Survei Kepuasan Penanganan Corona, Publik Belum Puas Kinerja Pusat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kebijakan pemerintah pusat dalam penanganan pandemi Covid-19 turut memengaruhi tingkat kepuasan publik. Tingkat kepuasan atas kinerja pemerintah pusat dalam menangani Covid-19 paling rendah.
Ini berbanding terbalik dengan kinerja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang mendapat poin paling tinggi. Hal ini tergambar melalui survei Alvara Research Center yang dirilis secara virtual kemarin.
CEO Alvara Hasanuddin Ali mengatakan, indeks kepuasan publik terhadap Gugus Tugas mencapai 72,7%, disusul gubernur di masing-masing tempat tinggal responden sebesar 70,0%. Berikutnya bupati/wali kota 67,7% dan terakhir pemerintah pusat 60,2%.
“Ada perbedaan antara tingkat kepuasan terhadap gugus tugas dan pemerintah pusat. Ini berarti publik melihat bahwa penanganan atas dampak dari Covid-19 tidak terlalu diapresiasi positif oleh publik. Sementara gugus tugas lebih pada penanganan Covid-19 dan pemerintah pusat lebih pada dampak Covid-19,” ucap Hasan.
Sementara gubernur dan bupati/wali kota mendapatkan apresiasi tinggi karena mereka dalam bekerja berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga aktivitas mereka bisa lebih dirasakan langsung oleh masyarakat. (Baca: Ahli Virus China Melarikan Diri ke AS, Klaim Beijing Menutup-nutupi Corona)
Aspek kepuasan ini diukur dari beberapa parameter. Antara lain mayoritas publik mengaku puas dengan informasi protokol kesehatan mencapai 73,3%, disusul perawatan pasien Covid-19 sebesar 72,3%, dan bantuan sosial 56,2%. Berikutnya pemulihan ekonomi hanya diapresiasi 48,2%, ketegasan bagi yang melanggar protokol kesehatan 47,3%, Kartu Prakerja 39,2%, dan penanganan pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya 31,9%.
“Ternyata tingkat kepuasan publik terhadap program Kartu Prakerja rendah. Penanganan PHK juga rendah karena banyak masyarakat yang terkena. Bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan juga belum ada ketegasan. Soal pemulihan ekonomi juga belum diapresiasi,” paparnya.
Bahkan, kata Hasan, tingkat optimisme publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia juga turun, hanya berada di angka di atas 50%, tepatnya 63,5%. Kondisi ini turun dibanding survei pada Oktober 2019 yang berada di angka 71,0%.
Rinciannya, sangat optimistis sekali 2,9%, sangat optimistis 8,4%, optimistis 52,2%, pesimistis 28,1%, sangat pesimistis 4,7%, dan sangat pesimistis sekali 3,8%. (Baca juga: 36 ekor Penyu Langka Diselundupkan ke Bali)
“Angka ini tidak membuat kita happy karena sebelumnya survei terhadap optimisme publik selalu di atas 70%, bahkan pernah 80%. Ini perlu dijaga agar tingkat optimisme ini tidak turun. Tingkat optimisme itu semakin tinggi semakin baik karena di situ roda ekonomi akan bergerak,” katanya.
Hasan mengatakan sejak terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia awal Maret 2020, Alvara rutin melakukan riset untuk melihat pandangan masyarakat terkait Covid-19 dan dampaknya yang dirasakan secara riil oleh masyarakat.
Survei ini dilakukan pada 22 Juni-1 Juli 2020 dengan melibatkan 1.225 responden. Metode yang digunakan adalah Online Survey dan Mobile Assisted Phone Interview dengan wilayah survei seluruh Indonesia. Namun, ada beberapa provinsi di wilayah Indonesia timur seperti Papua, Papua Barat, dan Maluku yang karena terkendala jaringan internet dan coverage sehingga tidak masuk survei. Margin of error berkisar 2,86%.
Hasil survei ini juga menunjukkan kondisi perekonomian masyarakat yang tertekan. Hal ini bisa dilihat dari perubahan alokasi pengeluaran. Pada 2020 ini alokasi pengeluaran kebutuhan sehari-hari turun signifikan dari sebelumnya 49,8% pada 2019, kini tinggal 38,1%.
Sementara pengeluaran untuk kebutuhan internet justru naik signifikan dari 6,1% menjadi 8,1%. “Pengeluaran kebutuhan dasar sehari-hari turun drastis, larinya ke cicilan. Pendapatan kita turun, sementara untuk kebutuhan tetap seperti cicilan tidak bisa berkurang,” ujar Hasan. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Kotak Amal)
Dalam survei tersebut juga dipaparkan jenis kebutuhan yang diinginkan masyarakat. Pertama paling diinginkan adalah bantuan tunai sebesar 65,6%, disusul bantuan sembako 58,9%, subsidi listrik 900 watt 28,7%, program kemandirian pangan 28,1%, Kartu Prakerja 22,8%, subsidi listrik 450 watt 22,1%, dan 4,6% tidak menjawab.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan kepada menterinya tentang pentingnya memiliki sense of crisis di masa pandemi. Dia mengkritik kinerja menterinya yang selama masa work from home seolah dijadikan seperti waktu cuti. Jokowi terutama menyoroti kinerja jajarannya yang biasa-biasa saja di era krisis yang dibuktikan dengan tidak ada percepatan belanja anggaran.
