Bonaran Dihukum 4 Tahun

Selasa, 12 Mei 2015 - 09:34 WIB
Bonaran Dihukum 4 Tahun
Bonaran Dihukum 4 Tahun
A A A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan hukuman empat tahun kepada Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut) nonaktif Raja Bonaran Situmeang.

Lima majelis hakim yang terdiri atas M Muchlis selaku ketua merangkap anggota, dengan anggota Sofialdi, Supriyono, Ibnu Basuki Widodo, dan Alexander Marwata memastikan Raja Bonaran Situmeang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum memberikan suap Rp1,8 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar.

Mendengar putusan ini, Bonaran pun menyatakan tidak bisa menerimanya. Seusai sidang, Bonaran langsung menggelar jumpa pers. Bonaran menuding putusan majelis hakim tidak tepat. Banyak fakta hukum yang tidak sesuai. ”Putusan hakim itu tidak jelas. Putusannya sangat mengecewakan. Tidak ada yang mengejutkan. Yang mengejutkan adalah bahwa hakim tidak melihat fakta hukum yang sebenarnya. Nanti kita lihat, pelajari dulu putusan,” tandas Bonaran di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin.

Menurut dia, bukan masalah pidana penjara selama empat tahun yang dia permasalahkan, melainkan perbuatan pidananya. Bonaran mengklaim tidak pernah bertemu M Akil Mochtar selama proses pengajuan dan persidangan sengketa Pilkada Tapteng 2011 di MK. Berikutnya, Bakhtiar tidak pernah menyampaikan kepada Bonaran ada ancaman dari Akil bahwa permintaan Rp3 miliar tidak dikabulkan maka Pilkada Tapteng akan diulang.

Dia juga membantah pernah memberikan uang Rp1,8 miliar kepada Akil. Yang ada, ujarnya, uang ditransfer oleh mantan anggota DPRD Tapteng Bakhtiar Ahmad Sibarani, Subur Efendi, dan Hetbin Pasaribu di Bank Mandiri Depok dan Bank Mandiri Cibinong. ”Harusnya kalau lihat tempat pidananya, ini disidang di Bandung. Kan Depok dan Cibinong itu wilayah Jawa Barat,” ujarnya.

Bonaran pun menyatakan, bersama tim kuasa hukum akan mengkaji putusan tersebut selama satu pekan. Dia mengindikasikan potensi banding sangat besar. Selain menjatuhkan hukuman pidana empat tahun penjara, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp200 juta. Apabila tidak bisa dibayarkan maka diganti dua bulan kurungan.

Perbuatan pidana Bonaran sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang- Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana dakwaan primer. Namun, hakim Alexander Marwata mengatakan bahwa majelis tidak sependapat dengan tuntutan pencabutan hak memilih dan dipilih bagi Bonaran dalam jabatan publik sesuai aturan-aturan umum.

”Hak dipilih dan memilih adalah hak yang melekat pada diri seseorang dan tidak bisa dicabut. Kecuali seseorang itu berbuat makar atau membahayakan kedaulatan negara,” ujar Alexander. Dalam memutuskan, lanjutnya, majelis mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan bagi Bonaran. Yang meringankan ada tiga.

Pertama, Bonaran bersikap sopan dalam persidangan, bersikap kooperatif, dan menghormati jalannya persidangan. Kedua, Bonaran merupakan pencari nafkah dalam keluarga dan masih ada tanggungan keluarga. Ketiga, Bonaran sudah berjasa memajukan Kabupaten Tapteng. Adapun hal memberatkan bagi Bonaran ada dua. Pertama, tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

”(Kedua) perbuatan terdakwa selaku bupati yang berlatar belakang pengacara atau advokat tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dalam hal penegakan hukum yang bebas berkeadilan dan tidak pernah memihak,” ujarnya. Alexander membeberkan pidana yang dilakukan Bonaran.

Akil pernah meminta nomor telepon seluler Bakhtiar. Beberapa hari kemudian Akil menelepon Bakhtiar agar menyampaikan pesan kepada Bonaran agar segera menghubungi Akil berkaitan dengan gugatan sengketa Pilkada Tapteng. Selanjutnya, Bakhtiar bertemu dengan Bonaran di Hotel Grand Menteng.

Dalam pertemuan itu, Bakhtiar menelepon Akil, kemudian telepon selulernya diserahkan kepada Bonaran untuk membicarakan proses persidangan. Beberapa hari kemudian, Bakhtiar menerima SMS dari Akil berisi permintaan uang Rp3 miliar dengan sandi ”tiga ton”. Bakhtiar kemudian menemui Bonaran di rumah pribadinya di Perumahan Eramas 2000, Pulogadung, Jakarta Timur.

Di situ Bakhtiar menunjukkan SMS tersebut. Pertemuan turut dihadiri Syariful Pasaribu, Aswar Pasaribu, Hetbin Pasaribu, dan Daniel Situmeang. Bonaran tidak sanggup dan meminta diturunkan menjadi Rp2 miliar. ”Untuk memenuhi permintaan M Akil Mochtar, terdakwa (Bonaran) meminjam uang (masing-masing Rp1 miliar) kepada dua orang, yakni Arief Budiman dan Azwar Pasaribu,” ungkap Alexander.

Alexander memaparkan, selepas uang Rp1,8 miliar ditransfer, pada 22 Juni 2011, MK melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) atas sengketa Pilkada Tapteng yang dihadiri dan diikuti seluruh hakim MK, salah satunya Akil Mochtar. Dalam RPH itu, seluruh hakim dimintai pendapat dan memberikan suaranya termasuk Akil.

Kemudian pada 24 Juni 2011, putusan keberatan dibacakan yang amar putusannya antara lain menolak permohonan dari pemohon untuk seluruhnya. ”Meski M Akil Mochtar bukan hakim panel yang menangani perkara, Akil merupakan hakim MK yang dapat memutus perkara di rapat permusyawaratan hakim (RPH),” katanya. Ketua JPU pada KPK Pulung Rindandoro mengatakan, pihaknya masih akan menggunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir.

Sabir laluhu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6835 seconds (0.1#10.140)