Ini 4 faktor yang mempengaruhi hakim

Jum'at, 17 Agustus 2012 - 06:07 WIB
Ini 4 faktor yang mempengaruhi hakim
Ini 4 faktor yang mempengaruhi hakim
A A A
Sindonews.com - Jika ditanya, apa yang paling penting dalam kehidupan lembaga peradilan, para penggiatnya serempak menjawab independensi. Kata ini diartikan sebagai bebasnya para hakim dari berbagai pengaruh saat dirinya memeriksa dan menjatuhkan putusan atas suatu perkara.

Faktor-faktor pengganggu independensi hakim bisa berasal berbagai sumber. Misalnya ancaman kekerasan, iming-iming uang, atau intervensi kekuasaan pada para hakim agar bisa menjatuhkan vonis sesuai keinginannya.

Terakhir, para hakim merasa ada ancaman terhadap independensi berupa kriminalisasi saat menjalankan tugas-tugas kehakiman dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Agung (MA) dan RUU Peradilan Anak. Mati-matian, para hakim dan institusi MA melawan ancaman tersebut.

Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko mengatakan akan terus melawan agar aturan tersebut tidak menjadi UU. Namun, benarkah independensi hakim benar-benar terjaga?

Selain kasus-kasus yang membuktikan adanya suap di antara para hakim, pakar psikologi hukum Reza Indragiri Amriel, mengatakan independensi hakim tidak pernah benar-benar terwujud. Menurut kajiannya, para hakim ternyata juga dipengaruhi oleh berbagai faktor kognitif dalam menjatuhkan putusannya.

Paling besar pengaruhnya bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara adalah, opini publik. Para hakim akan sangat memperhatikan pendapat masyarakat terhadap kasus yang ditanganinya.

Dalam putusan, mereka cenderung tidak melawan arus dengan menjatuhkan putusan sebangun dengan opini masyarakat tersebut, karena ini berkaitan dengan keselamatan sang hakim sendiri.

"Lihat sisi insaninya, manusiawinya. Sisi manusiawi wakil Tuhan ini, pada kenyataan empiris, benarkah hakim terus menerus kerja untuk mendapatkan keadilan. Jawabannya tidak," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/8/2012).

Pengaruh kedua disebut sebagai attitudinal model atau perspektif sikap. Di Amerika misalnya, untuk isu sensitif seperti aborsi dan pernikahan sejenis cenderung ditolak untuk para hakim yang berafiliasi dengan Partai Republik.

Hal sebaliknya terjadi pada hakim yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, mereka menerima hal ini. Jadi, para hakim cenderung berusaha melanggengkan nilai yang dia yakini.

Kemudian ada yang disebut social background model, yaitu lingkungan sosialnya mempengaruhi putusan. Misalnya, dalam kasus perebutan hak asuh. Hakim yang berusia tua, cenderung memberikan hak asuh ke ibu.

Mereka terpengaruh, pengalaman karena tidak pernah familiar dengan peran ayah sebagai pengasuh. Tapi jika hakim dari generasi baby boomer mereka bisa menerima ayah juga bisa berperan sebagai pengasuh.

Untuk kasus di Indonesia, hakim cenderung memberikan vonis ringan pada kasus korupsi, ini ada kaitannya dengan spirit of the corp. Yaitu saat akan menjatuhkan vonis, para hakim akan melihat vonis-vonis terdahulu. Sehingga mereka menjatuhkan vonis pada rentang yang tidak terlalu jauh dari vonis sejenis lain.

"Ini menjatuhkan vonis itu dari kajian psikologi tidak melulu verifikasi pada fakta hukum, konstruksi hukum, hukum yang tepat. Tapi juga menjaga identitas korps agar solid," ujarnya.

Hakim Agung Salman Luthan menolak persepsi tersebut. Menurut dia, indepedensi yang dimiliki hakim memiliki keterkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal tersebut adalah indepedensi yudisial. "Karena itu, hakim bebas untuk memutus," ujarnya.

Hakim juga memiliki mandat dari negara, konstitusional hakim, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Komisioner KY, Jaja Ahmad Jayus, menganggap putusan adalah pintu masuk dalam pengawasan. Putusan, lanjut dia, juga harus dipertanggungjawabkan kepada publik.

Menurut dia, jika ada pihak yang tidak diterima dengan putusan yang dikeluarkan hakim, maka ada banyak cara untuk melakukan perlawanan. "Tapi hakim tidak bisa dipidana," katanya.
(lil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0745 seconds (0.1#10.140)