Pemain Digital Potensial di Lingkup Global

Minggu, 17 Mei 2015 - 11:21 WIB
Pemain Digital Potensial...
Pemain Digital Potensial di Lingkup Global
A A A
Kejelian melihat peluang dan potensi membuat sosok-sosok anak bangsa ini menjelma menjadi technopreneur handal di usia muda. Kecerdasan mengelola serta beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi tak hanya mengantarkan mereka menjadi orang-orang sukses tapi juga berpengaruh.

Pada 1995, pengguna bahkan orang yang mengenal internet di Tanah Air belum sebanyak sekarang. Namun Shinta Dhanuwardoyo saat itu sangat yakin bahwa internet dan segala aplikasi terapannya bakal booming. Setahun kemudian, di usia 25 tahun, Shinta mendirikan perusahaan yang melayani pembuatan situs internet. Bisnis yang membawanya ke puncak kesuksesan.

Perusahaannya, PT Bubu Kreasi Perdana atau Bubu.com kini berkembang menjadi digital agency. Kliennya adalah merek-merek dan berbagai perusahaan besar baik lokal maupun global. Ibu dua anak ini kini tercatat sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh di Asia. Shinta mendirikan Bubu.com bersama temannya, Aria Witoelar. Di awal berdirinya pada 1996, mereka berkonsentrasi pada web development, bidang baru yang saat itu masih sangat ”hijau” di Indonesia.

Shinta mempelajari teknologi informasi (TI) secara autodidak melalui internet. Latar belakang pendidikannya adalah arsitektur (S1) dan bisnis (S2). Pendidikan arsitek yang sangat luas membantu pembentukan pola pikirnya. Sebagai mahasiswa arsitektur, Shinta terbiasa memikirkan ruangan dan diagram. Dia diajari cara berpikir melihat sesuatu dari segala sisi terutama sisi seni dan struktur.

Ketika Shinta berniat melanjutkan studi S2 ke jurusan bisnis, ayahnya sempat tidak setuju lantaran studi dia sebelumnya adalah arsitektur. Terlebih, biaya dan waktu untuk menyelesaikan studi arsitektur tidak sedikit. Akhirnya sang ayah memperbolehkan Shinta mengambil studi bisnis dengan catatan atas biaya sendiri. Dia pun mencari beasiswa dan melanjutkan S2 Jurusan Bisnis Administrasi di Portland State University di Oregon, Amerika Serikat.

Di laboratorium itulah Shinta mulai mempelajari seluk beluk internet. Pada 1995 itu, internet sudah cukup dikenal penduduk AS. Dia juga mulai belajar cara membuat website. Saat itu, Shinta beranggapan internet adalah terobosan yang kelak bakal semakin besar. Seusai lulus S2, dia bekerja di perusahaan konsultan manajemen selama 1,5 tahun sebagai salah satu business development manager.

Sekembalinya ke Indonesia, keinginan Shinta untuk punya usaha sendiri kembali muncul. Dia langsung melirik bisnis internet. Akhirnya terbentuklah PT Bubu Kreasi Perdana dengan Shinta sebagai salah satu pendiri dan chairwoman. Meski di Indonesia saat itu belum banyak yang mengerti internet, dia dan Aria sangat yakin internet akan menjelma menjadi media yang kuat di Indonesia.

Pada 2007, Bubu memperluas service menjadi full service digital agency. Hal ini dipicu kebutuhan masyarakat dan klien yang semakin luas. Klien tidak hanya membutuhkan web designer tapi segala aspek termasuk marketing strategy. Awal berdiri, jumlah karyawan Bubu hanya 4-5 orang. Inventarisnya sejumlah laptop dan komputer.

Shinta dan timnya agak kewalahan mencari karyawan yang mengerti programmingdan membuat desain web. Mereka juga masih sulit sekali mendapatkan klien. Maklum, saat itu internet belum booming seperti sekarang. Berbeda dengan saat ini, tantangan Bubu adalah penetrasi internet yang belum merata di seluruh Indonesia. Otomatis produk mereka belum bisa dinikmati secara luas di Tanah Air.

Shinta dan tim gigih melakukan edukasi dan meyakinkan target klien di masa internet belum dikenal luas. Mereka menjalani semua proses tersebut karena sudah berkomitmen untuk menekuni usaha ini. ”Dalam mendirikan perusahaan harus ada komitmen, keberanian, inovasi, dan kreativitas agar bisa terus berkembang,” ujar ketua Komite Tetap untuk Telekomunikasi, Informasi Teknologi, dan Media Cetak-Media Online Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini.

