Mendefinisikan Muslim Moderat di Indonesia
loading...
A
A
A
Ridwan
Dosen Pengajar Islam Wasathiyyah di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Ketua Lakpesdam PCINU Australia dan New Zealand.
DEWASA ini, seminar-seminar dan pelatihan moderasi beragama sedang giat-giatnya dilakukan di beberapa institusi/organisasi dan unit, termasuk universitas dan Litbang, di bawah Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Sejatinya, moderasi beragama adalah satu kegiatan yang telah digagas Kemenag pada 2019 dan konsep tersebut sedang menyebar luas di tanah air dan telah menjadi kosakata baru “politik agama”, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi.
Moderasi beragama telah menjadi sebuah fenomena global dengan mana para akademisi dan aktivis kerukunan menyebutnya sebagai “kebangkitan agama”. Di dunia global, kajian moderasi beragama, khususnya muslim moderat banyak dikaji dalam hal tema dan tempat kajian, termasuk di Amerika Serikat, misalnya.
Sebagai konsep, moderasi beragama, terutama muslim moderat, bukanlah suatu konsep yang sudah selesai. Karenanya, kajian tentang moderasi beragama tampaknya perlu terus didiskusikan untuk membuatnya relevan dan membumi dengan konsteks sosial politik di tanah air. Moderasi beragama sebagai sebuah konsep diadang batu ujian kesangsian dengan pelbagai aksi kekerasan dan terorisme berinspirasikan agama yang masih berlaku, dan juga meningkatnya polarisasi politik beberapa tahun terakhir. Menjelang Pemilu 2024, polarisasi di tengah masyarakat dibentuk oleh politik identitas, yang membelah masyarakat dalam dua kamp, yang menjadikan agama sebagai senjata untuk mendefinisikan batasan antara kita dan mereka.
Sejauh ini, siapa muslim moderat tersebut menjadi konsep yang belum tuntas. Ada berbagai penafsiran dan konsepnya telah dan sedang dipahami secara berbeda oleh berbagai grup yang beragam. Acap muslim moderat dikontraskan dengan Islam radikal. Sesuatu yang tampaknya tidak salah, namun perlu dikaji lebih jauh. Banyak yang berpandangan bahwa kebanyakan survei dan studi tentang muslim radikal bersandar pada instrumen dari kerangka kerja Barat terkait dengan persetujuan dan pandangan terhadap demokrasi, jihad, pluralisme dan keadilan gender. Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan siapa muslim moderat tersebut sehingga kita memiliki gambaran dan perspektif yang lebih luas.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837) "Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses pembangunan identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam". Siapakah Muslim moderat? Dan apa yang merupakan pandangan moderat mereka terhadap agama? Memang, istilah "Muslim moderat" secara akademis menantang dan, pada kenyataannya, acap diperebutkan. Maknanya dapat bervariasi, tergantung pada siapa yang mendefinisikan ide-ide tersebut dan juga preferensi mereka. Singkatnya, tidak ada konsensus tentang istilah Muslim moderat. Namun, secara umum, umat Islam moderat dikaitkan dengan masyarakat muslim berdasarkan semangat moderasi Islam atau ummatan washatan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an (Q.S. Al Baqarah, 2: 143) Sebaiknya, pengertian ummatan washatan mengacu pada masyarakat yang selalu menjunjung tinggi keseimbangan hidup dan aktivitasnya, tidak jatuh ke dalam ekstremisme, radikalisme, dan aksi kekerasan. Namun, pemikiran Islam klasik dulu berkaitan dengan beberapa terminologi Arab yang merujuk pada gagasan tawasuth (moderasi), Al Qist (keadilan), Al' I'tidal (harmoni), tasamuh (toleransi). Dalam hal ini, umat Islam sangat dianjurkan untuk menerapkan roh-roh itu dalam kehidupan perilaku mereka serta mempraktikkan mode religiusitas tanpa kekerasan.
