Menghidupkan Iklim Kompetisi

Rabu, 03 Juni 2015 - 11:44 WIB
Menghidupkan Iklim Kompetisi
Menghidupkan Iklim Kompetisi
A A A
AZKA AZIFA
Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
Universitas Gadjah Mada

”Kompetisi global tidak bisa dihindari. Untuk menghadapinya, perlu cara berpikir yang cerdas agar siap berkompetisi.” Susilo Bambang Yudhoyono Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-I 2015 melambat.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79% yoy jauh dari target pertumbuhan yang diprediksi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar 5,2% yoy. Akan tetapi, dibandingkan pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif lebih tinggi. Sebagai contoh tahun 2009 ketika terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat dan merambat ke seluruh dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertahan di angka 4,5% ketika dunia berada pada posisi -0.6%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada rerata angka 5% tersebut belum menemukan titik optimumnya. Dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan luas wilayah sebesar 5 juta km2, Indonesia memiliki banyak potensi yang masih dapat dioptimalkan. Namun, layaknya tikus yang mati di lumbung padi, sering kali kita terlena dengan kekayaan yang ada.

Oleh karena itu, momentum Kebangkitan Nasional sudah selayaknya diartikan sebagai turning point bagi Indonesia untuk bangkit dalam hal ekonomi. Bagaimana caranya? Pertama, mengubah persepsi Indonesia sebagai bangsa yang sekadar kaya. Apabila kita analogikan, seorang anak kecil akan mudah berpuas diri ketika sejak kecil selalu dielu-elukan. Berbeda dengan anak kecil yang terbiasa bersaing dengan kakak maupun adiknya sehingga tidak mudah merasa puas dan justru terus memacu diri.

Sama halnya dengan Indonesia, apabila dengan 17.508 pulau dan peringkat 25 besar dalam potensi minyak terbesar di dunia kita berpangku tangan, bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk kembali berada dalam kondisi sebelum 1965 ketika perekonomian dalam kondisi tertutup dan terjadilah krisis ekonomi. Kedua, berani membuka diri ke dunia luar.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa innovation comes from difficult situation. Singapura telah membuktikannya, dengan luas tanah yang tidak lebih besar dibandingkan Jakarta, Lee Kuan Yew mampu menjadikan Singapura sebagai surga bagi lebih dari 130.000 perusahaan baik lokal maupun internasional.

Dengan membuka diri terhadap persaingan global, masyarakat Singapura mendapatkan technology spillover dari seluruh dunia yang kemudian diadopsi untuk meningkatkan produktivitas negara itu sendiri. Bukan tidak mungkin Indonesia melakukan hal yang sama dengan keberadaan perusahaan multinasional yang ada. Dengan demikian keberhasilan Indonesia melalui krisis pada tahun 2009 tidak boleh menjadikan kepuasan diri.

Pertumbuhan Indonesia memang cukup baik dibandingkan rerata dunia, tetapi kelengahan justru akan menarik bangsa Indonesia mundur ke belakang. Oleh karena itu, mengubah persepsi masyarakat dari sekadar bangsa yang kaya menjadi berani membuka diri terhadap dunia luar adalah cermin Indonesia siap berkompetisi.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1149 seconds (0.1#10.140)