OASIS Cara Komunikasi Efektif Menyelamatkan Indonesia

Kamis, 22 Februari 2018 - 11:43 WIB
OASIS Cara Komunikasi Efektif Menyelamatkan Indonesia
OASIS Cara Komunikasi Efektif Menyelamatkan Indonesia
A A A
TIGA kali menjabat kepala Humas Kepolisian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Don Gaspar da Costa. Kebanggaan memimpin jabatan setingkat kepala Divisi Humas di Polri itu tentu saja turut mengibarkan nama Indonesia dan Polri di mata dunia. Apa yang membuat PBB mempercayakan tugas itu kepada pria kelahiran Desa Noemuti, Nusa Tenggara Tengah (NTT) ini? Berikut wawancara KORAN SINDO.

Berapa lama Anda bertugas di PBB?
Masa tugas saya di Kepolisian PBB hampir 7,5 tahun. Saya merupakan anggota polisi dari negara Asia pertama yang dipanggil ke Misi PBB tiga kali tanpa melalui ujian, namun melalui program "Quick Return to the Mission". Dan, saya juga anggota polisi dari Asia pertama yang tiga kali menjabat sebagai kepala Humas Kepolisian PBB pada misi PBB di Afrika.

Ceritakan bagaimana keterlibatan Anda dalam misi PBB?
Saya terlibat dalam tugas-tugas PBB pada 1998, dan pertama kali diberangkatkan ke Sarajevo, Bosnia, Herzegovina bersama 21 anggota Polri lain yang lulus ujian PBB. Konflik di Bosnia terjadi 6 April 1992 hingga 14 Desember 1995 merupakan konflik bersenjata internasional antara etnis Bosnia Muslim, Kroasia Katolik, dan Serbia Ortodoks, serta dikenal sebagai perang saudara di Lembah Balkan. Mandat bagi polisi PBB saat itu adalah melakukan monitoring berdasarkan Perjanjian Damai Dayton. Tugas di Bosnia berlalu, saya kembali ke Indonesia pada 1999 dan menjadi perwira protokol di staf pribadi Kapolda Irian Jaya (kini Papua).

Hampir 14 tahun saya bertugas di Papua sampai akhirnya saya mendapat kesempatan mengikuti pendidikan desain keamanan di National Security Institute di New Mexico, Amerika Serikat, pada 2011. Pergolakan bertahun-tahun di Sudan akhirnya benar-benar membelah negeri itu. Pada Juli 2011 berdirilah Sudan Selatan. Persoalan tak lantas selesai. PBB lalu menerjunkan United Nations Mission in South Sudan (UNMISS) dan kembali terpilih. Setahun kemudian, PBB kembali menugasinya ke Juba, Sudan Selatan, melalui panggilan luar biasa untuk bertugas sebagai public relations and information advisor hingga 2015. Dan, terakhir Maret 2016 saya kembali dipanggil PBB New York melalui program "Quick Return" untuk kembali menjabat sebagai kepala Humas Polisi PBB di Sudan Selatan hingga November 2017.

Ada pengalaman menarik?
Ooh banyak. Tapi, pengalaman yang paling mengerikan saat perang empat hari di Juba, Sudan Selatan. Kami, staf PBB, harus berlindung di bungker selama tiga hari. Rentetan tembakan hanya berhenti di malam hari. Dentuman tembakan tank dan semburan peluru dari helikopter sungguh sangat menakutkan, terutama bagi kami yang tidak memiliki senjata dan hanya meringkuk di dalam bungker.

Apakah ada pesan-pesan khusus?
Baik. Saya ingin menyampaikan pesan bagi para pembaca tentang teknik komunikasi lima langkah dengan menggunakan model OASIS (observable, assumption, stop and suspend, inquire/investigate, dan select action) sebagai cara komunikasi efektif untuk menyelamatkan Indonesia. Banyak hal yang terjadi pada setiap orang dalam setiap harinya. Baik itu sesuatu yang dilihat, dengar, dan yang dialami. Hal ini adalah sesuatu yang saya katakan sebagai hal yang observable (dapat dilihat/dirasakan).

Misalnya informasi yang disampaikan seseorang, kelompok, ataupun melalui media sosial, termasuk media lainnya maupun apa yang terjadi dan dapat dilihat oleh mata maupun yang didengar melalui telinga kita. Ihwal tersebut akan memberikan perubahan atau reaksi dalam diri masing-masing. Semua itu akan melahirkan sesuatu yang disebut asumsi (assumption). Bagi orang yang tidak biasa memanfaatkan otaknya berpikir, asumsi ini sudah dijadikan dasar untuk menghakimi atau bisa jadi untuk melakukan sebuah tindakan. Namun, bagi individu yang biasanya selalu mengandal-kan isi kepalanya, asumsi itu tidak dipakai sebagai alasan untuk membuat keputusan, namun mengambil langkah-langkah yang lebih dewasa dengan cara stop and suspend (berhenti dan menunda) menghakimi.

Pada tahap ini diperlukan kematangan atau kecerdasan emosi yang baik karena manfaat dari menunda ini adalah untuk mencegah agar kita tidak melakukan tindakan yang salah. Setelah mendapatkan klarifikasi, data dan fakta, serta masukan-masukan yang cukup valid dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu dilakukan upaya identifikasi kebutuhan (asas manfaat). Misalnya, apakah hal yang akan saya ucapkan, saya tulis, atau saya lakukan ini bermanfaat bagi saya? Bagi Anda? Bagi kita? Untuk kepentingan organisasi? Demi bangsa? Ataukah, hanya sebagai iseng belaka. Pada tahap ini kecerdasan intelektual dan kedewasaan spiritual sudahkah saya pakai sebagai landasan? Hal ini sangat krusial mengingat langkah terakhir yang harus dilakukan adalah menentukan atau memilih sikap (select action).

Model komunikasi ini saya pelajari melalui sebuah pelatihan khusus bagi para manajer di UN dan selalu saya terapkan saat sedang bertugas di PBB sebagai kepala Humas Polisi PBB di UNMISS (Sudan Selatan) maupun sampai saat ini, bagi saya, sangat efektif.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1391 seconds (0.1#10.140)