Darurat Narkoba
A
A
A
Narkoba sudah mengepung kita. Kondisi yang dihadapi sudah gawat, bukan kondisi biasa-biasa saja yang bisa ditangani secara sekenanya.
Sebanyak 30-50 pecandu tewas tiap hari menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dan yang lebih mengenaskan umumnya para korban ada pada usia produktif. Jika selama ini banyak cerita tentang anak dalam suatu keluarga yang menjadi pecandu, belakangan kita bisa lihat sebuah keluarga di Cibubur yang kedua orang tuanya menjadi pecandu sehingga lima anaknya ditelantarkan.
Narkoba benar-benar menjadi alat yang efektif untuk melemahkan bangsa ini. Jika kita tidak menjadikan masalah narkoba perhatian bersama dan menanganinya dengan cara yang biasa-biasa saja, hanya menunggu waktu saja sampai narkoba menguasai Indonesia.
Dalam konteks pemberantasan narkoba, perlu ada perubahan paradigma dari para penegak hukum untuk mengedepankan penggunaan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba yang memungkinkan para penyalah guna narkoba yang merupakan pecandu untuk menjalani rehabilitasi. Selama ini penegak hukum terutama polisi dan kejaksaan cenderung memidanakan para penyalah guna narkoba.
Untuk pengedar memang mereka sudah seharusnya dipidanakan dan diberi hukuman terberat yang memungkinkan, termasuk hukuman mati. Namun alangkah sayangnya jika pecandu diperlakukan sama. Berbagai penelitian menyatakan bahwa pemenjaraan memiliki tingkat efektivitas rendah dalam memperbaiki para pecandu. Bahkan para pecandu terkesan seperti masuk ke “sekolah” saat dijebloskan ke penjara.
Mereka akan bertemu dengan sesama pengguna yang tidak sadar dan para bandar narkoba. Dampaknya alih-alih tobat, para pecandu bahkan bisa naik level jadi pengedar bahkan bandar. Selain itu, dengan sudut pandang pemidanaan, selama ini jika ada anggota keluarga atau temannya yang menjadi pengguna narkoba atau pecandu, anggota keluarga atau sang teman itu relatif takut berhubungan dengan penegak hukum karena risiko pemenjaraan yang besar dan ada risiko habis banyak uang untuk berurusan dengan hukum.
Jika peluang rehabilitasi terbuka, akan ada dorongan lebih besar bagi masyarakat yang peduli untuk menyelamatkan para korban pecandu narkoba dengan mendorongnya untuk mengikuti program rehabilitasi. Mungkin akan ada sebagian masyarakat yang berpikir sinis, buat apa para pecandu direhabilitasi karena memang mereka menginginkan narkoba.
Kita harus melihatnya dalam kerangka besar para pecandu ini sebagai korban. Mungkin mereka berbuat salah karena berani mencoba-coba narkoba, tetapi mereka tetap layak diselamatkan. Kalaupun ada pecandu yang tidak ingin diselamatkan, jumlahnya akan sangat sedikit karena mayoritas terjerumus ke lembah hitam narkoba karena rasa penasaran yang tak terbendung dan tak ada tangan yang diulurkan kepadanya untuk keluar dari lembah tersebut.
Perhatikan juga infrastruktur untuk pusat rehabilitasi. Apalagi jika diperbandingkan, pada 2014 hanya sekitar 2.000 pecandu yang mendapatkan rehabilitasi, tetapi pada 2015 ini Presiden Jokowi menargetkan akan merehabilitasi hingga 100.000 pecandu. Infrastruktur rehabilitasi yang buruk bisa menjadi masalah tambahan dalam pemberantasan narkoba di Indonesia.
Patut juga diperhatikan, jangan sampai justru adanya rehabilitasi ini menjadi jalan para oknum nakal penegak hukum yang ingin berkongkalikong dengan para bandar atau pengedar narkoba yang berharap hanya dipaksa masuk ke rehabilitasi. Pintu yang terbuka bagi moral hazard seperti itu justru akan menghancurkan program yang pada dasarnya sangat positif ini.
Namun sekalipun mendorong rehabilitasi, perang total terhadap narkoba tak boleh dikendurkan. Narkoba benar-benar telah menjelma menjadi bisnis yang sangat besar. Skalanya bahkan dikhawatirkan bisa merusak semua sistem hukum Indonesia. Bayangkan, tangkapan terbesar BNN tahun 2015 ini adalah 862 kg sabu-sabu yang menurut BNN nilainya ditaksir hingga Rp1,7 triliun.
Dengan nilai bisnis yang triliunan rupiah, jika terlambat ditanggulangi, para bandar narkoba bisa mengubah Indonesia seperti Meksiko atau Kolombia yang beberapa negara bagiannya lumpuh karena ulah kartel narkoba.