Dia juga memanfaatkan jaringan untuk mendapatkan klien. Kepuasan klien yang sudah menggunakan jasa mereka pun menjadi hal utama. Shinta yakin dengan teori dasar marketing bahwa pemasaran yang terbaik adalah dari mulut ke mulut. Klien pertama Bubu.com adalah tempat Shinta pernah bekerja yaitu sebuah perusahaan manajemen konsultan dari Filipina, Madecor.

Kini, setelah 19 tahun Bubu.com berkiprah, Shinta mencermati bahwa para klien saat ini jauh lebih mengerti mengenai kekuatan internet. Karena itu, kualitas dan jenis layanan Bubu.com pun semakin beragam. Apabila dulu mereka fokus pada pembuatan website, kini, perkembangan teknologi dan fenomena maraknya media sosial membuat Bubu.com ikut berkecimpung dalam pengelolaan akun Twitter dan Facebookklien.

Menurut Shinta, sebagai perusahaan digital agency, Bubu.com dituntut selalu kreatif dengan ide-ide segar yang bisa menjadi pembeda dari perusahaan lain. Pihaknya harus terus berevolusi menjadi perusahaan dengan kreativitas tinggi dan mengikuti perkembangan teknologi. ”Ide dan ada pembeda adalah trik perusahaan mampu bersaing,” tutur perempuan yang akrab disapa Shinta Bubu ini. Sejak 2001, Bubu.commenggelar perhelatan Bubu Award, kompetisi web desain pertama dan bergengsi di Indonesia.

Ajang penghargaan ini digelar dengan tujuan mengedukasi dan memotivasi masyarakat agar lebih tertarik mempelajari dan membuat website yang bagus. Maka berbagai perusahaan pun terpacu untuk memperbaiki website mereka supaya bisa menjadi peserta Bubu Award. Di sisi lain, Shinta ingin agar masyarakat global tahu bahwa desainer web Indonesia berpotensi tinggi.

Maka para jurinya pun campuran dari dalam dan luar negeri. Kategori kompetisi dalam Bubu Award kemudian berkembang ke aplikasi mobile dan start-up. Dalam perjalanannya, Bubu Award menjadi bagian dari ajang idbyte yang diadakan sejak 2011. Ajang penghargaan ini menjadi acara pamungkas dari rangkaian idbyte. Idbyte merupakan rangkaian acara workshop, pameran, conference, dan malam penganugerahaan.

Idbyte selalu menghadirkan para praktisi dan ahli industri digital baik dari dalam dan luar negeri. Para pembicara ini memberikan seminar mengenai tren industri digital ke depan dan bagaimana membangun perusahaan kelas dunia. Shinta ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki pemain digital yang potensial.

Dengan mengundang namanama besar di Facebook, Twitter, LinkedIn, dan perusahaan TI besar lain di dunia, dia berharap Indonesia dapat lebih dikenal dan masuk dalam peta sebagai salah satu pemain digital. Shinta ingin mengangkat berbagai start up Indonesia menjadi pemain global dan bisa digunakan di seluruh dunia.

”Kita harus menjadi pemain dunia bukan hanya pemain di negeri sendiri,” tandas perempuan kelahiran 18 Januari 1970 ini. Menurut Shinta, banyak start updi dalam negeri yang sudah layak dikatakan sebagai world class company. Sebenarnya sudah banyak start up Indonesia yang digunakan di lingkup global. Mereka perlu lebih didorong lagi agar bisa berkembang lebih cepat. Indonesia memiliki market yang besar dan anak-anak mudanya memiliki ide kreatif.

Setelah Bubu.com mapan dan terus berkembang, Shinta membuat blog fesyen dan gaya hidup dengan nama batikantik.com. Blog ini merupakan sarananya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa masterpiece batik-batik indah hanya ada di Indonesia. Dia memang pengagum keindahan art culutre Nusantara.

”Saya sering posting foto-foto batik di blog agar seluruh dunia melihatnya. Saya juga mem-posting foto dan informasi soal aksesoris serta kain tradisional lain di Indonesia,” katanya. Sementara itu, Rachmad Imron sukses merealisasikan obsesinya membuat game lokal asli Indonesia yang mendunia. Game bertema horor DreadOut yang digarapnya bersama tim studio Digital Happiness di Bandung langsung mendapat perhatian luas dari para pecinta game di seluruh dunia.