“Tiga bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work from home. Yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal, pada kondisi krisis kita harusnya kerja lebih keras lagi,” katanya pada pembukaan rapat terbatas sebagaimana diunggah Biro Pers Setpres, Kamis (9/7/2020). (Abdul Rochim)
Ini berbanding terbalik dengan kinerja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang mendapat poin paling tinggi. Hal ini tergambar melalui survei Alvara Research Center yang dirilis secara virtual kemarin.
CEO Alvara Hasanuddin Ali mengatakan, indeks kepuasan publik terhadap Gugus Tugas mencapai 72,7%, disusul gubernur di masing-masing tempat tinggal responden sebesar 70,0%. Berikutnya bupati/wali kota 67,7% dan terakhir pemerintah pusat 60,2%.
“Ada perbedaan antara tingkat kepuasan terhadap gugus tugas dan pemerintah pusat. Ini berarti publik melihat bahwa penanganan atas dampak dari Covid-19 tidak terlalu diapresiasi positif oleh publik. Sementara gugus tugas lebih pada penanganan Covid-19 dan pemerintah pusat lebih pada dampak Covid-19,” ucap Hasan.
Sementara gubernur dan bupati/wali kota mendapatkan apresiasi tinggi karena mereka dalam bekerja berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga aktivitas mereka bisa lebih dirasakan langsung oleh masyarakat. (Baca: Ahli Virus China Melarikan Diri ke AS, Klaim Beijing Menutup-nutupi Corona)
Aspek kepuasan ini diukur dari beberapa parameter. Antara lain mayoritas publik mengaku puas dengan informasi protokol kesehatan mencapai 73,3%, disusul perawatan pasien Covid-19 sebesar 72,3%, dan bantuan sosial 56,2%. Berikutnya pemulihan ekonomi hanya diapresiasi 48,2%, ketegasan bagi yang melanggar protokol kesehatan 47,3%, Kartu Prakerja 39,2%, dan penanganan pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya 31,9%.
“Ternyata tingkat kepuasan publik terhadap program Kartu Prakerja rendah. Penanganan PHK juga rendah karena banyak masyarakat yang terkena. Bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan juga belum ada ketegasan. Soal pemulihan ekonomi juga belum diapresiasi,” paparnya.
Bahkan, kata Hasan, tingkat optimisme publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia juga turun, hanya berada di angka di atas 50%, tepatnya 63,5%. Kondisi ini turun dibanding survei pada Oktober 2019 yang berada di angka 71,0%.
Rinciannya, sangat optimistis sekali 2,9%, sangat optimistis 8,4%, optimistis 52,2%, pesimistis 28,1%, sangat pesimistis 4,7%, dan sangat pesimistis sekali 3,8%. (Baca juga: 36 ekor Penyu Langka Diselundupkan ke Bali)
“Angka ini tidak membuat kita happy karena sebelumnya survei terhadap optimisme publik selalu di atas 70%, bahkan pernah 80%. Ini perlu dijaga agar tingkat optimisme ini tidak turun. Tingkat optimisme itu semakin tinggi semakin baik karena di situ roda ekonomi akan bergerak,” katanya.
Hasan mengatakan sejak terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia awal Maret 2020, Alvara rutin melakukan riset untuk melihat pandangan masyarakat terkait Covid-19 dan dampaknya yang dirasakan secara riil oleh masyarakat.
Survei ini dilakukan pada 22 Juni-1 Juli 2020 dengan melibatkan 1.225 responden. Metode yang digunakan adalah Online Survey dan Mobile Assisted Phone Interview dengan wilayah survei seluruh Indonesia. Namun, ada beberapa provinsi di wilayah Indonesia timur seperti Papua, Papua Barat, dan Maluku yang karena terkendala jaringan internet dan coverage sehingga tidak masuk survei. Margin of error berkisar 2,86%.
Hasil survei ini juga menunjukkan kondisi perekonomian masyarakat yang tertekan. Hal ini bisa dilihat dari perubahan alokasi pengeluaran. Pada 2020 ini alokasi pengeluaran kebutuhan sehari-hari turun signifikan dari sebelumnya 49,8% pada 2019, kini tinggal 38,1%.
Sementara pengeluaran untuk kebutuhan internet justru naik signifikan dari 6,1% menjadi 8,1%. “Pengeluaran kebutuhan dasar sehari-hari turun drastis, larinya ke cicilan. Pendapatan kita turun, sementara untuk kebutuhan tetap seperti cicilan tidak bisa berkurang,” ujar Hasan. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Kotak Amal)
Dalam survei tersebut juga dipaparkan jenis kebutuhan yang diinginkan masyarakat. Pertama paling diinginkan adalah bantuan tunai sebesar 65,6%, disusul bantuan sembako 58,9%, subsidi listrik 900 watt 28,7%, program kemandirian pangan 28,1%, Kartu Prakerja 22,8%, subsidi listrik 450 watt 22,1%, dan 4,6% tidak menjawab.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan kepada menterinya tentang pentingnya memiliki sense of crisis di masa pandemi. Dia mengkritik kinerja menterinya yang selama masa work from home seolah dijadikan seperti waktu cuti. Jokowi terutama menyoroti kinerja jajarannya yang biasa-biasa saja di era krisis yang dibuktikan dengan tidak ada percepatan belanja anggaran.
“Tiga bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work from home. Yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal, pada kondisi krisis kita harusnya kerja lebih keras lagi,” katanya pada pembukaan rapat terbatas sebagaimana diunggah Biro Pers Setpres, Kamis (9/7/2020). (Abdul Rochim)
(ysw)