PLTN Sebatas Mimpi
A
A
A
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) tidak pernah menyerah untuk menghadirkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Saban tahun lembaga itu menggelar survei nasional untuk mengetahui pandangan masyarakat akan pentingnya PLTN dibangun sebagai salah satu sumber energi listrik yang sangat dibutuhkan.
Hasil survei tahun lalu cukup mengejutkan bahwa masyarakat tidak keberatan pembangunan PLTN. Survei tersebut menyasar 5.000 responden dan sekitar 72% menyatakan setuju bila PLTN dibangun sekarang. Bahkan sejumlah pemerintah daerah terutama Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, sebagaimana diklaim pihak Batan, cukup agresif menyiapkan lahan untuk pembangunan PLTN.
Kedua provinsi di Pulau Kalimantan itu termasuk daerah di Indonesia dengan tingkat kebutuhan tenaga listrik yang tinggi, namun pasokan sangat terbatas. Belakangan, Pemerintah Daerah Bangka Belitung juga siap memfasilitasi berdirinya PLTN. Memang sejak lama pemerintah sudah memimpikan membangun PLTN, namun belum bisa diwujudkan sampai saat ini.
Mimpi itu terhalang oleh kontroversi yang tiada berujung. Sumber daya manusia (SDM) sudah dipersiapkan matang dengan mengirim putraputri terbaik bangsa ini ke luar negeri untuk belajar soal nuklir pada era 1980-an. Sayangnya, keahlian dari putra-putri tersebut yang mengenyam pendidikan di negara maju berujung sia-sia karena tidak bisa diberdayakan di dalam negeri.
Justru para ahli nuklir itu lebih banyak mengabdikan diri di negeri orang. Selain memiliki sejumlah ahli nuklir dan didukung cadangan uranium yang memadai, diperkirakan tidak kurang dari 70.000 ton cadangan uranium yang bisa menjadi sumber energi PLTN. Namun untuk memanfaatkannya, masih terbentur dengan kebijakan yang ada, yakni Undang-Undang (UU) Minerba dan Batu Bara, yang mengatur bahwa cadangan uranium tidak boleh dieksploitasi.
Regulasi itu, menurut Kepala Batan Djarot Sulistio, sangat tidak mendukung kehadiran PLTN. Padahal, Indonesia sudah memenuhi 17 persyaratan dari 19 syarat dari International Atomic Energy Agency (IAEA) bagi suatu negara untuk membangun PLTN. Dua persyaratan yang belum dikantongi adalah kebijakan presiden dan sosialisasi terhadap masyarakat yang masih banyak memberikan penolakan.
Pihak Batan sepertinya masih harus memperpanjang mimpinya untuk menghadirkan PLTN. Kebijakan Presiden Jokowi sudah jelas bahwa pembangunan PLTN menjadi pilihan terakhir. Ada beberapa alasan pemerintah menunda kehadiran PLTN, di antaranya masih terdapat energi yang lebih murah untuk mendatangkan listrik yakni batu bara dan gas bumi, pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tidak murah, dan kontroversi di tengah masyarakat yang sangat berpotensial menyuluh konflik dengan pemerintah.
Dari sisi pembiayaan, sebenarnya tidak ada masalah sebab pihak Rusia sudah menawarkan kepada pemerintah untuk menangani pembangunan PLTN di wilayah Batam. Namun, permintaan Rusia yang disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla belum bisa dipenuhi dengan alasan bahwa PLTN adalah pilihan terakhir setelah sumber-sumber lainnya tidak mendukung lagi.
Lalu dari sisi waktu pembangunan pembangkit yang memerlukan waktu yang lama itu tidak ditampik pihak Batan, justru karena waktu pembangunan yang lama maka sudah harus dimulai dari sekarang. Dalam pemahaman Djarot Sulistio, jangan menunggu sumber lain habis, baru membangun PLTN. Memang selama 30 tahun kontroversi seputar pembangunan PLTN tidak pernah padam.
Pemerintah sepertinya ”trauma” dengan proyek PLTN Muria di Jawa Tengah yang gagal karena ditentang keras masyarakat. Proyek PLTN Muria mulai digulirkan pada 1986, namun gagal dieksekusi karena tidak direstui masyarakat. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah memulai lagi proyek itu, namun dihadang krisis ekonomi.
Lalu pada 2002, proyek pembangkit listrik itu kembali ditinjau lagi, tetapi tidak terdengar hasilnya sampai saat ini. Jadi, pihak Batan sepertinya harus menyimpan hasil survei yang sempat memberi angin segar untuk kehadiran PLTN di laci sambil mengunci rapat-rapat. Apa boleh buat, pemerintah untuk sementara tidak akan melirik, apalagi menyentuh urusan PLTN.
