Piala Dunia, Qatarphobia, dan Palestina
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Asesor SDM Kementerian Agama
PUBLIK dunia tengah menikmati euforia Piala Dunia yang sudah memasuki babak semifinal dengan segala pernak-pernik dan kehebohan aksi kesebelasan berbagai negara. Banyak momen dalam pertandingan yang telah terjadi dan menghiasi perbincangan publik se-antero jagad, misalnya tentang kontroversi proses gol tim Jepang ke Spanyol, sensasi kemenangan Maroko, keributan timnas Argentina-Belanda, dan kehebohan lainnya.
Namun demikian, gelaran piala dunia 2022 juga menumbuhkan warna baru yang patut dicermati dalam bentuk promosi atas nama kebebasan berpendapat dengan mengedepankan isu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Interseksual, dan kecenderungan lainnya (LGBTQI+), serta minum alkohol.
Beberapa tim Eropa berkeras menampilkan pesan ini di antaranya lewat simbol pelangi di kostum mereka. Akan tetapi, napas liberalisme ini ditolak mentah-mentah FIFA dan Qatar selaku tuan rumah.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dalam situasi seperti itu, pejabat publik dan media Barat intensif mendorong pemberitaan yang menyudutkan Qatar dan negara Islam lainnya. Menlu Jerman dengan demonstratif membuka jas di salah satu stadion Piala Dunia Qatar dan memamerkan ban lenganone love untuk dukungan pada LBGTQI+.
Pada kesempatan lain, para jurnalis Barat juga tidak segan bertanya kepada kapten tim Iran tentang gejolak politik yang terjadi di Teheran, sesuatu yang jelas tidak berhubungan dengan laga di lapangan bola.
Hal demikian menunjukkan bahwa ide pemakaian ban lengan LGBTQI+ dan minum alkohol bukan hanya tentang memakaikan sebentuk tanda pada kostum sepak bola, namun lebih dari itu hal tersebut adalah bentuk intervensi ide pada negara monarki Islam Qatar dari pemikiran liberal Barat. Sederhananya, cara-cara Barat dalam menekan Qatar dan negara Islam dalam ajang Piala Dunia adalah bentuk orientalisme lama dengan didandani ulang untuk konsumsi publik saat ini.
Dalam esainya, AngloArabia: Why Gulf Wealth Matters to Britain (2022), David Wearing, pengamat politik di University of Sussex, mengatakan bahwa banyak wacana seputar Piala Dunia saat ini didorong oleh “karikatur rasis” secara murni maupun maknawi, sikap culas dan narsis, serta lupa melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri.
Menjelang perhelatan Piala Dunia digelar, Le Canard Enchaine, sebuah media di Prancis, mengunggah karikatur pemain Qatar yang digambarkan sebagai sekumpulan teroris yang tengah menenteng senapan mesin dan senjata tajam. Di Inggris, sebuah survei independen menunjukkan bahwa 62% warga Inggris setuju pembatalan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia hanya karena penolakan Qatar atas kampanye LQBTQI+ dan nilai liberal lainnya.
Asesor SDM Kementerian Agama
PUBLIK dunia tengah menikmati euforia Piala Dunia yang sudah memasuki babak semifinal dengan segala pernak-pernik dan kehebohan aksi kesebelasan berbagai negara. Banyak momen dalam pertandingan yang telah terjadi dan menghiasi perbincangan publik se-antero jagad, misalnya tentang kontroversi proses gol tim Jepang ke Spanyol, sensasi kemenangan Maroko, keributan timnas Argentina-Belanda, dan kehebohan lainnya.
Namun demikian, gelaran piala dunia 2022 juga menumbuhkan warna baru yang patut dicermati dalam bentuk promosi atas nama kebebasan berpendapat dengan mengedepankan isu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Interseksual, dan kecenderungan lainnya (LGBTQI+), serta minum alkohol.
Beberapa tim Eropa berkeras menampilkan pesan ini di antaranya lewat simbol pelangi di kostum mereka. Akan tetapi, napas liberalisme ini ditolak mentah-mentah FIFA dan Qatar selaku tuan rumah.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dalam situasi seperti itu, pejabat publik dan media Barat intensif mendorong pemberitaan yang menyudutkan Qatar dan negara Islam lainnya. Menlu Jerman dengan demonstratif membuka jas di salah satu stadion Piala Dunia Qatar dan memamerkan ban lenganone love untuk dukungan pada LBGTQI+.
Pada kesempatan lain, para jurnalis Barat juga tidak segan bertanya kepada kapten tim Iran tentang gejolak politik yang terjadi di Teheran, sesuatu yang jelas tidak berhubungan dengan laga di lapangan bola.
Hal demikian menunjukkan bahwa ide pemakaian ban lengan LGBTQI+ dan minum alkohol bukan hanya tentang memakaikan sebentuk tanda pada kostum sepak bola, namun lebih dari itu hal tersebut adalah bentuk intervensi ide pada negara monarki Islam Qatar dari pemikiran liberal Barat. Sederhananya, cara-cara Barat dalam menekan Qatar dan negara Islam dalam ajang Piala Dunia adalah bentuk orientalisme lama dengan didandani ulang untuk konsumsi publik saat ini.
Dalam esainya, AngloArabia: Why Gulf Wealth Matters to Britain (2022), David Wearing, pengamat politik di University of Sussex, mengatakan bahwa banyak wacana seputar Piala Dunia saat ini didorong oleh “karikatur rasis” secara murni maupun maknawi, sikap culas dan narsis, serta lupa melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri.
Menjelang perhelatan Piala Dunia digelar, Le Canard Enchaine, sebuah media di Prancis, mengunggah karikatur pemain Qatar yang digambarkan sebagai sekumpulan teroris yang tengah menenteng senapan mesin dan senjata tajam. Di Inggris, sebuah survei independen menunjukkan bahwa 62% warga Inggris setuju pembatalan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia hanya karena penolakan Qatar atas kampanye LQBTQI+ dan nilai liberal lainnya.