Kamali (2015), dalam sebuah bukunya yang berjudul Jalan Tengah Moderasi dalam Islam, menjelaskan konsep moderasi dalam kerangka acuan Islam. Menurut Kamali (hlm. 24), Moderasi, atau Wasathiyyah (dalam bahasa Arab) terkait dengan keadilan, yang menyiratkan memilih jalan tengah di antara berbagai ekstremitas. Kebalikannya adalah tatarruf yang berarti "kecenderungan ke arah pinggiran" yang dikenal sebagai "ekstremisme", "radikalisme" dan "kelebihan". Oleh karena itu, Wasathiyyah didefinisikan sebagai "postur yang direkomendasikan yang terjadi pada orang-orang yang memiliki sifat dan kecerdasan yang sehat, dibedakan oleh keengganannya terhadap ekstremisme dan pengabaian nyata". Singkatnya, Wasathiyyah merupakan aspek penting dalam Islam yang diabaikan oleh sebagian umat Islam, padahal itu adalah esensi dari ajaran Islam.
Dalam mendefinisikan Islam "moderat", beberapa sarjana mempertahankan beberapa sifat dan karakter seperti menerima pemerintahan demokratis, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum Syari'at dan sekuler, dan memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap perspektif alternatif. Secara umum, muslim moderat dimaknai tidak radikal, dapat bekerja sama dengan pemerintah dan kelompok sosial dan politik lainnya untuk melawan radikalisme. Muslim moderat menganut kecocokan Islam dan demokrasi dan kebebasan individu yang kita semua hargai di Barat. Dengan nada yang sama, Schmid (2017) berpendapat bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang toleran, tidak menggunakan kekerasan dan menerima nilai-nilai demokrasi. Selain itu, literatur ulasan tentang Muslim moderat juga menunjukkan bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang mempraktikkan atau percaya pada "non-kekerasan dan liberalisme, diikuti oleh kepercayaan pada metode demokratis dan pluralis ditambah dengan semangat toleransi" (Rashid, 2020, hlm. 837).
Gagasan Muslim Moderat mulai banyak dikembangkan secara internasional. Misalnya, Amerika Serikat, yang sering diganggu oleh kaum radikal yang mendorong kekerasan yang diilhami agama, membutuhkan program untuk mendorong ideologi yang melawan jaringan ekstremisme. Dalam hal ini, ideologi dibangun tidak hanya pada konsep-konsep Barat, tetapi mengacu pada "tradisi dalam paradigma Islam yang terbuka, toleran dan pluralistik". Ketika tradisi ini dihidupkan dalam komunitas Muslim, ini akan mendorong gerakan akar rumput untuk perubahan. Namun, Mirahmadi dalam bukunya Navigating Islam in America menyatakan bahwa sejak pemerintah Amerika Serikat dengan penuh semangat mempromosikan demokrasi dan kebebasan, yang dengannya para sarjana menemukan diri mereka sebagai "moderat". Di sini, dibutuhkan kemampuan untuk menilai tulisan-tulisan para sarjana yang ditujukan untuk publik mereka, tidak hanya pada apa yang mereka sajikan kepada audiens Barat, karena seringkali ada kontras yang tajam antara pseudo-moderat untuk konsumsi publik dan apa yang mereka hasilkan untuk komunitas muslim.
Sementara itu, beberapa cendekiawan di negara itu juga telah menggunakan istilah muslim moderat dalam studi mereka. Misalnya, Umar (2016) menjelaskan bahwa Kementerian Luar Negeri RI telah mengampanyekan 'Islam Moderat' yang melekat pada demokrasi. Najib (2012) menjelaskan makna muslim moderat yang digunakan Nahdlatul Ulama (NU) lebih bersifat teologis daripada penggunaannya di Amerika yang bersifat politis dalam arti perang melawan teror. Dalam hal ini Zuhur (2008) menyatakan bahwa kaum moderat dalam konteks ini lebih tepat sebagai muslim sekuleris yang mengedepankan kebijakan dan perubahan dalam masyarakat muslim yang sesuai dengan tujuan Amerika Serikat. Terakhir, Kementerian Agama (Kemenag, 2019, hlm. 17-18) mendefinisikan moderasi sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama".
Singkatnya, Islam moderat adalah pemahaman atau pandangan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum syari'at dan sekuler, serta memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap berbagai perspektif alternatif. Selain itu, umat Islam moderat menerapkan pola pikir, sikap dan perilaku yang selalu menempatkan dirinya di jalan tengah, selalu berbuat adil dan tidak mengikuti jalan ekstrem dalam memeluk agama. Apakah kita termasuk yang moderat tersebut?
