Pentingnya Forum Lintas Agama di ASEAN
loading...
![Pentingnya Forum Lintas...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2022/12/25/18/978659/pentingnya-forum-lintas-agama-di-asean-twv.webp)
Bunyan Saptomo (Foto: Ist)
A
A
A
Bunyan Saptomo
Mantan Duta Besar RI di Sofia, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI
TAHUN 2023 Indonesia akan menjadi ketua ASEAN. Keketuaan ASEAN tahun depan mengusung tema “Asean Matters: Epicentrum of Growth” yang menunjukkan fokus perhatian pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam sebuah pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa ASEAN harus menjadi wilayah yang stabil dan damai. Disampaikan pula bahwa ASEAN harus terus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Disadari, tugas ini sangat berat, mengingat kepentingan negara anggota ASEAN masih beragam, apalagi kepentingan masyarakat yang sangat majemuk. Untuk itu, Pemerintah harus lebih aktif merangkul semua stakeholders, termasuk ormas keagamaan, untuk bekerja sama mewujudkan tujuan ASEAN.
ASEAN didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh lima negara, yaitu: Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. Dalam perkembangannya sampai akhir abad 20 jumlah anggota meningkat jadi 10 negara (tambah Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) dan tahun ini anggotanya menjadi 11 (tambah Timor Leste).
Dalam Deklarasi ASEAN 1967 disepakati pembentukan ASEAN untuk mencapai tujuh butir tujuan, di antaranya yang terpenting adalah sebagai forum kerja sama ekonomi dan sosial budaya, dan kerja sama mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut keketuaan Indonesia di ASEAN, khususnya untuk membahas pentingnya forum dialog lintas agama yang lebih intensif dalam upaya mewujudkan Komunitas ASEAN.
Dari Kawasan Benturan Peradaban ke Kawasan Damai
Dalam sejarah Asia Tenggara kita secara umum mengetahui terjadinya konflik akibat benturan antarperadaban dan agama di kawasan, khususnya di Indonesia. Untuk Asia Tenggara di luar Indonesia kita melihat ada empat kasus konflik yang menonjol, yaitu kasus konflik di Filipina Selatan, Thailand Selatan, Rohingya dan Kamboja.
Konflik Filipina Selatan (Mindanao) merupakan konflik akibat benturan dari dua agama besar (Islam dan Katolik) meskipun ada juga unsur etnisitas. Konflik ini berakar sejak abad 16 yaitu antara Kesultanan/Kedatuan yang sudah ada di Filipina dengan penjajah Spanyol yang datang belakangan.
Pada waktu Perang Dunia (PD) ke II, Amerika Serikat (AS) menjanjikan kemerdekaan Mindanao bila Bangsa Moro membantu AS dalam perang melawan Jepang. Namun setelah PD II Mindanao tetap menjadi satu dengan Filipina yang merdeka pada 1946.
Kekecewaan ini ditambah perasaan didiskriminasikan oleh Pemerintah Manila selama 23 tahun bersatu. Maka, pada1969 pecahlah pemberontakan Bangsa Moro melawan Pemerintah Manila. Setelah lebih 40 tahun, akhirnya konflik dapat diselesaikan dengan ditandatanganinya perjanjian damai pada 2014.
Konflik Thailand Selatan (Pathani) merupakan konflik akibat benturan dari dua agama besar (Islam dan Buddha) meskipun ada unsur etnisitas juga. Konflik ini bermula pada abad 18 di mana pada 1785 Kesultanan Pathani yang muslim ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand) yang Budha. Akhirnya konflik tersebut dapat diredam melalui kebijakan Pemerintah Bangkok yang positif, yaitu melibatkan mereka dalam pemerintahan pada 2006.
Adapun konflik Rohingya di Myanmar merupakan konflik akibat benturan dua agama besar (Islam dan Buddha) meskipun ada juga unsur etnisitas. Menurut catatan sejarah keberadaan orang Rohingya di Arakan sudah sejak lama. Konflik ini mulanya dari penaklukan kerajaan Arakan oleh Kerajaan Burma pada 1785. Kemudian setelah Myanmar merdeka, pemerintah Myanmar tak mengakui mereka sebagai warga negara. Puncaknya, pada 2017 ketika terjadi pembantaian dan pengusiran secara besar-besaran yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang Rohingya mengungsi.
Konflik Kamboja sangat menonjol karena kekejaman rezim komunis Khmer Merah pimpinan Polpot pada 1975-1979. Selama empat tahun berkuasa, rezim ini telah membantai sekitar dua juta rakyatnya sendiri yang tidak setuju dengan komunisme, termasuk kelompok agama.
Tercatat sekitar 90.000 muslim Kamboja turut dibantai. Akhirnya rezim ini dapat ditumbangkan oleh kelompok perlawanan yang dibantu Vietnam.
