Serba palsu
A
A
A
Belum lekang ingatan kontroversi beras palsu, masyarakat kembali disuguhi persoalan palsu-memalsu, yakni ijazah palsu.
Ijazah palsu mencuat ke permukaan karena konon banyak sekali pejabat ataupun politisi dalam berbagai bidang dan level akan terseret kasus ini. Jika ijazahnya palsu, sudah pasti kampus atau pejabat akademik yang meneken tanda tangan dan stempel di atas ijazah pun palsu. Terungkapnya ijazah palsu, rektor palsu, hingga kampus palsu tentu menambah perbendaharaan kasus palsu-memalsu di Tanah Air.
Dengan terungkapnya kasus teranyar tersebut, pemalsuan bukan hanya dilakukan pada barang atau benda, seperti beras, makanan, minuman obat, kosmetik, perkakas, CD, onderdil, batu akik. Nonkebendaan seperti gelar pun bisa dipalsukan. Bahkan, jabatan jenderal pun pernah dipalsukan. Ujung dari semua pemalsuan sudah pasti keuntungan.
Premisnya, senyampang ada keuntungan yang bisa diraup, semuanya bisa dipalsukan; atau semua serba bisa dipalsukan jika ada keuntungan yang diperoleh. Celakanya, keuntungan yang diperoleh lewat palsu-memalsu sudah pasti berlangsung pragmatis Mereka yang berada di belakangnya pasti tidak akan pernah memedulikan bahwa tindakan tersebut merugikan orang lain, mematikan produsen asli atau pemilik hak cipta, membahayakan kesehatan orang lain, atau minimal bakal mempermalukan orang lain, karena semisal, lantaran kampus tempat dia mendapat ijazah ternyata diketahui palsu, atau menghilangkan pendapatan negara.
Boro-boro memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pada orang lain, perusahaan lain, atau negara. Mereka bahkan sama sekali tidak memedulikan ada aturan hukum yang menyebut tindakan pemalsu adalah ilegal dan diancam sanksi pidana. Mereka juga tidak ada takut-takutnya terhadap kepolisian, BPOM, atau institusi terkait lain. Anjing menggonggong kafilah berlalu, kira-kira demikianlah yang ada di benak mereka.
Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ada yang salah dengan sistem hukum sehingga pemalsuan terjadi begitu telanjang, masif, dan membabi buta? Lantas, apa saja yang dilakukan aparat penegak hukum atau lembaga terkait selama ini hingga pemalsuan berlangsung terus-menerus? Jika kondisinya sedemikian parah, langkah apa yang harus dilakukan? Sudah pasti mustahil mengharapkan para pelaku pemalsuan menyadari kesalahannya dan kemudian menghentikan apa yang telah mereka lakukan.
Segala tindak pemalsuan dengan level seperti terjadi saat ini berangkat dari kesadaran penuh untuk melakukan tindakan kejahatan: kesadaran menegasikan aturan hukum dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Bahkan, di antaranya sudah membentuk jaringan mafia dengan orientasi tidak sebatas meraih sekadar keuntungan, tapi juga mengakumulasi kapital, dan kemudian membeli barang modal demi memperbesar kapasitas pemalsuan, dan memperluas jejaring rantai distribusi produk palsu.
Ibarat kanker, pemalsuan yang mereka ciptakan lambat laun akan semakin parah, menggerogoti segala sendi kehidupan masyarakat dan negara. Pada suatu saat, pemalsuan bisa menjadi panglima yang berdiri di atas kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Aparat penegak hukum, lembaga terkait, atau pemerintah sudah barang tentu tidak boleh tinggal diam, hingga pemalsuan menjadi eskalasi yang bakal sulit terselesaikan.
KUHP atau perundangan sudah menyediakan basis aturan untuk memberangus segala tindak pemalsuan, baik sebagai kejahatan maupun delik aduan. Dengan demikian, persoalannya kini tinggal bagaimana pihak terkait tersebut merespons segala pemalsuan dengan penuh keseriusan sebagai antitesis dari praktik penegakan hukum dan implementasi peraturan yang selama ini dominan dengan ketidaktegasan, ketidakkonsistenan, atau diwarnai dengan aroma permainan.
Jika tidak ada perbaikan, bisa jadi suatu saat muncul kecurigaan bahwa aparat dan pemerintah saat ini ternyata juga penuh kepalsuan.