Dosen Pengajar Islam Wasathiyyah di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Ketua Lakpesdam PCINU Australia dan New Zealand.
DEWASA ini, seminar-seminar dan pelatihan moderasi beragama sedang giat-giatnya dilakukan di beberapa institusi/organisasi dan unit, termasuk universitas dan Litbang, di bawah Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Sejatinya, moderasi beragama adalah satu kegiatan yang telah digagas Kemenag pada 2019 dan konsep tersebut sedang menyebar luas di tanah air dan telah menjadi kosakata baru “politik agama”, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi.
Moderasi beragama telah menjadi sebuah fenomena global dengan mana para akademisi dan aktivis kerukunan menyebutnya sebagai “kebangkitan agama”. Di dunia global, kajian moderasi beragama, khususnya muslim moderat banyak dikaji dalam hal tema dan tempat kajian, termasuk di Amerika Serikat, misalnya.
Sebagai konsep, moderasi beragama, terutama muslim moderat, bukanlah suatu konsep yang sudah selesai. Karenanya, kajian tentang moderasi beragama tampaknya perlu terus didiskusikan untuk membuatnya relevan dan membumi dengan konsteks sosial politik di tanah air. Moderasi beragama sebagai sebuah konsep diadang batu ujian kesangsian dengan pelbagai aksi kekerasan dan terorisme berinspirasikan agama yang masih berlaku, dan juga meningkatnya polarisasi politik beberapa tahun terakhir. Menjelang Pemilu 2024, polarisasi di tengah masyarakat dibentuk oleh politik identitas, yang membelah masyarakat dalam dua kamp, yang menjadikan agama sebagai senjata untuk mendefinisikan batasan antara kita dan mereka.
Sejauh ini, siapa muslim moderat tersebut menjadi konsep yang belum tuntas. Ada berbagai penafsiran dan konsepnya telah dan sedang dipahami secara berbeda oleh berbagai grup yang beragam. Acap muslim moderat dikontraskan dengan Islam radikal. Sesuatu yang tampaknya tidak salah, namun perlu dikaji lebih jauh. Banyak yang berpandangan bahwa kebanyakan survei dan studi tentang muslim radikal bersandar pada instrumen dari kerangka kerja Barat terkait dengan persetujuan dan pandangan terhadap demokrasi, jihad, pluralisme dan keadilan gender. Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan siapa muslim moderat tersebut sehingga kita memiliki gambaran dan perspektif yang lebih luas.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837) "Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses pembangunan identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam". Siapakah Muslim moderat? Dan apa yang merupakan pandangan moderat mereka terhadap agama? Memang, istilah "Muslim moderat" secara akademis menantang dan, pada kenyataannya, acap diperebutkan. Maknanya dapat bervariasi, tergantung pada siapa yang mendefinisikan ide-ide tersebut dan juga preferensi mereka. Singkatnya, tidak ada konsensus tentang istilah Muslim moderat. Namun, secara umum, umat Islam moderat dikaitkan dengan masyarakat muslim berdasarkan semangat moderasi Islam atau ummatan washatan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an (Q.S. Al Baqarah, 2: 143) Sebaiknya, pengertian ummatan washatan mengacu pada masyarakat yang selalu menjunjung tinggi keseimbangan hidup dan aktivitasnya, tidak jatuh ke dalam ekstremisme, radikalisme, dan aksi kekerasan. Namun, pemikiran Islam klasik dulu berkaitan dengan beberapa terminologi Arab yang merujuk pada gagasan tawasuth (moderasi), Al Qist (keadilan), Al' I'tidal (harmoni), tasamuh (toleransi). Dalam hal ini, umat Islam sangat dianjurkan untuk menerapkan roh-roh itu dalam kehidupan perilaku mereka serta mempraktikkan mode religiusitas tanpa kekerasan.
