Guru dan Kualitas Pendidikan
loading...
A
A
A
Hari Guru Nasional memang telah berlalu. Namun, gemanya masih bisa dirasakan hingga saat ini karena peran guru sangat vital dalam menunjang peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, pada kenyataannya dukungan pemerintah terhadap eksistensi guru masih jauh dari harapan. Akibatnya, kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dari negara lain.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Itu bisa dicapai dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Di sinilah peran guru menjadi kunci kemajuan pendidikan.
Dengan guru yang berkualitas, maka akan menghasilkan lulusan-lulusan yang andal dan mumpuni. Sehingga, wajar bisa guru harus diberikan dukungan yang maksimal agar bisa bekerja secara baik dalam mencetak generasi yang mampu bersaing di ranah global.
Sayangnya, kondisi guru masih sangat memprihatinkan terutama di daerah daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) baik secara kualitas maupun kuantitas. Tak hanya di kawasan 3T, di Pulau Jawa pun masih banyak guru yang belum memenuhi standar baik dari segi kualitas guru maupun kesejahteraannya.
Merujuk dari hasil studi praktik baik di lima provinsi - Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Jambi dan Riau - yang dilakukan Synergy Policies didukung Tanoto Foundation, terungkap bahwa masalah kekurangan dan kualitas guru memang masih menjadi tema sentral di sana.
Selain jumlah guru yang kurang, banyak sekolah di SD hingga SMP negeri didominasi oleh guru honorer yang secara kualitas juga jauh dari standar.
Meski tenaga hononer belum memiliki kualitas standar yang baik, namun di banyak daerah keberadaannya sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena rata-rata sekolah SD dan SMP di daerah-daerah tersebut masih kekurangan guru. Banyak guru yang pensiun namun tidak segera ada penggantinya.
Di salah satu SMP di Balikpapan, misalnya, tidak ada guru bahasa Inggris. Kepala sekolah sudah meminta kepada dinas setempat agar dikirimkan guru bahasa Inggris. Karena tidak ada solusi, Kepala Sekolah SMP di Balikpapan tersebut akhirnya menunjuk salah satu guru untuk mengajar bahasa Inggris. Padahal sang guru tidak menguasai bahasa Inggris.
Sang guru tak bisa menolak perintah. Namun, sudah bisa dibayangkan bagaimana penguasaan siswanya akan mata pelajaran bahasa Inggris jika gurunya pun tidak punya kemampuan memadai.
Bagaimana, pun keberadaan guru honorer masih sangat diperlukan. Apalagi, jika ada pemerintah daerah setempat mampu untuk menggaji mereka. Sayangnya pemerintah punya kebijakan baru yang melarang keberadaan tenaga honorer yang baru. Serba dilematis. Sekolah disuruh berprestasi tanpa diberi guru yang cukup dan berkualitas.
Untuk tenaga honorer yang eksis saat ini, pemerintah punya skema khusus untuk para mengangkat mereka menjadi ASN berstatus P3K. Namun, kuota yang ditawarkan juga sangat terbatas. Jauh dari harapan untuk menampung banyaknya tenaga honorer yang telah mengabdi menjadi pendidik hingga belasan tahun. Status mereka pun terkatung-katung.
Kerena keberadaan guru honorer masih dibutuhkan, pemerintah hendaknya mempertimbangkan kembali untuk memperbolehkan daerah mengangkat guru honorer secara bertanggung jawab.
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya punya gebrakan dengan program guru penggerak untuk mendorong kualitas guru. Pada program ini, guru penggerak dijanjikan jenjang karier ke depannya. Namun, lagi lagi jumlahnya masih sangat minim. Sehingga keberadaan mereka belum bisa banyak berbicara dalam memberikan sumbangsih bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Dukungan pemerintah terhadap guru sangat menentukan. Di sejumlah daerah, kebijakan yang menyatakan hanya guru penggerak yang bisa diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas membuat masalah tersendiri.
Di daerah yang sangat kekurangan pengawas karena pensiun, sulit untuk mendapatkan penambahan jumlah pengawas. Karena jumlah guru penggerak di daerah tersebut juga masih minim.
Kurangnya jumlah Pengawas membuat sistem pengawasan sekolah tidak berjalan dengan maksimal. Apalagi di daerah 3 T mereka harus mengawasi sampai puluhan bahkan ratusan sekolah yang medannya jauh dan berat. Pemerintah harus kembali merenungkan kebijakan tentang pendidikan, terutama bagaimana secepat mungkin mencari solusi untuk meningkatkan kualitas dan jumlah guru yang masih sangat kurang. Indonesia sudah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan. Namun pada kenyataannya kualitas pendidikan kita masih belum optimal.
