Stunting dan Transformasi Pemerintahan Digital

Sabtu, 14 Januari 2023 - 11:44 WIB
loading...
Stunting dan Transformasi Pemerintahan Digital
Moh Ilham A Hamudy. FOTO/DOK SINDO
A A A
MOH ILHAM A HAMUDY
Pemerhati pemerintahan, berkhidmat di Pusat Penerangan Kemendagri

Menciptakan sumber daya manusia Indonesia Emas pada 2045 adalah salah satu visi masa depan kita. Namun, di balik mimpi besar itu masih ada persoalan serius yang menggelayut, yaitu stunting.

Secara sederhana,stuntingdimaknai sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan tinggi badan di bawah standar.

Faktor penyebabnya meliputi kurangnya akses makanan bergizi, praktik pengasuhan yang kurang baik, akses air bersih dan sanitasi yang buruk, serta terbatasnya layanan kesehatan.

Merujuk hasil kajian Status Gizi Indonesia yang dibuat Kementerian Kesehatan, prevalensistuntingbalita Indonesia mencapai 24,4% pada 2021. Artinya, hampir 1 dari 4 balita mengalamistunting.

Di beberapa provinsi, prevalensistuntingbalita bahkan masih berada di atas 30%, seperti di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Selatan. Hal ini tentu berpengaruh pada pembangunan nasional yang membutuhkan dukungan manusia andal.

Komitmen Serba Salah
Stuntingmerupakan salah satu targetSustainable Development Goalsyang berkait dengan pemberantasan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada 2030, serta pencapaian ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angkastuntinghingga 40% pada 2025.

Itulah sebabnya, pemerintah pusat berkomitmen dengan menetapkan Strategi Nasional Percepatan PencegahanStuntingpada 2018-2024 dan menerbitkan Perpres No 72 Tahun 2021 tentang Percepatan PenurunanStuntingyang diteken pada 5 Agustus 2021 dan diikuti oleh seluruh pemerintah daerah dengan menerbitkan surat keputusan dan/atau pun peraturan kepala daerah.

Komitmen itu, mengikut data yang dikeluarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, ditunjukkan melalui rerata anggaranoutputkementerian/lembaga periode 2019-2022 yang mendukung penurunanstuntingsebesar Rp36,8 triliun.

Akan tetapi, secara rasio dengan total belanja sebanyak itu, besarannya masih di bawah 4%. Memang, pada 2022 lalu, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp44,8 triliun untuk mendukung Program Percepatan PencegahanStuntingyang tersebar di 17 kementerian/lembaga sebesar Rp34,1 triliun dan pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik Rp 8,9 triliun dan DAK nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.

Kendati begitu, alokasi anggaran itu malah membuat pemerintah daerah menjadi bergantung. Berdasarkantaggingdantrackinganggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dilakukan Kementerian Keuangan dan Bank Dunia kepada 508 kabupaten/kota (dan 34 provinsi) diketahui, total alokasi APBD kabupaten/kota untuk intervensi penurunanstuntingdiperkirakan Rp59,8 triliun pada 2021 dan Rp60,8 triliun pada 2022, dan rerata porsi alokasi terkaitstuntingper kabupaten/kota baru mencapai 8% pada 2021 (8,4%) dan 2022 (7,8%).

Malahan, dari hampir Rp60 triliun APBD terkaitstunting, sekitar 69% (Rp42 triliun) berasal dari dana transfer ke daerah termasuk DAK dan 31% (Rp 18 triliun) bersumber dari alokasi non dana transfer. Hal itu menandakan, komitmen pemerintah daerah dalam mengatasistuntingmasih belum sinergi dengan pemerintah pusat.

Pada batas ini, komitmen menjadi serba salah juga, diberi sejumlah uang, pemerintah daerah jadi bergantung. Tetapi, jika tidak diberi dana, kapasitas fiskal daerah juga sangat terbatas. Program dan kegiatan akanmandeg.

Terlepas dari persoalan anggaran yang memang masih jauh dari cukup, program penanganganstuntingini harus tetap memerlukan kesungguhan dari semua pemangku kepentingan yang terkait di dalamnya.

Anggaran terbatas sudah seharusnya dipergunakan dengan cara seefisien mungkin. Oleh karenanya, agar lebih hemat, dibutuhkan data valid sebagai pendukungnya, baik itu jumlah, lokasi persebaran, maupun anak yang menderitastunting.