Keberadaan ASEAN lambat laun berhasil meminimalisasi empat kasus konflik benturan peradaban besar tersebut. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan benturan tersebut akan membesar lagi. Untuk itu perlu diintensifkan dialog antarsemua kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama, di kawasan ini.
Pentingnya Forum Lintas Agama
Pada 2015 ASEAN sepakat membentuk Komunitas ASEAN dengan tujuan memperkuat integrasi ASEAN. Komunitas ASEAN meliputi tiga pilar, yaitu; Pertama, ASEAN Economic Community/Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) yang bertujuan mencapai integrasi ekonomi Kawasan Asia Tenggara. Kedua, ASEAN Political and Security Community/Masyarakat Politik dan Keamanan (APSC) yang bertujuan mewujudkan Kawasan Asia Tenggara yang damai dan stabil. Ketiga, ASEAN Social and Cultural Community/Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASCC) yang bertujuan mewujudkan masyarakat ASEAN yang harmonis dan inklusif pada 2025.
Forum dialog antarkelompok masyarakat, termasuk antarkelompok agama dalam upaya memperkuat komunitas ASEAN sangat penting karena berbagai alasan. Pertama, masyarakat di Kawasan Asia Tenggara termasuk salah satu masyarakat yang paling majemuk di dunia. Bila di Indonesia saja ada lebih dari 700 suku bangsa dengan bahasa dan budaya masing-masing, maka di seluruh Asia Tenggara tentu lebih banyak, bisa lebih dari dua kali lipat. Selain suku bangsa asli Asia Tenggara juga banyak etnis asing yang tinggal di kawasan ini, seperti etnis China, Arab, India dan Eropa.
Kedua, mayoritas penduduk ASEAN adalah masyarakat beragama. Menurut Kishore Mahbubani dalam bukunya Keajaiban ASEAN, dari 600 juta penduduk ASEAN terdapat 240 juta Muslim (40%), 130 juta Kristen (22%), 140 Budha (24%), 8 juta Hindu (1,4%). Jadi mayoritas mutlak (87,4%) penduduk ASEAN penganut empat agama besar, sisanya mungkin menganut atheis, komunis dan kepercayaan lain.
Ketiga, meningkatnya persaingan AS dan China di kawasan dikhawatirkan akan menciptakan gelombang benturan yang membahayakan komunitas ASEAN. Di lapangan terlihat semakin jelas potensi konflik antara AS dan China, yaitu di Laut China Selatan dan Taiwan. Yang dikhawatirkan, ulah kedua raksasa tersebut bisa memecah belah ASEAN baik pada tingkat negara maupun tingkat masyarakat.
Untuk itu, ASEAN perlu meningkatkan upaya memupuk solidaritas antaranggotanya, baik pada tingkat negara maupun pada tingkat masyarakat.
Keempat, adanya fakta masih adanya konflik antarkelompok etnis/agama di ASEAN. Yang paling menonjol adalah konflik etnis/agama di Myanmar 2017 yang berujung pada pembantaian dan pengusiran besar-besaran yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang Rohingya mengungsi. Sampai sekarang ASEAN nampaknya masih kesulitan untuk menyelesaikan masalah ini.
Mengingat empat alasan itu, maka Indonesia yang selama ini dikenal sangat toleran dan berhasil mengembangkan forum kerukunan umat beragama di dalam negeri, serta telah aktif mengembangkan inter-faith dialogues dengan negara lain, diharapkan bisa lebih aktif mengembangkan forum dialog untuk kerukunan beragama di ASEAN guna mewujudkan komunitas ASEAN.
Memang selama ini Indonesia sudah pernah mengadakan forum interfaith ASEAN, tapi belum permanen dan belum terlihat dampaknya, khususnya bagi penyelesaian konflik antarkelompok dan pelanggaran HAM berat di Myanmar.
Maka, di 2023 nanti, saat Indonesia menjadi ketua ASEAN, ada sejumlah tugas yang menanti demi memajukan kepentingan dan kesejahteraan ASEAN, termasuk mewujudkan Komunitas ASEAN. Bagaimana mungkin Komunitas ASEAN bisa terwujud apabila masih terjadi konflik antarkelompok masyarakat dan pelanggaran HAM berat di dalamnya.
Untuk itu, diharapkan Pemerintah RI lebih aktif mengajak ormas lintas agama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat forum dialog lintas agama ASEAN secara lebih permanen mulai 2023 secara berkelanjutan demi mewujudkan Komunitas ASEAN yang solid.
Semoga sebagai ketua ASEAN pada 2023, Indonesia lebih berhasil mewujudkan apa yang ditulis oleh Kishore Mahbubani: “Dalam ASEAN, sebuah kultur damai telah berkembang sebagai hasil penerapan budaya Indonesia "musyawarah" dan "mufakat" (konsultasi dan konsensus)”.