Ijazah palsu mencuat ke permukaan karena konon banyak sekali pejabat ataupun politisi dalam berbagai bidang dan level akan terseret kasus ini. Jika ijazahnya palsu, sudah pasti kampus atau pejabat akademik yang meneken tanda tangan dan stempel di atas ijazah pun palsu. Terungkapnya ijazah palsu, rektor palsu, hingga kampus palsu tentu menambah perbendaharaan kasus palsu-memalsu di Tanah Air.
Dengan terungkapnya kasus teranyar tersebut, pemalsuan bukan hanya dilakukan pada barang atau benda, seperti beras, makanan, minuman obat, kosmetik, perkakas, CD, onderdil, batu akik. Nonkebendaan seperti gelar pun bisa dipalsukan. Bahkan, jabatan jenderal pun pernah dipalsukan. Ujung dari semua pemalsuan sudah pasti keuntungan.
Premisnya, senyampang ada keuntungan yang bisa diraup, semuanya bisa dipalsukan; atau semua serba bisa dipalsukan jika ada keuntungan yang diperoleh. Celakanya, keuntungan yang diperoleh lewat palsu-memalsu sudah pasti berlangsung pragmatis Mereka yang berada di belakangnya pasti tidak akan pernah memedulikan bahwa tindakan tersebut merugikan orang lain, mematikan produsen asli atau pemilik hak cipta, membahayakan kesehatan orang lain, atau minimal bakal mempermalukan orang lain, karena semisal, lantaran kampus tempat dia mendapat ijazah ternyata diketahui palsu, atau menghilangkan pendapatan negara.
Boro-boro memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pada orang lain, perusahaan lain, atau negara. Mereka bahkan sama sekali tidak memedulikan ada aturan hukum yang menyebut tindakan pemalsu adalah ilegal dan diancam sanksi pidana. Mereka juga tidak ada takut-takutnya terhadap kepolisian, BPOM, atau institusi terkait lain. Anjing menggonggong kafilah berlalu, kira-kira demikianlah yang ada di benak mereka.
Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ada yang salah dengan sistem hukum sehingga pemalsuan terjadi begitu telanjang, masif, dan membabi buta? Lantas, apa saja yang dilakukan aparat penegak hukum atau lembaga terkait selama ini hingga pemalsuan berlangsung terus-menerus? Jika kondisinya sedemikian parah, langkah apa yang harus dilakukan? Sudah pasti mustahil mengharapkan para pelaku pemalsuan menyadari kesalahannya dan kemudian menghentikan apa yang telah mereka lakukan.
Segala tindak pemalsuan dengan level seperti terjadi saat ini berangkat dari kesadaran penuh untuk melakukan tindakan kejahatan: kesadaran menegasikan aturan hukum dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Bahkan, di antaranya sudah membentuk jaringan mafia dengan orientasi tidak sebatas meraih sekadar keuntungan, tapi juga mengakumulasi kapital, dan kemudian membeli barang modal demi memperbesar kapasitas pemalsuan, dan memperluas jejaring rantai distribusi produk palsu.
Ibarat kanker, pemalsuan yang mereka ciptakan lambat laun akan semakin parah, menggerogoti segala sendi kehidupan masyarakat dan negara. Pada suatu saat, pemalsuan bisa menjadi panglima yang berdiri di atas kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Aparat penegak hukum, lembaga terkait, atau pemerintah sudah barang tentu tidak boleh tinggal diam, hingga pemalsuan menjadi eskalasi yang bakal sulit terselesaikan.
KUHP atau perundangan sudah menyediakan basis aturan untuk memberangus segala tindak pemalsuan, baik sebagai kejahatan maupun delik aduan. Dengan demikian, persoalannya kini tinggal bagaimana pihak terkait tersebut merespons segala pemalsuan dengan penuh keseriusan sebagai antitesis dari praktik penegakan hukum dan implementasi peraturan yang selama ini dominan dengan ketidaktegasan, ketidakkonsistenan, atau diwarnai dengan aroma permainan.
Jika tidak ada perbaikan, bisa jadi suatu saat muncul kecurigaan bahwa aparat dan pemerintah saat ini ternyata juga penuh kepalsuan.
(ars)