Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Kemendagri Libatkan Kemitraan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bekerja sama dengan Kemitraan yang dipimpin mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif. Kerja sama ini untuk evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
(Baca juga: Mendagri Minta Petahana Tak Politisasi Bansos untuk Pilkada)
Pelaksana tugas (plt) Sekjen Kemendagri Muhammad Hudori mengatakan, kerja sama ini untuk menguatkan tata kelola pemerintahan, baik di level nasional maupun daerah. Momentum Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) ini dinilai tepat karena menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020.
Hudori menjelaskan daerah yang melaksanakan pilkada 270 itu nanti dapat menyusun rencana pembangunan jangka menengah nasional dan daerah (RPJMN dan RPJMD) selama lima tahun ke depan. Kemendagri meminta standar pelayanan minimal (SPM) bisa dimasukkan dalam RPJMN dan RPJMD.
(Baca juga: Kemlu: 1.175 WNI di Luar Negeri Positif Corona, 772 Sembuh, 90 Meninggal)
Kemitraan menurutnya, harus memperhatikan SPM karena targetnya berbeda. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), target SPM-nya berkisar 70-80 persen. Sementara itu, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, disebutkan targetnya 100 persen.
"Nanti soal SPM ini betul-betul bisa dilaksanakan dan diterapkan oleh teman-teman daerah. Jadi bagi kepala daerah yang tidak bisa melaksanakan SPM karena standar pelayanan dasar dikenai sanksi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (13/7/2020).
Sebaliknya, pemda yang dapat melaksanakan SPM akan mendapatkan penghargaan. Itu bisa dalam bentuk dana insentif daerah (DOD) atau anggaran-anggaran lainnya.
Hudori menjelaskan pelibatan lembaga independen dalam evaluasi daerah ini memiliki lima tujuan. Pertama, sebagai acuan eksternal validitas dan dasar penguatan hasil evaluasi kinerja penyelenggara pemerintahan daerah di tingkat nasional.
Kedua, sebagai umpan balik dan dasar untuk perbaikan kinerja tata kelola pemerintahan. "Baik sektor layanan publik, meningkatkan efisiensi, pengelolaan anggaran dalam pemanfaatan sumber daya, dan menciptakan iklim investasi di daerah," tuturnya.
Ketiga, masyarakat sipil mendapatkan umpan balik sebagai bahan acuan meningkatkan efektivitas peran warga dalam proses pembangunan. Hudori mengungkapkan tujuan keempat adalah agar sektor swasta lebih memahami dan mendapatkan umpan balik bagaimana dampak kinerja tata kelola mereka terhadap iklim investasi.
"Kelima, pembangunan berkelanjutan karena seluruh regulasi yang menjadi payung hukum dalam pembangunan daerah telah mengalami pembaruan," pungkasnya.
(Baca juga: Mendagri Minta Petahana Tak Politisasi Bansos untuk Pilkada)
Pelaksana tugas (plt) Sekjen Kemendagri Muhammad Hudori mengatakan, kerja sama ini untuk menguatkan tata kelola pemerintahan, baik di level nasional maupun daerah. Momentum Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) ini dinilai tepat karena menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020.
Hudori menjelaskan daerah yang melaksanakan pilkada 270 itu nanti dapat menyusun rencana pembangunan jangka menengah nasional dan daerah (RPJMN dan RPJMD) selama lima tahun ke depan. Kemendagri meminta standar pelayanan minimal (SPM) bisa dimasukkan dalam RPJMN dan RPJMD.
(Baca juga: Kemlu: 1.175 WNI di Luar Negeri Positif Corona, 772 Sembuh, 90 Meninggal)
Kemitraan menurutnya, harus memperhatikan SPM karena targetnya berbeda. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), target SPM-nya berkisar 70-80 persen. Sementara itu, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, disebutkan targetnya 100 persen.
"Nanti soal SPM ini betul-betul bisa dilaksanakan dan diterapkan oleh teman-teman daerah. Jadi bagi kepala daerah yang tidak bisa melaksanakan SPM karena standar pelayanan dasar dikenai sanksi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (13/7/2020).
Sebaliknya, pemda yang dapat melaksanakan SPM akan mendapatkan penghargaan. Itu bisa dalam bentuk dana insentif daerah (DOD) atau anggaran-anggaran lainnya.
Hudori menjelaskan pelibatan lembaga independen dalam evaluasi daerah ini memiliki lima tujuan. Pertama, sebagai acuan eksternal validitas dan dasar penguatan hasil evaluasi kinerja penyelenggara pemerintahan daerah di tingkat nasional.
Kedua, sebagai umpan balik dan dasar untuk perbaikan kinerja tata kelola pemerintahan. "Baik sektor layanan publik, meningkatkan efisiensi, pengelolaan anggaran dalam pemanfaatan sumber daya, dan menciptakan iklim investasi di daerah," tuturnya.
Ketiga, masyarakat sipil mendapatkan umpan balik sebagai bahan acuan meningkatkan efektivitas peran warga dalam proses pembangunan. Hudori mengungkapkan tujuan keempat adalah agar sektor swasta lebih memahami dan mendapatkan umpan balik bagaimana dampak kinerja tata kelola mereka terhadap iklim investasi.
"Kelima, pembangunan berkelanjutan karena seluruh regulasi yang menjadi payung hukum dalam pembangunan daerah telah mengalami pembaruan," pungkasnya.
(maf)