Hasil survei tahun lalu cukup mengejutkan bahwa masyarakat tidak keberatan pembangunan PLTN. Survei tersebut menyasar 5.000 responden dan sekitar 72% menyatakan setuju bila PLTN dibangun sekarang. Bahkan sejumlah pemerintah daerah terutama Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, sebagaimana diklaim pihak Batan, cukup agresif menyiapkan lahan untuk pembangunan PLTN.
Kedua provinsi di Pulau Kalimantan itu termasuk daerah di Indonesia dengan tingkat kebutuhan tenaga listrik yang tinggi, namun pasokan sangat terbatas. Belakangan, Pemerintah Daerah Bangka Belitung juga siap memfasilitasi berdirinya PLTN. Memang sejak lama pemerintah sudah memimpikan membangun PLTN, namun belum bisa diwujudkan sampai saat ini.
Mimpi itu terhalang oleh kontroversi yang tiada berujung. Sumber daya manusia (SDM) sudah dipersiapkan matang dengan mengirim putraputri terbaik bangsa ini ke luar negeri untuk belajar soal nuklir pada era 1980-an. Sayangnya, keahlian dari putra-putri tersebut yang mengenyam pendidikan di negara maju berujung sia-sia karena tidak bisa diberdayakan di dalam negeri.
Justru para ahli nuklir itu lebih banyak mengabdikan diri di negeri orang. Selain memiliki sejumlah ahli nuklir dan didukung cadangan uranium yang memadai, diperkirakan tidak kurang dari 70.000 ton cadangan uranium yang bisa menjadi sumber energi PLTN. Namun untuk memanfaatkannya, masih terbentur dengan kebijakan yang ada, yakni Undang-Undang (UU) Minerba dan Batu Bara, yang mengatur bahwa cadangan uranium tidak boleh dieksploitasi.
Regulasi itu, menurut Kepala Batan Djarot Sulistio, sangat tidak mendukung kehadiran PLTN. Padahal, Indonesia sudah memenuhi 17 persyaratan dari 19 syarat dari International Atomic Energy Agency (IAEA) bagi suatu negara untuk membangun PLTN. Dua persyaratan yang belum dikantongi adalah kebijakan presiden dan sosialisasi terhadap masyarakat yang masih banyak memberikan penolakan.
Pihak Batan sepertinya masih harus memperpanjang mimpinya untuk menghadirkan PLTN. Kebijakan Presiden Jokowi sudah jelas bahwa pembangunan PLTN menjadi pilihan terakhir. Ada beberapa alasan pemerintah menunda kehadiran PLTN, di antaranya masih terdapat energi yang lebih murah untuk mendatangkan listrik yakni batu bara dan gas bumi, pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tidak murah, dan kontroversi di tengah masyarakat yang sangat berpotensial menyuluh konflik dengan pemerintah.
Dari sisi pembiayaan, sebenarnya tidak ada masalah sebab pihak Rusia sudah menawarkan kepada pemerintah untuk menangani pembangunan PLTN di wilayah Batam. Namun, permintaan Rusia yang disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla belum bisa dipenuhi dengan alasan bahwa PLTN adalah pilihan terakhir setelah sumber-sumber lainnya tidak mendukung lagi.
Lalu dari sisi waktu pembangunan pembangkit yang memerlukan waktu yang lama itu tidak ditampik pihak Batan, justru karena waktu pembangunan yang lama maka sudah harus dimulai dari sekarang. Dalam pemahaman Djarot Sulistio, jangan menunggu sumber lain habis, baru membangun PLTN. Memang selama 30 tahun kontroversi seputar pembangunan PLTN tidak pernah padam.
Pemerintah sepertinya ”trauma” dengan proyek PLTN Muria di Jawa Tengah yang gagal karena ditentang keras masyarakat. Proyek PLTN Muria mulai digulirkan pada 1986, namun gagal dieksekusi karena tidak direstui masyarakat. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah memulai lagi proyek itu, namun dihadang krisis ekonomi.
Lalu pada 2002, proyek pembangkit listrik itu kembali ditinjau lagi, tetapi tidak terdengar hasilnya sampai saat ini. Jadi, pihak Batan sepertinya harus menyimpan hasil survei yang sempat memberi angin segar untuk kehadiran PLTN di laci sambil mengunci rapat-rapat. Apa boleh buat, pemerintah untuk sementara tidak akan melirik, apalagi menyentuh urusan PLTN.
(bhr)