Namun, pada kenyataannya dukungan pemerintah terhadap eksistensi guru masih jauh dari harapan. Akibatnya, kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dari negara lain.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Itu bisa dicapai dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Di sinilah peran guru menjadi kunci kemajuan pendidikan.
Dengan guru yang berkualitas, maka akan menghasilkan lulusan-lulusan yang andal dan mumpuni. Sehingga, wajar bisa guru harus diberikan dukungan yang maksimal agar bisa bekerja secara baik dalam mencetak generasi yang mampu bersaing di ranah global.
Sayangnya, kondisi guru masih sangat memprihatinkan terutama di daerah daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) baik secara kualitas maupun kuantitas. Tak hanya di kawasan 3T, di Pulau Jawa pun masih banyak guru yang belum memenuhi standar baik dari segi kualitas guru maupun kesejahteraannya.
Merujuk dari hasil studi praktik baik di lima provinsi - Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Jambi dan Riau - yang dilakukan Synergy Policies didukung Tanoto Foundation, terungkap bahwa masalah kekurangan dan kualitas guru memang masih menjadi tema sentral di sana.
Selain jumlah guru yang kurang, banyak sekolah di SD hingga SMP negeri didominasi oleh guru honorer yang secara kualitas juga jauh dari standar.
Meski tenaga hononer belum memiliki kualitas standar yang baik, namun di banyak daerah keberadaannya sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena rata-rata sekolah SD dan SMP di daerah-daerah tersebut masih kekurangan guru. Banyak guru yang pensiun namun tidak segera ada penggantinya.
Di salah satu SMP di Balikpapan, misalnya, tidak ada guru bahasa Inggris. Kepala sekolah sudah meminta kepada dinas setempat agar dikirimkan guru bahasa Inggris. Karena tidak ada solusi, Kepala Sekolah SMP di Balikpapan tersebut akhirnya menunjuk salah satu guru untuk mengajar bahasa Inggris. Padahal sang guru tidak menguasai bahasa Inggris.
Sang guru tak bisa menolak perintah. Namun, sudah bisa dibayangkan bagaimana penguasaan siswanya akan mata pelajaran bahasa Inggris jika gurunya pun tidak punya kemampuan memadai.
Bagaimana, pun keberadaan guru honorer masih sangat diperlukan. Apalagi, jika ada pemerintah daerah setempat mampu untuk menggaji mereka. Sayangnya pemerintah punya kebijakan baru yang melarang keberadaan tenaga honorer yang baru. Serba dilematis. Sekolah disuruh berprestasi tanpa diberi guru yang cukup dan berkualitas.
Untuk tenaga honorer yang eksis saat ini, pemerintah punya skema khusus untuk para mengangkat mereka menjadi ASN berstatus P3K. Namun, kuota yang ditawarkan juga sangat terbatas. Jauh dari harapan untuk menampung banyaknya tenaga honorer yang telah mengabdi menjadi pendidik hingga belasan tahun. Status mereka pun terkatung-katung.
Kerena keberadaan guru honorer masih dibutuhkan, pemerintah hendaknya mempertimbangkan kembali untuk memperbolehkan daerah mengangkat guru honorer secara bertanggung jawab.
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya punya gebrakan dengan program guru penggerak untuk mendorong kualitas guru. Pada program ini, guru penggerak dijanjikan jenjang karier ke depannya. Namun, lagi lagi jumlahnya masih sangat minim. Sehingga keberadaan mereka belum bisa banyak berbicara dalam memberikan sumbangsih bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Dukungan pemerintah terhadap guru sangat menentukan. Di sejumlah daerah, kebijakan yang menyatakan hanya guru penggerak yang bisa diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas membuat masalah tersendiri.
Di daerah yang sangat kekurangan pengawas karena pensiun, sulit untuk mendapatkan penambahan jumlah pengawas. Karena jumlah guru penggerak di daerah tersebut juga masih minim.
Kurangnya jumlah Pengawas membuat sistem pengawasan sekolah tidak berjalan dengan maksimal. Apalagi di daerah 3 T mereka harus mengawasi sampai puluhan bahkan ratusan sekolah yang medannya jauh dan berat. Pemerintah harus kembali merenungkan kebijakan tentang pendidikan, terutama bagaimana secepat mungkin mencari solusi untuk meningkatkan kualitas dan jumlah guru yang masih sangat kurang. Indonesia sudah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan. Namun pada kenyataannya kualitas pendidikan kita masih belum optimal.
(ynt)