Ideologi yang Terlupakan

Rabu, 03 Juni 2015 - 11:47 WIB
Ideologi yang Terlupakan
Ideologi yang Terlupakan
A A A
DIAN PERMATA SARI
Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Airlangga


Hari Kebangkitan Nasional masih menjadi seremonial bermakna maya di negara kita. Cukup melakukan penghormatan dalam beberapa menit, lalu kembali ke dunia yang masih hidup dalam rongrongan polemik.

Parahnya, hal ini telah menjadi kultur sistemik yang terus menjadi siklus di tingkat pendidikan manapun, dengan lakon ”sang saka” merah putih yang hanya agung pada fragmen tertentu. Pemaknaan ini merupakan kelalaian hal fundamental yang selama ini hanya menjadi ”slogan” yang dibiarkan lalu, Pancasila.

Akibatnya berdampak pada mandulnya revitalisasi nilai-nilai nasionalisme. Kiranya kita perlu menoleh ke belakang ketika lagu kebangsaan kita bermula. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” —dari baris tersebut dapat kita pahami seruan keharusan membenahi ”isi”, tidak hanya kepala namun juga jiwa. Memang, akallah yang membedakan kita, homo sapiens, dengan biotik lain karena daya pikir dan intelektual. Dan adanya jiwalah yang membuat setiap hal yang bernyawa menjadi setara, sama-sama hidup.

Namun, apakah yang membuat jiwa manusia menjadi berbeda? Yaitu kemampuan menjadikan makna jiwa dalam kehidupan sebagai semangat badan untuk bangkit, tidak hanya bangun dari keterpurukan yang telah mengakar pada nukleus bangsa. Maka pada momentum ini, kita perlu sesegera mungkin untuk berbenah. Karena tanpa kita sadari, kita sedang berkejar-kejaran dengan anomali yang terus memperkuat ”barikade”, yaitu dengan cara kembali pada Pancasila.

Bukan untuk diketahui dan dihafal saja, namun menginternalisasi sari-sarinya. Kenyataan saat ini, tidak sedikit para pemuda yang tidak acuh terhadap jerih payah para pendiri bangsa dalam menelurkan Pancasila. Tak ayal ambivalen sering kali terjadi dalam nafas-nafas berkehidupan. Hal tersebut menjadi sebuah kewajaran, apalagi dengung-dengung politik partisipatif yang tendensinya berakhir pada buku cetak.

Tidak ada habisnya mengupas borok yang ada di negara kita. Maka sebagai sivitas akademika, alangkah perlunya kita menjadi bijaksana di Hari Kebangkitan Nasional ini dengan tidak memilih menjadi aktor stagnan yang terus memaki politik penuh lubang dan terjal ini. Melainkan sadar bahwa ada di pundak kitalah, sepuluh, dua puluh atau hingga lima puluh tahun ke depan.

Adanya momen ini bisa kita jadikan langkah start untuk menabung pundipundi moral dan pengetahuan, meskipun kita harus mengais-ngaisinya di ranah saat ini yang penuh keabu-abuan dengan menggunakan Pancasila sebagai parameter. ”Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu bukunya. Dengan kembali mengingat pernyataan itulah kita tidak memiliki hak sebagai pengutuk, sekaligus replika pemimpin kita ketika tiba waktu giliran kita nanti.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1102 seconds (0.1#10.140)