Kamali (2015), dalam sebuah bukunya yang berjudul Jalan Tengah Moderasi dalam Islam, menjelaskan konsep moderasi dalam kerangka acuan Islam. Menurut Kamali (hlm. 24), Moderasi, atau Wasathiyyah (dalam bahasa Arab) terkait dengan keadilan, yang menyiratkan memilih jalan tengah di antara berbagai ekstremitas. Kebalikannya adalah tatarruf yang berarti "kecenderungan ke arah pinggiran" yang dikenal sebagai "ekstremisme", "radikalisme" dan "kelebihan". Oleh karena itu, Wasathiyyah didefinisikan sebagai "postur yang direkomendasikan yang terjadi pada orang-orang yang memiliki sifat dan kecerdasan yang sehat, dibedakan oleh keengganannya terhadap ekstremisme dan pengabaian nyata". Singkatnya, Wasathiyyah merupakan aspek penting dalam Islam yang diabaikan oleh sebagian umat Islam, padahal itu adalah esensi dari ajaran Islam.
Dalam mendefinisikan Islam "moderat", beberapa sarjana mempertahankan beberapa sifat dan karakter seperti menerima pemerintahan demokratis, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum Syari'at dan sekuler, dan memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap perspektif alternatif. Secara umum, muslim moderat dimaknai tidak radikal, dapat bekerja sama dengan pemerintah dan kelompok sosial dan politik lainnya untuk melawan radikalisme. Muslim moderat menganut kecocokan Islam dan demokrasi dan kebebasan individu yang kita semua hargai di Barat. Dengan nada yang sama, Schmid (2017) berpendapat bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang toleran, tidak menggunakan kekerasan dan menerima nilai-nilai demokrasi. Selain itu, literatur ulasan tentang Muslim moderat juga menunjukkan bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang mempraktikkan atau percaya pada "non-kekerasan dan liberalisme, diikuti oleh kepercayaan pada metode demokratis dan pluralis ditambah dengan semangat toleransi" (Rashid, 2020, hlm. 837).
Gagasan Muslim Moderat mulai banyak dikembangkan secara internasional. Misalnya, Amerika Serikat, yang sering diganggu oleh kaum radikal yang mendorong kekerasan yang diilhami agama, membutuhkan program untuk mendorong ideologi yang melawan jaringan ekstremisme. Dalam hal ini, ideologi dibangun tidak hanya pada konsep-konsep Barat, tetapi mengacu pada "tradisi dalam paradigma Islam yang terbuka, toleran dan pluralistik". Ketika tradisi ini dihidupkan dalam komunitas Muslim, ini akan mendorong gerakan akar rumput untuk perubahan. Namun, Mirahmadi dalam bukunya Navigating Islam in America menyatakan bahwa sejak pemerintah Amerika Serikat dengan penuh semangat mempromosikan demokrasi dan kebebasan, yang dengannya para sarjana menemukan diri mereka sebagai "moderat". Di sini, dibutuhkan kemampuan untuk menilai tulisan-tulisan para sarjana yang ditujukan untuk publik mereka, tidak hanya pada apa yang mereka sajikan kepada audiens Barat, karena seringkali ada kontras yang tajam antara pseudo-moderat untuk konsumsi publik dan apa yang mereka hasilkan untuk komunitas muslim.
Sementara itu, beberapa cendekiawan di negara itu juga telah menggunakan istilah muslim moderat dalam studi mereka. Misalnya, Umar (2016) menjelaskan bahwa Kementerian Luar Negeri RI telah mengampanyekan 'Islam Moderat' yang melekat pada demokrasi. Najib (2012) menjelaskan makna muslim moderat yang digunakan Nahdlatul Ulama (NU) lebih bersifat teologis daripada penggunaannya di Amerika yang bersifat politis dalam arti perang melawan teror. Dalam hal ini Zuhur (2008) menyatakan bahwa kaum moderat dalam konteks ini lebih tepat sebagai muslim sekuleris yang mengedepankan kebijakan dan perubahan dalam masyarakat muslim yang sesuai dengan tujuan Amerika Serikat. Terakhir, Kementerian Agama (Kemenag, 2019, hlm. 17-18) mendefinisikan moderasi sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama".
Singkatnya, Islam moderat adalah pemahaman atau pandangan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum syari'at dan sekuler, serta memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap berbagai perspektif alternatif. Selain itu, umat Islam moderat menerapkan pola pikir, sikap dan perilaku yang selalu menempatkan dirinya di jalan tengah, selalu berbuat adil dan tidak mengikuti jalan ekstrem dalam memeluk agama. Apakah kita termasuk yang moderat tersebut?
(zik)