Ketahanan Pangan Kota di Adaptasi Kebiasaan Baru
loading...
A
A
A
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan
SETIAP kota wajib memiliki ketersediaan pangan bergizi yang memadai melalui pertanian berkelanjutan, sehingga warga kota tidak ada yang kelaparan atau kekurangan gizi dan kualitas hidup meningkat. Memasuki normal baru, kota harus membangun ketahanan pangan lokal, mengembangkan sistem produksi pertanian berkelanjutan, meningkatkan produksi pertanian organik dan kesejahteraan petani, serta menjaga kestabilan pasar komoditas.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah meluncurkan inisiatif “Food for the Cities” (Pangan untuk Kota, 2001) sebagai upaya mengatasi tantangan urbanisasi dan mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Kementerian Pertanian (2017) mengenalkan konsep pengembangan wilayah penyangga pangan (city region food systems/CRFS) yang mencakup proses produksi, pengolahan, dan konsumsi.
Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengamanatkan semua pihak untuk melindungi dan menyediakan kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Kebutuhan pangan masyarakat perkotaan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, Indonesia berada di peringkat kedua negara paling banyak menimbulkan sampah makanan, rata-rata memproduksi hampir 300 kilogram sampah makanan per tahun (The Economist Intelligence Unit, Fixing Food: Towards a More Sustainable Food System, 2016). Warga harus didorong mengonsumsi makanan dengan bijak, habiskan apa yang kamu makan, jangan sampai ada sampah sisa makanan. Hal ini berlaku di rumah, warung, restoran, hotel, rapat, atau pesta pernikahan sebagai kenormalan baru.
Pengelola warung makan, restoran, hotel, hingga pesta pernikahan harus turut bertanggung jawab untuk mengelola sisa sampah makanan menjadi pupuk kompos organik yang dapat digunakan kembali untuk memupuk kebun-kebun sayuran dan buah-buahan di lahan pertanian kota.
Kedua, warga diajak untuk mendiversifikasi konsumsi pangan, khususnya tidak selalu bergantung dengan nasi, sekaligus sebagai upaya menahan laju menyusutnya keanekaragaman hayati bidang pangan. Kota mendorong masyarakat untuk mengonsumsi beragam makanan tradisional khas lokal. Pengembangan inovasi berbahan pangan lokal juga harus dilakukan untuk menyesuaikan selera kekinian.
Pengembangan pangan lokal selaras dengan Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan. Keragaman sumber daya genetik menjadi kunci ketahanan pangan, keragaman pangan lokal menjadi penopang pondasi kehidupan normal baru. Prinsip pangan bijak antara lain bersifat lokal, adil bagi konsumen dan produsen, sehat atau organik, serta lestari di mana produksinya memperhitungkan lingkungan dan keragaman sumber pangan.
Ketiga, kota mengembangkan praktik pertanian kota di seluruh bidang kota yang kosong, pekarangan rumah, hingga ke dinding dan atap bangunan. Ruang terbuka hijau dioptimalkan menjadi kebun pertanian kota. Pasar, pusat perbelanjaan, dan rumah susun dilengkapi kebun pertanian di halaman, lorong koridor, hingga atap bangunan.
Untuk itu perlu dikembangkan mekanisme insentif bagi pemilik bangunan dan lahan pertanian perkotaan sebagai imbalan jasa ekologis, seperti keringanan pajak bumi bangunan, tarif listrik dan air bersih. Gerakan ini semakin meluas seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan yang sehat dan organik agar tubuh tetap sehat.
Keempat, keberlanjutan pertanian perkotaan menekankan pada keseimbangan lahan pertanian alami, pengembangan pertanian organik, hemat air, pengolahan limbah dari hasil pertanian, diversifikasi bahan pangan, transportasi logistik bahan makanan, dan kesimbangan nutrisi lahan.
Kota juga harus memperkuat kerja sama dengan daerah sentra pangan, seperti pembelian bahan pangan untuk menyuplai kebutuhan, menjamin ketersediaan pasokan pangan, menjaga stabilitas harga pangan di pasar, membantu mengelola lahan pertanian produktif dan melindungi dari kemungkinan perubahan lahan ke non pertanian.
Kelima, pertumbuhan kota harus dikendalikan agar tidak menggusur keberadaaan lahan-lahan pertanian yang subur yang berganti menjadi kawasan permukiman, komersial, atau industri. Untuk itu rencana tata ruang wilayah kota/kawasan perkotaan harus ditegakkan dengan tegas dan adil agar perubahan fungsi peruntukan lahan dapat terkendali.
Jika kota dibiarkan meluas dan lahan pertanian subur terus menyusut, maka ketahanan pangan lokal, regional, dan nasional semakin rentan. Untuk itu pengembangan kota harus terpadu dan layak huni dengan multi fungsi sehingga mengurangi kebutuhan akan lahan, efisiensi dan optimalisasi lahan, dan meredam alih fungsi lahan pertanian di pinggiran kota.
Pemerintah harus menetapkan batas wilayah pertumbuhan kota, sejauh mana kota boleh dikembangkan, sekaligus menyediakan sabuk hijau sebagai sempadan pertumbuhan kota. Tujuannya untuk melindungi lahan-lahan pertanian subur sebagai lahan pertanian berkelanjutan bagi ketahanan pangan kota.
Membangun ketahanan pangan kota secara berkelanjutan merupakan keharusan dalam kenormalan baru kota.
