Mahfud MD: Hukum Masih Diintervensi Politik
A
A
A
JAKARTA - Kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama tujuh bulan dalam bidang politik, hukum dan ekonomi dinilai masih belum maksimal. Sehingga masih jauh dari cita-cita peningkatan kesejahteraan dan penegakkan hukum yang berkeadilan.
"Bicara soal hukum, belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan Jokowi. Di bidang politik, hukum dan ekonomi memang harus diperbaiki terutama dari segi koordinasi sehingga Nawa Cita bisa diimplementasikan," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, dalam diskusi publik "Efektifkah pemerintahan Jokowi-JK dalam mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan?" di Jakarta, Rabu 27 Mei kemarin.
Mahfud menjelaskan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. "Kalau ditanya kuat mana? Idealnya hukum harus lebih kuat dari politik, konstitusi juga mengatakan itu. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau," tegasnya.
Faktanya saat ini justru sebaliknya, hukum yang tunduk pada politik. Sebab, saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik. Menurut Mahfud, tidak ada hukum berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. "Kalau politik baik maka hukum baik dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik. Karena hukum merupakan produk politik," katanya.
Menurut Mahfud, bila politik lebih tinggi dari hukum maka sangat berbahaya. Karenanya, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, kata Mahfud, hanya angan-angan.
Ketika dibuat, kata Mahfud, aturan hukum itu memang merupakan keputusan politik tetapi begitu hukum dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada hukum. Jadi kekuatan politik yang membuat hukum juga tunduk pada hukum ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik.
"Sekarang keseimbangan itu tidak ada. Jadi hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak ditaati, kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang melanggar prolegnas. Itu yang sekarang terjadi," kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan, pada era Presiden Soekaerno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu, ada tiga menteri yang dijebloskan ke penjara yakni, Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, Menag Wahid Wahab.
"Hukum ditegakkan, karena pemimpin yang punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan, bahwa setelah divonis kemudian nanti diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan di atas hukum," ucapnya.
Saat ini politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak jalan. Kuncinya semua ini terletak pada orangnya. Kalau supremasi betul-betul dijunjung maka lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai.
"Yang rusak ada pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam banyak kasus di pengadilan, bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di kita itu banyak ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar, kalau politiknya tidak suka maka hukumnya diubah atau dilanggar, kalau tidak bisa dilanggar secara terang-terangan lalu diubah aja, kita kan punya kekuasaan mengubah," katanya.
"Bicara soal hukum, belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan Jokowi. Di bidang politik, hukum dan ekonomi memang harus diperbaiki terutama dari segi koordinasi sehingga Nawa Cita bisa diimplementasikan," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, dalam diskusi publik "Efektifkah pemerintahan Jokowi-JK dalam mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan?" di Jakarta, Rabu 27 Mei kemarin.
Mahfud menjelaskan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. "Kalau ditanya kuat mana? Idealnya hukum harus lebih kuat dari politik, konstitusi juga mengatakan itu. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau," tegasnya.
Faktanya saat ini justru sebaliknya, hukum yang tunduk pada politik. Sebab, saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik. Menurut Mahfud, tidak ada hukum berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. "Kalau politik baik maka hukum baik dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik. Karena hukum merupakan produk politik," katanya.
Menurut Mahfud, bila politik lebih tinggi dari hukum maka sangat berbahaya. Karenanya, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, kata Mahfud, hanya angan-angan.
Ketika dibuat, kata Mahfud, aturan hukum itu memang merupakan keputusan politik tetapi begitu hukum dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada hukum. Jadi kekuatan politik yang membuat hukum juga tunduk pada hukum ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik.
"Sekarang keseimbangan itu tidak ada. Jadi hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak ditaati, kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang melanggar prolegnas. Itu yang sekarang terjadi," kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan, pada era Presiden Soekaerno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu, ada tiga menteri yang dijebloskan ke penjara yakni, Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, Menag Wahid Wahab.
"Hukum ditegakkan, karena pemimpin yang punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan, bahwa setelah divonis kemudian nanti diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan di atas hukum," ucapnya.
Saat ini politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak jalan. Kuncinya semua ini terletak pada orangnya. Kalau supremasi betul-betul dijunjung maka lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai.
"Yang rusak ada pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam banyak kasus di pengadilan, bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di kita itu banyak ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar, kalau politiknya tidak suka maka hukumnya diubah atau dilanggar, kalau tidak bisa dilanggar secara terang-terangan lalu diubah aja, kita kan punya kekuasaan mengubah," katanya.
(hyk)