihab saat dihubungi kemarin. Menurutnya, seluruh bangsa Indonesia patut khawatir dengan adanya virus kekerasan dan radikalisme yang cukup merajalela ini.
”Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan mereka. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah,” imbuh dia.
Alwi mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan dari mana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam. Atas kondisi itulah Islam Indonesia dianggap radikal, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang cinta dan damai. ”Umat Islam harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai,” ucap Alwi.
Sementara itu, mantan Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat menilai penyebaran paham radikalisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia sudah bukan hal baru karena tidak lepas dari kaitan geografis dan kultural Indonesia. ”Saya menilai ada kaitannya karakter geografis dan kultural masyarakat kita yang memang radikal dan (menyukai) kekerasan,” papar dia. Komarudin juga mencontohkan Islam di Timur Tengah dengan di Indonesia.
Di Timur Tengah, negara Islam terpecah menjadi 22 negara, tergantung dari kesultanan dan kekhalifahannya. ”Tapi di Indonesia tidak. Di sini kesultanan dari Sabang sampai Merauke justru bersatu untuk bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar dia. Intinya, lanjut Komarudin, persoalannya bukan Islam cinta, tetapi lahan yang ada di Indonesia harus digemburkan untuk menyuburkan dan memperkuat Islam itu sendiri. ”Itu bisa berjalan bila ada kepastian hukum, konstitusi, perdamaian,” tegas Komar.
Alfian/sindonews
(bbg)