Mucikari Artis Dijerat UU ITE dan Trafficking

Rabu, 13 Mei 2015 - 10:43 WIB
Mucikari Artis Dijerat...
Mucikari Artis Dijerat UU ITE dan Trafficking
A A A
JAKARTA - Mucikari artis, Robby Abbas alias Obbie, 32, bisa dikenakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU trafficking. Tersangka kasus prostitusi online ini juga dijerat pasal berlapis dengan ancaman hukuman hingga empat tahun penjara.

”Ini semua masih dipelajari dan didalami. Tunggu saja hasil penyidikannya,” ujar Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan AKBP Audie Latuheru kemarin. Berdasarkan fakta kasus ini, Obbie dikenakan UU ITE Pasal 296 dan 506 sesuai dengan apa yang dilakukannya. ”Di situ (dari prostitusi) dia mengambil keuntungan,” ucapnya. Saat ini pihak kepolisian masih terus mendalami dugaan pelaku lain di luar Obbie.

Dari percakapan BlackBerry Messenger (BBM) disebutkan artis dan harganya. Namun, penyidik harus melakukan klasifikasi dan penyelidikan terkait hal tersebut. ”Kita masih dalami siapa saja yang akan diperiksa artisnya,” kata Audie. Selama berkecimpung di bisnis esek-esek, Obbie mengaku bukan hanya kalangan pengusaha, banyak juga pejabat yang memanfaatkan jasanya untuk menyediakan artis ataupun model.

Dia menjual artis dengan tarif berkisar Rp80-200 juta kepada pria hidung belang. ”Lebih gede penghasilan ini daripada makeup artist . Jadi makeup artist sejak 1999-2012. Untuk sekali makeup bisa dapat Rp1-5 juta. Kalau ini bisa Rp10 juta sampai Rp20 juta,” ujar Obbie. Pria yang memiliki tato di bagian tangan dan kaki itu mengungkapkan bahwa beralih profesi lantaran faktor ekonomi.

Dari bisnis prostitusi artis, setiap transaksi Obbie mendapat jatah sekitar 20-30%. ”AA ini Rp80 juta short time , kali ini. Ada juga yang sampai Rp100 juta untuk artis baru. Kalau yang mahal-mahal, artis lama,” katanya. Menyikapi rendahnya ancaman hukuman bagi mucikari, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Ade Saptomo mengatakan ini disebabkan kurangnya kemampuan hakim dan jaksa dalam menggali nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Putusan yang dihasilkan hanya merujuk pada nilai yang tertera dalam aturan resmi. Artinya, hasil putusan yang dibuat hanya adil menurut text book . Namun, belum dirasa adil menurut keadilan sosial. ”Itu yang menyebabkan putusan yang dihasilkan masih rendah, karena hanya merujuk text book saja,” ujar Ade seusai acara wisuda Semester Gasal Tahun Akademik 2014/2015 di Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, kemarin.

Menurut dia, putusan yang diambil atas dasar text book dan tidak menggali nilai hukum yang hidup dalam masyarakat juga menyebabkan pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) tidak dijerat hukum. Padahal, jika merujuk nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, si pengguna juga bisa dijerat ancaman hukuman.

”Hukum kita memang ketinggalan. Jika dalam praktik korupsi saja siapa pun yang menikmati uang hasil korupsi bisa dijerat,” tandasnya. Penggalian norma hukum bisa dengan menggali informasi dari tokoh agama atau tokoh masyarakat, misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). ”Putusan yang baik dari proses peradilan adalah hasil dari sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur. Putusan yang didasarkan pada text book itu kering dari nilai hukum dalam masyarakat,” ungkapnya.

Helmi syarif/ r ratna purnama
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0860 seconds (0.1#10.140)