Mantan Duta Besar RI di Sofia, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI
TAHUN 2023 Indonesia akan menjadi ketua ASEAN. Keketuaan ASEAN tahun depan mengusung tema “Asean Matters: Epicentrum of Growth” yang menunjukkan fokus perhatian pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam sebuah pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa ASEAN harus menjadi wilayah yang stabil dan damai. Disampaikan pula bahwa ASEAN harus terus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Disadari, tugas ini sangat berat, mengingat kepentingan negara anggota ASEAN masih beragam, apalagi kepentingan masyarakat yang sangat majemuk. Untuk itu, Pemerintah harus lebih aktif merangkul semua stakeholders, termasuk ormas keagamaan, untuk bekerja sama mewujudkan tujuan ASEAN.
ASEAN didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh lima negara, yaitu: Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. Dalam perkembangannya sampai akhir abad 20 jumlah anggota meningkat jadi 10 negara (tambah Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) dan tahun ini anggotanya menjadi 11 (tambah Timor Leste).
Dalam Deklarasi ASEAN 1967 disepakati pembentukan ASEAN untuk mencapai tujuh butir tujuan, di antaranya yang terpenting adalah sebagai forum kerja sama ekonomi dan sosial budaya, dan kerja sama mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut keketuaan Indonesia di ASEAN, khususnya untuk membahas pentingnya forum dialog lintas agama yang lebih intensif dalam upaya mewujudkan Komunitas ASEAN.
Dari Kawasan Benturan Peradaban ke Kawasan Damai
Dalam sejarah Asia Tenggara kita secara umum mengetahui terjadinya konflik akibat benturan antarperadaban dan agama di kawasan, khususnya di Indonesia. Untuk Asia Tenggara di luar Indonesia kita melihat ada empat kasus konflik yang menonjol, yaitu kasus konflik di Filipina Selatan, Thailand Selatan, Rohingya dan Kamboja.
Konflik Filipina Selatan (Mindanao) merupakan konflik akibat benturan dari dua agama besar (Islam dan Katolik) meskipun ada juga unsur etnisitas. Konflik ini berakar sejak abad 16 yaitu antara Kesultanan/Kedatuan yang sudah ada di Filipina dengan penjajah Spanyol yang datang belakangan.
Pada waktu Perang Dunia (PD) ke II, Amerika Serikat (AS) menjanjikan kemerdekaan Mindanao bila Bangsa Moro membantu AS dalam perang melawan Jepang. Namun setelah PD II Mindanao tetap menjadi satu dengan Filipina yang merdeka pada 1946.
Kekecewaan ini ditambah perasaan didiskriminasikan oleh Pemerintah Manila selama 23 tahun bersatu. Maka, pada1969 pecahlah pemberontakan Bangsa Moro melawan Pemerintah Manila. Setelah lebih 40 tahun, akhirnya konflik dapat diselesaikan dengan ditandatanganinya perjanjian damai pada 2014.
Konflik Thailand Selatan (Pathani) merupakan konflik akibat benturan dari dua agama besar (Islam dan Buddha) meskipun ada unsur etnisitas juga. Konflik ini bermula pada abad 18 di mana pada 1785 Kesultanan Pathani yang muslim ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand) yang Budha. Akhirnya konflik tersebut dapat diredam melalui kebijakan Pemerintah Bangkok yang positif, yaitu melibatkan mereka dalam pemerintahan pada 2006.
Adapun konflik Rohingya di Myanmar merupakan konflik akibat benturan dua agama besar (Islam dan Buddha) meskipun ada juga unsur etnisitas. Menurut catatan sejarah keberadaan orang Rohingya di Arakan sudah sejak lama. Konflik ini mulanya dari penaklukan kerajaan Arakan oleh Kerajaan Burma pada 1785. Kemudian setelah Myanmar merdeka, pemerintah Myanmar tak mengakui mereka sebagai warga negara. Puncaknya, pada 2017 ketika terjadi pembantaian dan pengusiran secara besar-besaran yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang Rohingya mengungsi.
Konflik Kamboja sangat menonjol karena kekejaman rezim komunis Khmer Merah pimpinan Polpot pada 1975-1979. Selama empat tahun berkuasa, rezim ini telah membantai sekitar dua juta rakyatnya sendiri yang tidak setuju dengan komunisme, termasuk kelompok agama.
Tercatat sekitar 90.000 muslim Kamboja turut dibantai. Akhirnya rezim ini dapat ditumbangkan oleh kelompok perlawanan yang dibantu Vietnam.