Pemerintah daerah harus jujur dan transparan dalam menyampaikan datastunting, sehingga penanganannya tepat sasaran.

Belajar dari Sumedang
Pada konteks ini, pemerintah daerah perlu belajar banyak dari sebelah timur Jawa Barat, Kabupaten Sumedang, yang berhasil menurunkan angkastuntingdari 32,27% pada 2018 hingga menjadi menjadi 8,27% pada 2022. Bupati Sumedang mengungkapkan, keberhasilan penurunanstuntingsecara signifikan tersebut terjadi karena dukungan sistem pemerintah berbasis elektronik (SPBE) yang dituangkan dalamplatformSimpati (Sistem Informasi PenangananStuntingTerintegrasi).

PlatformSimpati ini adalah salah satu programSumedang Digital Regionhasil kerja sama Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan Telkomsel. Simpati digadang-gadang menjadi salah satu katalisator dalam pencegahanstuntingdi Kabupaten Sumedang dari sisi pengumpulan dan pelaporan data balita.

Selain dalam format aplikasiandroid, Simpati juga tersedia dalam bentuk aplikasiwebdanmessaging/conversational. Simpati dapat digunakan oleh berbagai pihak, mulai dari kader posyandu untuk melakukan pencatatan pemeriksaan berat badan dan tinggi anak, untuk pimpinan daerah, puskesmas, desa dan dinas terkait lainnya untuk mendapatkan laporanstunting.Masyarakat umum/orang tua juga dapat memanfaatkan aplikasi ini guna pengecekan status gizi anak.

Jadi, pada batas ini akan diketahui melalui data spasial kewilayahan, misalnya, wilayah kecamatan dan desa mana tertinggistunting-nya. Selain itu, secara statistik pun dapat diukur validitasnya, sebab pendataan dilakukan secaraby name by address, siapa balita dan keluarganya akan jelas terlihat. Dan, pada gilirannya, data itu bisa dianalisis dengan komprehensif perihal penyebab dan bagaimana penanganannya.

Rekomendasi intervensistuntingdiformulasikan melalui sistem kecerdasan buatan yang didasarkan pada permasalahan yang ada di masing-masing desa. Sehingga, perlakuan terhadap masing-masing wilayah yang terdampakstuntingpun bisa berbeda satu sama lain.

Untuk mewujudkan itu semua, tentu ada upaya keras yang wajib dilakukan pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan dan warga, terutama para kader posyandu dan tenaga kesehatan di puskesmas sebagai ujung tombak di lapangan. Kolaborasi di antara mereka menjadi kunci keberhasilan Simpati.

Hal ini menunjukkan, transformasi pemerintahan berbasis data digital menjadi sebuah keniscayaan untuk mempercepat kemajuan masyarakat. Siap atau tidak, kehidupan warga masyarakat memang mengarah sepenuhnya kepada era digital.

Tentu saja kemajuan ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah daerah, untuk mewujudkan keberhasilan transformasi digital di Indonesia.

Kini sudah saatnya bagi seluruh pemerintah daerah di negeri ini menjadikan teknologi digital, sepertiinternet of things(IoT),big data,dandigital advertising, sebagai landasan solusi pemerintahan dalam mengelola layanan publik.

Berbagai inisiatif untuk ketiga sektor tersebut perlu dikembangkan dengan menggunakan perangkat yang terhubung dengan internet. Ini berguna untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang akan bermanfaat dalam menghasilkan solusi atas berbagai masalah pemerintahan, seperti pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat.

Lebih dalam lagi, mengutip perkataan Bupati Sumedang,“Sejatinya, ini juga bukan cuma urusan teknologi semata, melainkan berkaitan dengan people dan good governance. Setiap pemimpin harus bisa mengorkestrasi seluruh sumber daya agar bisa bersama-sama menangani stunting berbasis data. Sebab,good data makes good decisions and good results.”

Pemerintah Kabupaten Sumedang memang layak diacungi dua jempol. Pasalnya, kebijakan, program, dan kegiatan, yang dirancang oleh pemerintah daerah beralas pada saintifik yang dikelola dengan memanfaatkan teknologi digital. Pemerintah daerah senyatanya telah mampu mengubah ekosistem gaya hidup digital melalui konsepdevice-network-applicationyang memberikan dampak positif, setidaknya bagi warga Sumedang.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1963 seconds (0.1#10.140)