Alarm bagi KPK
![Alarm bagi KPK](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2015/05/13/16/1000631/alarm-bagi-kpk-OjB-thumb.jpg)
Alarm bagi KPK
A
A
A
Ada adagium dalam hukum pidana, yaitu dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Dari adagium itu, bisa kita lihat seseorang tak bisa diperlakukan secara semena-mena oleh penegak hukum. Bahkan dalam hukum, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.
Dengan perkembangan dunia penegakan hukum di Indonesia belakangan ini, ada baiknya kita kembali menengok adagium-adagium tersebut. Kemenangan mantan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan Ilham Arief Sirajuddin kemarin (12/5) dalam sidang gugatan praperadilan penersangkaan dirinya oleh KPK, menjadi alarm bagi KPK dan juga penegak hukum lain untuk menegakkan due process of law.
Ilham ditersangkakan KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar. Sebelumnya Hakim Sarpin Rizaldi dalam sidang perkara praperadilan penersangkaan Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK mengabulkan permohonan praperadilan BG dan menetapkan KPK tidak berwenang memeriksa BG.
Alarm juga datang dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk obyek praperadilan. Memang praperadilan ini berlaku bagi semua penegak hukum baik Polri maupun kejaksaan, bukan KPK saja.
Namun belakangan ini, terpaan gelombang praperadilan seperti menyadarkan bahwa ada yang kurang sempurna dalam due process of law di KPK. Selama ini, KPK selalu berlindung pada dua hal dalam penetapan tersangka, yaitu dari sisi objektif dan subjektif. Dari sisi objektif, KPK menersangkakan individu dengan keberadaan dua alat bukti yang dalam sidang gugatan praperadilan Ilham Arief Sirajuddin ini bisa dipatahkan tim pengacara penggugat.
Dari sisi subjektif, KPK bertumpu pada pandangan untuk menersangkakan suatu individu dapat diambil atas dasar pandangan subjektif penyidik KPK. Pada titik ini, seseorang yang ditersangkakan oleh penegak hukum di Indonesia baik KPK, Polri, maupun kejaksaan tidak memiliki kesempatan untuk mempertanyakan tafsir subjektif penyidik yang menjadikan dirinya tersangka.
Ada potensi pelanggaran HAM di sini. KPK dan para aktivis antikorupsi janganlah kebakaran jenggot terlebih dahulu dengan kondisi yang bisa dikatakan tidak menguntungkan KPK. Angin seperti sedang bertiup ke arah yang berlawanan dengan perjuangan KPK.
Namun, harus diambil sisi positifnya bahwa gelombang praperadilan menunjukkan bahwa sebagai penegak hukum, KPK masih banyak melakukan lompatan logika hukum. Jika semua proses yang dilaksanakan KPK sesuai due process of law, tentunya sekalipun terjadi tsunami praperadilan terhadap penersangkaan oleh KPK maka tak akan ada yang bisa menang.
Praperadilan sekalipun diajukan tersangka korupsi janganlah hanya dianggap sebagai ”corruptors fight back”, namun mari anggap langkah hukum yang sah tersebut sebagai salah satu cara agar KPK menjadi lebih baik dan prudent dalam memberantas korupsi di negeri ini. Kemungkinan hukum yang terbuka tersebut juga menjadi jaminan bahwa KPK tidak bisa dipergunakan secara semena-mena oleh penguasa dengan menzalimi lawan politiknya.
Sudah beberapa kali KPK menersangkakan warga negara ini dalam waktu lama dengan menggantungkan kasusnya karena tak kunjung disidangkan. Ketika seseorang ditersangkakan tanpa kepastian maka akan menghancurkan moralnya, padahal dia belum tentu bersalah seperti yang dituduhkan, karena pengadilanlah yang harus menentukannya.
Itu adalah bentuk pelanggaran HAM yang sering kali dilakukan. Lihat saja beberapa kasus penersangkaan yang baru ditahan setelah hampir setahun ditersangkakan, bahkan ada yang lebih dari setahun. Pada masa dijadikan tersangka tersebut, tentu mereka diombang- ambingkan dalam ketidakpastian.