Sebanyak 30-50 pecandu tewas tiap hari menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dan yang lebih mengenaskan umumnya para korban ada pada usia produktif. Jika selama ini banyak cerita tentang anak dalam suatu keluarga yang menjadi pecandu, belakangan kita bisa lihat sebuah keluarga di Cibubur yang kedua orang tuanya menjadi pecandu sehingga lima anaknya ditelantarkan.
Narkoba benar-benar menjadi alat yang efektif untuk melemahkan bangsa ini. Jika kita tidak menjadikan masalah narkoba perhatian bersama dan menanganinya dengan cara yang biasa-biasa saja, hanya menunggu waktu saja sampai narkoba menguasai Indonesia.
Dalam konteks pemberantasan narkoba, perlu ada perubahan paradigma dari para penegak hukum untuk mengedepankan penggunaan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba yang memungkinkan para penyalah guna narkoba yang merupakan pecandu untuk menjalani rehabilitasi. Selama ini penegak hukum terutama polisi dan kejaksaan cenderung memidanakan para penyalah guna narkoba.
Untuk pengedar memang mereka sudah seharusnya dipidanakan dan diberi hukuman terberat yang memungkinkan, termasuk hukuman mati. Namun alangkah sayangnya jika pecandu diperlakukan sama. Berbagai penelitian menyatakan bahwa pemenjaraan memiliki tingkat efektivitas rendah dalam memperbaiki para pecandu. Bahkan para pecandu terkesan seperti masuk ke “sekolah” saat dijebloskan ke penjara.
Mereka akan bertemu dengan sesama pengguna yang tidak sadar dan para bandar narkoba. Dampaknya alih-alih tobat, para pecandu bahkan bisa naik level jadi pengedar bahkan bandar. Selain itu, dengan sudut pandang pemidanaan, selama ini jika ada anggota keluarga atau temannya yang menjadi pengguna narkoba atau pecandu, anggota keluarga atau sang teman itu relatif takut berhubungan dengan penegak hukum karena risiko pemenjaraan yang besar dan ada risiko habis banyak uang untuk berurusan dengan hukum.
Jika peluang rehabilitasi terbuka, akan ada dorongan lebih besar bagi masyarakat yang peduli untuk menyelamatkan para korban pecandu narkoba dengan mendorongnya untuk mengikuti program rehabilitasi. Mungkin akan ada sebagian masyarakat yang berpikir sinis, buat apa para pecandu direhabilitasi karena memang mereka menginginkan narkoba.
Kita harus melihatnya dalam kerangka besar para pecandu ini sebagai korban. Mungkin mereka berbuat salah karena berani mencoba-coba narkoba, tetapi mereka tetap layak diselamatkan. Kalaupun ada pecandu yang tidak ingin diselamatkan, jumlahnya akan sangat sedikit karena mayoritas terjerumus ke lembah hitam narkoba karena rasa penasaran yang tak terbendung dan tak ada tangan yang diulurkan kepadanya untuk keluar dari lembah tersebut.
Perhatikan juga infrastruktur untuk pusat rehabilitasi. Apalagi jika diperbandingkan, pada 2014 hanya sekitar 2.000 pecandu yang mendapatkan rehabilitasi, tetapi pada 2015 ini Presiden Jokowi menargetkan akan merehabilitasi hingga 100.000 pecandu. Infrastruktur rehabilitasi yang buruk bisa menjadi masalah tambahan dalam pemberantasan narkoba di Indonesia.
Patut juga diperhatikan, jangan sampai justru adanya rehabilitasi ini menjadi jalan para oknum nakal penegak hukum yang ingin berkongkalikong dengan para bandar atau pengedar narkoba yang berharap hanya dipaksa masuk ke rehabilitasi. Pintu yang terbuka bagi moral hazard seperti itu justru akan menghancurkan program yang pada dasarnya sangat positif ini.
Namun sekalipun mendorong rehabilitasi, perang total terhadap narkoba tak boleh dikendurkan. Narkoba benar-benar telah menjelma menjadi bisnis yang sangat besar. Skalanya bahkan dikhawatirkan bisa merusak semua sistem hukum Indonesia. Bayangkan, tangkapan terbesar BNN tahun 2015 ini adalah 862 kg sabu-sabu yang menurut BNN nilainya ditaksir hingga Rp1,7 triliun.
Dengan nilai bisnis yang triliunan rupiah, jika terlambat ditanggulangi, para bandar narkoba bisa mengubah Indonesia seperti Meksiko atau Kolombia yang beberapa negara bagiannya lumpuh karena ulah kartel narkoba.
(bhr)