Di perusahaan ini, Imron berperan sebagai presiden direktur. Studio game developer Digital Happiness atau PT Digital Semantika Indonesia mengembangkan permainan video survival horor Indonesia berjudul DreadOut untuk Windows, Mac OS X dan Linux. Dalam dua pekan pertamapeluncurannya diinternetpada 2013 lalu, game ini diunduh hingga 130.000 kali. Dalam 40 hari pre order, nilai transaksinya mencapai USD29 ribu atau sekitar Rp290 juta.

Digital Happines dengan game DreadOut meraih penghargaan Best Tech Startup Company di ajang Bubu Awards 2013. Sebelum mendirikan studio Digital Happiness, Imron bersama sejumlah teman sempat membentuk Iris Desain pada 2003 yang bergerak di bidang design consultantdan graphic animation. Saat itu mereka banyak mengerjakan pesanan proyek animasi tiga dimensi baik untuk presentasi teknik maupun produk lainnya.

Pada 2011, dia dan beberapa teman mencoba melangkah lebih jauh meninggalkan zona nyaman dengan juga mendirikan studio Digital Happiness. Mereka memiliki kesamaan visi dan misi yakni membuat dan mengembangkan game lokal agar mampu mendunia. Hingga kini, Iris Desain masih berjalan karena sudah kuat secara bisnis. Di masa-masa awal, selain DreadOut, studio Digital Happiness juga membuat sejumlah prototipe game lainnya.

Di antaranya Hallway Raid. Hallway Raid terinspirasi dari film The Raid: Redemption. Tak hanya mengembangkan game, mereka juga selalu berpartisipasi dalam kompetisi game maker. Inspirasi Dread Out sebenarnya muncul dari pengalaman mereka akan rasa takut sejak kecil bahkan hingga beranjak dewasa. Dengan berbagai macam bayangan film dan cerita menakutkan sejak kecil itu, Imron dan kawan-kawan kemudian memutuskan untuk membuat game horor dengan hantu produk budaya lokal.

Game ini bisa diakses masyarakat luas dengan spefikasi komputer dual core, RAM 2 gigabyte, Intel HD dan VGA card. Mereka memperkenalkan game ini kepada publik secara Steam Early Access (SEA) yakni situs untuk merilis game yang belum rampung sepenuhnya kepada pengguna. Dari sana, mereka berharap dapat menjaring masukan mengenai masalah teknis atau bug yang ditemui di sepanjang permainan.

SEA merupakan portal distribusi gamedigital terbesar di dunia. Di sisi lain, Iim Fahima Jachja mencermati perkembangan teknologi dan perubahan pola komunikasi bisnis sebagai peluang emas. Perempuan kelahiran 7 Februari 1978 ini meninggalkan kariernya sebagai senior copywriter untuk menjajal keberuntungan menjadi pengusaha. Bersama sang suami, Adhitia Sofyan, dia mendirikan Virus Communications pada 2005.

Pada 2009 Virus Communications merger dengan Virtual Consulting. Kini, Iim menjabat sebagai CEO Virtual Consulting yang membawahi sekitar 100 karyawan dengan omzet miliaran rupiah per tahun. Iim berharap Virtual Consulting menjadi sebuah digital agencyyang kuat di teknologi. Saat merintis Virus Communications, ibu dua anak ini memandang belum ada penyedia jasa konsultasi komunikasi atau pemasaran di Indonesia yang memahami dunia online bisa dijadikan jembatan yang efektif antara komunikasi online dan offline.

Hal ini berarti peluang bisnis baru. Dan peluang tersebut langsung ditangkapnya. Dalam sebulan bisnis berjalan, Virus langsung mendapatkan klien penting. Menurut Iim, tantangan pemasaran melalui online lebih besar dibandingkan dengan media televisi. “Di televisi, kita bisa menyaksikan iklan yang besarnya memenuhi satu layar.

Sementara di satu layar situs internet terdapat banyak sekali iklan online,” paparnya. Karena itu, diperlukan strategi khusus agar iklan bisa dilirik konsumen dan menang bersaing dengan iklan lain yang berada satu layar di situs tersebut.

Dina angelina/robi ardianto/ ilham safutra/hermansah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9721 seconds (0.1#10.140)