Keberadaan ASEAN lambat laun berhasil meminimalisasi empat kasus konflik benturan peradaban besar tersebut. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan benturan tersebut akan membesar lagi. Untuk itu perlu diintensifkan dialog antarsemua kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama, di kawasan ini.
Pentingnya Forum Lintas Agama
Pada 2015 ASEAN sepakat membentuk Komunitas ASEAN dengan tujuan memperkuat integrasi ASEAN. Komunitas ASEAN meliputi tiga pilar, yaitu; Pertama, ASEAN Economic Community/Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) yang bertujuan mencapai integrasi ekonomi Kawasan Asia Tenggara. Kedua, ASEAN Political and Security Community/Masyarakat Politik dan Keamanan (APSC) yang bertujuan mewujudkan Kawasan Asia Tenggara yang damai dan stabil. Ketiga, ASEAN Social and Cultural Community/Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASCC) yang bertujuan mewujudkan masyarakat ASEAN yang harmonis dan inklusif pada 2025.
Forum dialog antarkelompok masyarakat, termasuk antarkelompok agama dalam upaya memperkuat komunitas ASEAN sangat penting karena berbagai alasan. Pertama, masyarakat di Kawasan Asia Tenggara termasuk salah satu masyarakat yang paling majemuk di dunia. Bila di Indonesia saja ada lebih dari 700 suku bangsa dengan bahasa dan budaya masing-masing, maka di seluruh Asia Tenggara tentu lebih banyak, bisa lebih dari dua kali lipat. Selain suku bangsa asli Asia Tenggara juga banyak etnis asing yang tinggal di kawasan ini, seperti etnis China, Arab, India dan Eropa.
Kedua, mayoritas penduduk ASEAN adalah masyarakat beragama. Menurut Kishore Mahbubani dalam bukunya Keajaiban ASEAN, dari 600 juta penduduk ASEAN terdapat 240 juta Muslim (40%), 130 juta Kristen (22%), 140 Budha (24%), 8 juta Hindu (1,4%). Jadi mayoritas mutlak (87,4%) penduduk ASEAN penganut empat agama besar, sisanya mungkin menganut atheis, komunis dan kepercayaan lain.
Ketiga, meningkatnya persaingan AS dan China di kawasan dikhawatirkan akan menciptakan gelombang benturan yang membahayakan komunitas ASEAN. Di lapangan terlihat semakin jelas potensi konflik antara AS dan China, yaitu di Laut China Selatan dan Taiwan. Yang dikhawatirkan, ulah kedua raksasa tersebut bisa memecah belah ASEAN baik pada tingkat negara maupun tingkat masyarakat.
Untuk itu, ASEAN perlu meningkatkan upaya memupuk solidaritas antaranggotanya, baik pada tingkat negara maupun pada tingkat masyarakat.
Keempat, adanya fakta masih adanya konflik antarkelompok etnis/agama di ASEAN. Yang paling menonjol adalah konflik etnis/agama di Myanmar 2017 yang berujung pada pembantaian dan pengusiran besar-besaran yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang Rohingya mengungsi. Sampai sekarang ASEAN nampaknya masih kesulitan untuk menyelesaikan masalah ini.
Mengingat empat alasan itu, maka Indonesia yang selama ini dikenal sangat toleran dan berhasil mengembangkan forum kerukunan umat beragama di dalam negeri, serta telah aktif mengembangkan inter-faith dialogues dengan negara lain, diharapkan bisa lebih aktif mengembangkan forum dialog untuk kerukunan beragama di ASEAN guna mewujudkan komunitas ASEAN.
Memang selama ini Indonesia sudah pernah mengadakan forum interfaith ASEAN, tapi belum permanen dan belum terlihat dampaknya, khususnya bagi penyelesaian konflik antarkelompok dan pelanggaran HAM berat di Myanmar.
Maka, di 2023 nanti, saat Indonesia menjadi ketua ASEAN, ada sejumlah tugas yang menanti demi memajukan kepentingan dan kesejahteraan ASEAN, termasuk mewujudkan Komunitas ASEAN. Bagaimana mungkin Komunitas ASEAN bisa terwujud apabila masih terjadi konflik antarkelompok masyarakat dan pelanggaran HAM berat di dalamnya.
Untuk itu, diharapkan Pemerintah RI lebih aktif mengajak ormas lintas agama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat forum dialog lintas agama ASEAN secara lebih permanen mulai 2023 secara berkelanjutan demi mewujudkan Komunitas ASEAN yang solid.
Semoga sebagai ketua ASEAN pada 2023, Indonesia lebih berhasil mewujudkan apa yang ditulis oleh Kishore Mahbubani: “Dalam ASEAN, sebuah kultur damai telah berkembang sebagai hasil penerapan budaya Indonesia "musyawarah" dan "mufakat" (konsultasi dan konsensus)”.
(bmm)