Kebangkitan sebagai Warisan

Selasa, 19 Mei 2015 - 10:35 WIB
Kebangkitan sebagai Warisan
Kebangkitan sebagai Warisan
A A A
Sudah hampir 70 tahun negara Indonesia merdeka. Dari situ sejarah telah meneteskan berbagai macam tinta manis ataupun pahit dari perjalanan negara yang berfondasikan lima dasar ini.

Dimulai dari perjuangan para tokoh- tokoh pejuang kemerdekaan bangsa, dilanjutkan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan, hingga tahap mengisi kemerdekaan seperti yang terjadi saat ini, dapat dilihat suatu sketsa perjalanan bangsa Indonesia. Ironisnya, kini telah terjadi sebuah degradasi dari semangat keindonesiaan bangsa Indonesia.

Bangsa ini seolah kelelahan setelah lama berjuang melawan penjajahan bangsa asing sehingga kini hanya diam di tempat walaupun badai banyak menerjang dari segala sisi. Keberadaan momen Hari Kebangkitan Nasional yang telah diperingati selama hampir 69 tahun seharusnya bisa menjadi titik balik untuk menyemai semangat keindonesiaan.

Mempersoalkan Hari Kebangkitan Nasional, perlu diketahui akar sejarah dari penetapan hari tersebut. Pada periode Mohammad Hatta menjabat sebagai perdana menteri Indonesia (1948-1949) terdapat sebuah pembelaan dari Tan Malaka dan Mohammad Yamin yang kala itu dimuat di media cetak dan radio, mendorong Hatta untuk menetapkan Hari Kebangkitan Nasional.

Ini dirasa Hatta akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi perang revolusi kemerdekaan. Karena itu, Hatta merasa perlu menetapkan suatu tanggal kebangkitan nasional untuk memupuk kembali semangat perjuangan melawan penjajah. Dengan penuh pertimbangan matang, akhirnya dipilih hari lahirnya Budi Utomo sebagai momen kebangkitan nasional bangsa Indonesia.

Tetapi, konon menjadi perdebatan mengenai pemilihan lahirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Budi Utomo dianggap sebagai organisasi yang hanya berada pada lingkup Jawa dan Sumatera sehingga tidak mewakili Indonesia seluruhnya.

Terlepas dari polemik kelahiran organisasi apakah yang pantas dijadikan sebagai momen kebangkitan nasional, seruan untuk bangkit pada dasarnya sudah puluhan tahun digemakan. Sebagai bangsa yang terbuka, Indonesia tidaklah perlu mempersoalkan polemik ini terus menerus karena hanya akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang diam di tempat.

Sudah sepantasnya apa yang telah diwariskan bapak bangsa (Hatta), dipahami dan dihayati sebagai media yang menginspirasi untuk mengarungi hidup pada masa depan. Tidak ada kebenaran yang mutlak 100%, juga tidak ada kesalahan yang mutlak 100%.

Karena itu, belajar menjadi insan yang bijak dalam menerima sesuatu adalah suatu keharusan yang sejatinya perlu dipegang dalam menjalani hidup.

Nesia Qurrota A’yuni
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Kepala Departemen Penulisan Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1577 seconds (0.1#10.140)