Pusat Studi Perkotaan
SETIAP kota wajib memiliki ketersediaan pangan bergizi yang memadai melalui pertanian berkelanjutan, sehingga warga kota tidak ada yang kelaparan atau kekurangan gizi dan kualitas hidup meningkat. Memasuki normal baru, kota harus membangun ketahanan pangan lokal, mengembangkan sistem produksi pertanian berkelanjutan, meningkatkan produksi pertanian organik dan kesejahteraan petani, serta menjaga kestabilan pasar komoditas.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah meluncurkan inisiatif “Food for the Cities” (Pangan untuk Kota, 2001) sebagai upaya mengatasi tantangan urbanisasi dan mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Kementerian Pertanian (2017) mengenalkan konsep pengembangan wilayah penyangga pangan (city region food systems/CRFS) yang mencakup proses produksi, pengolahan, dan konsumsi.
Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengamanatkan semua pihak untuk melindungi dan menyediakan kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Kebutuhan pangan masyarakat perkotaan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, Indonesia berada di peringkat kedua negara paling banyak menimbulkan sampah makanan, rata-rata memproduksi hampir 300 kilogram sampah makanan per tahun (The Economist Intelligence Unit, Fixing Food: Towards a More Sustainable Food System, 2016). Warga harus didorong mengonsumsi makanan dengan bijak, habiskan apa yang kamu makan, jangan sampai ada sampah sisa makanan. Hal ini berlaku di rumah, warung, restoran, hotel, rapat, atau pesta pernikahan sebagai kenormalan baru.
Pengelola warung makan, restoran, hotel, hingga pesta pernikahan harus turut bertanggung jawab untuk mengelola sisa sampah makanan menjadi pupuk kompos organik yang dapat digunakan kembali untuk memupuk kebun-kebun sayuran dan buah-buahan di lahan pertanian kota.
Kedua, warga diajak untuk mendiversifikasi konsumsi pangan, khususnya tidak selalu bergantung dengan nasi, sekaligus sebagai upaya menahan laju menyusutnya keanekaragaman hayati bidang pangan. Kota mendorong masyarakat untuk mengonsumsi beragam makanan tradisional khas lokal. Pengembangan inovasi berbahan pangan lokal juga harus dilakukan untuk menyesuaikan selera kekinian.
Pengembangan pangan lokal selaras dengan Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan. Keragaman sumber daya genetik menjadi kunci ketahanan pangan, keragaman pangan lokal menjadi penopang pondasi kehidupan normal baru. Prinsip pangan bijak antara lain bersifat lokal, adil bagi konsumen dan produsen, sehat atau organik, serta lestari di mana produksinya memperhitungkan lingkungan dan keragaman sumber pangan.
Ketiga, kota mengembangkan praktik pertanian kota di seluruh bidang kota yang kosong, pekarangan rumah, hingga ke dinding dan atap bangunan. Ruang terbuka hijau dioptimalkan menjadi kebun pertanian kota. Pasar, pusat perbelanjaan, dan rumah susun dilengkapi kebun pertanian di halaman, lorong koridor, hingga atap bangunan.
Untuk itu perlu dikembangkan mekanisme insentif bagi pemilik bangunan dan lahan pertanian perkotaan sebagai imbalan jasa ekologis, seperti keringanan pajak bumi bangunan, tarif listrik dan air bersih. Gerakan ini semakin meluas seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan yang sehat dan organik agar tubuh tetap sehat.
Keempat, keberlanjutan pertanian perkotaan menekankan pada keseimbangan lahan pertanian alami, pengembangan pertanian organik, hemat air, pengolahan limbah dari hasil pertanian, diversifikasi bahan pangan, transportasi logistik bahan makanan, dan kesimbangan nutrisi lahan.
Kota juga harus memperkuat kerja sama dengan daerah sentra pangan, seperti pembelian bahan pangan untuk menyuplai kebutuhan, menjamin ketersediaan pasokan pangan, menjaga stabilitas harga pangan di pasar, membantu mengelola lahan pertanian produktif dan melindungi dari kemungkinan perubahan lahan ke non pertanian.
Kelima, pertumbuhan kota harus dikendalikan agar tidak menggusur keberadaaan lahan-lahan pertanian yang subur yang berganti menjadi kawasan permukiman, komersial, atau industri. Untuk itu rencana tata ruang wilayah kota/kawasan perkotaan harus ditegakkan dengan tegas dan adil agar perubahan fungsi peruntukan lahan dapat terkendali.
Jika kota dibiarkan meluas dan lahan pertanian subur terus menyusut, maka ketahanan pangan lokal, regional, dan nasional semakin rentan. Untuk itu pengembangan kota harus terpadu dan layak huni dengan multi fungsi sehingga mengurangi kebutuhan akan lahan, efisiensi dan optimalisasi lahan, dan meredam alih fungsi lahan pertanian di pinggiran kota.
Pemerintah harus menetapkan batas wilayah pertumbuhan kota, sejauh mana kota boleh dikembangkan, sekaligus menyediakan sabuk hijau sebagai sempadan pertumbuhan kota. Tujuannya untuk melindungi lahan-lahan pertanian subur sebagai lahan pertanian berkelanjutan bagi ketahanan pangan kota.
Membangun ketahanan pangan kota secara berkelanjutan merupakan keharusan dalam kenormalan baru kota.
(ras)