Dalam konteks inilah, putusan Mahkamah mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang objek praperadilan menemukan tempatnya. Inilah alarm bagi KPK untuk bekerja lebih baik.Kita semua berharap pada KPK untuk memberantas korupsi, tapi tentu kita berharap KPK menjalankannya dengan benar.
Dengan perkembangan dunia penegakan hukum di Indonesia belakangan ini, ada baiknya kita kembali menengok adagium-adagium tersebut. Kemenangan mantan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan Ilham Arief Sirajuddin kemarin (12/5) dalam sidang gugatan praperadilan penersangkaan dirinya oleh KPK, menjadi alarm bagi KPK dan juga penegak hukum lain untuk menegakkan due process of law.
Ilham ditersangkakan KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar. Sebelumnya Hakim Sarpin Rizaldi dalam sidang perkara praperadilan penersangkaan Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK mengabulkan permohonan praperadilan BG dan menetapkan KPK tidak berwenang memeriksa BG.
Alarm juga datang dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk obyek praperadilan. Memang praperadilan ini berlaku bagi semua penegak hukum baik Polri maupun kejaksaan, bukan KPK saja.
Namun belakangan ini, terpaan gelombang praperadilan seperti menyadarkan bahwa ada yang kurang sempurna dalam due process of law di KPK. Selama ini, KPK selalu berlindung pada dua hal dalam penetapan tersangka, yaitu dari sisi objektif dan subjektif. Dari sisi objektif, KPK menersangkakan individu dengan keberadaan dua alat bukti yang dalam sidang gugatan praperadilan Ilham Arief Sirajuddin ini bisa dipatahkan tim pengacara penggugat.
Dari sisi subjektif, KPK bertumpu pada pandangan untuk menersangkakan suatu individu dapat diambil atas dasar pandangan subjektif penyidik KPK. Pada titik ini, seseorang yang ditersangkakan oleh penegak hukum di Indonesia baik KPK, Polri, maupun kejaksaan tidak memiliki kesempatan untuk mempertanyakan tafsir subjektif penyidik yang menjadikan dirinya tersangka.
Ada potensi pelanggaran HAM di sini. KPK dan para aktivis antikorupsi janganlah kebakaran jenggot terlebih dahulu dengan kondisi yang bisa dikatakan tidak menguntungkan KPK. Angin seperti sedang bertiup ke arah yang berlawanan dengan perjuangan KPK.
Namun, harus diambil sisi positifnya bahwa gelombang praperadilan menunjukkan bahwa sebagai penegak hukum, KPK masih banyak melakukan lompatan logika hukum. Jika semua proses yang dilaksanakan KPK sesuai due process of law, tentunya sekalipun terjadi tsunami praperadilan terhadap penersangkaan oleh KPK maka tak akan ada yang bisa menang.
Praperadilan sekalipun diajukan tersangka korupsi janganlah hanya dianggap sebagai ”corruptors fight back”, namun mari anggap langkah hukum yang sah tersebut sebagai salah satu cara agar KPK menjadi lebih baik dan prudent dalam memberantas korupsi di negeri ini. Kemungkinan hukum yang terbuka tersebut juga menjadi jaminan bahwa KPK tidak bisa dipergunakan secara semena-mena oleh penguasa dengan menzalimi lawan politiknya.
Sudah beberapa kali KPK menersangkakan warga negara ini dalam waktu lama dengan menggantungkan kasusnya karena tak kunjung disidangkan. Ketika seseorang ditersangkakan tanpa kepastian maka akan menghancurkan moralnya, padahal dia belum tentu bersalah seperti yang dituduhkan, karena pengadilanlah yang harus menentukannya.
Itu adalah bentuk pelanggaran HAM yang sering kali dilakukan. Lihat saja beberapa kasus penersangkaan yang baru ditahan setelah hampir setahun ditersangkakan, bahkan ada yang lebih dari setahun. Pada masa dijadikan tersangka tersebut, tentu mereka diombang- ambingkan dalam ketidakpastian.
Dalam konteks inilah, putusan Mahkamah mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang objek praperadilan menemukan tempatnya. Inilah alarm bagi KPK untuk bekerja lebih baik.Kita semua berharap pada KPK untuk memberantas korupsi, tapi tentu kita berharap KPK menjalankannya dengan benar.
(bbg)