Kepentingan Nasional dalam Perpindahan IKN
loading...
A
A
A
Eddy Soeparno
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik UI, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI
PADA 15 Februari 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU Nomor 3 Tahun 2022. Setelah UU IKN disahkan dan dilantiknya Kepala Otorita dan Wakil Kepala Otorita serta beberapa aturan turunan UU tersebut selesai dibentuk dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi, maka Otorita IKN Nusantara memulai tahapan-tahapan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN.
Berdasarkan kajian akademis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terdapat beberapa pertimbangan utama yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN). Pertama, beban Jakarta yang sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa, sehingga terjadi penurunan daya lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kedua, krisis ketersediaan air di DKI Jakarta dan Pulau Jawa. Ketiga, beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54% dari total penduduk Indonesia dan 58% produk domestik bruto (PDB) ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa. Keempat, beban Pulau Jawa sebagai sumber ketahanan pangan akan semakin berat bila IKN terdapat di Pulau Jawa.
Lebih lanjut, kajian akademis Bappenas memilih Provinsi Kalimantan Timur dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, Kalimantan Timur memiliki risiko bencana yang minimal dari sisi banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, gunung berapi maupun tanah longsor. Kedua, Provinsi Kalimantan Timur terletak di tengah wilayah Indonesia yang memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan. Ketiga, lokasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara berdekatan dengan wilayah perkotaan yang berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda.
Keempat, Kalimantan Timur memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Kelima, pada dua kabupaten tersebut tersedia lahan 180.000 hektare. Keenam, tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN Perkebunan untuk mengurangi biaya investasi. Ketujuh, potensi konflik sosial rendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang serta memiliki dampak negatif minimal terhadap komunitas lokal.
Sejumlah Penolakan Masyarakat
Perlu disadari, terdapat sejumlah penolakan dari berbagai lapisan masyarakat terkait rencana pemindahan IKN tersebut. Misalnya terdapat sejumlah gugatan dari masyarakat tentang UU Nomor 3 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi yang dianggap memiliki kecacatan secara formil dan materiil. Lalu berbagai lapisan masyarakat peduli lingkungan menilai bahwa terdapat potensi kerusakan lingkungan seperti ancaman terhadap tata air, risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran lingkungan hidup.
Selanjutnya beberapa elemen masyarakat juga menilai bahwa target pemindahan Ibukota pada 2024 akan menyebabkan kontraksi yang cukup berat dari sisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sehingga pemindahan tersebut dianggap kurang memiliki timing yang tepat ketika masih banyak permasalahan nasional yang dianggap lebih penting.
Berdasarkan berbagai penelitian persepsi publik dan sentimen masyarakat, terdapat sejumlah penolakan dan pandangan negatif terhadap pemindahan IKN. Misalnya Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI) merilis survei yang menjelaskan bahwa terdapat 48,2% masyarakat yang meminta Pemindahan IKN ditunda.
Menyelaraskan Kepentingan Nasional
Stephen Krasner dalam bukunya Defending the National Interest menjelaskan bahwa pada dasarnya negara dapat menentukan kepentingan nasionalnya sendiri, yaitu segala sesuatu ketetapan negara yang dibuat oleh para pengambil kebijakan negara dan dianggap selaras dengan kepentingan umum. Hal tersebut mengimplikasikan negara sebagai organisasi otonom yang memiliki kehendak sendiri untuk menentukan kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut, hal tersebut juga mengimplikasikan gagasan kepentingan nasional yang dibuat negara memiliki potensi berseberangan dengan pendapat atau kemauan publik.
Namun, berbeda dengan Krasner, Evans, Rueschemeyer, & Skocpol dalam bukunya yang berjudul Bringing the State Back In menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan negara mengarahkan kepentingan nasionalnya untuk pembangunan ekonomi dan melakukan redistribusi sosial. Dalam konteks itu, kebijakan perpindahan IKN Indonesia dapat dipandang sebagai kepentingan nasional untuk pembangunan ekonomi dan redistribusi sosial. Hal ini selaras dengan gagasan perpindahan IKN untuk mengatasi permasalahan di Jakarta, pemerataan pembangunan nasional, penguatan identitas kebangsaan, dan masalah pertahanan negara.
Namun bukan berarti otonomi negara untuk menentukan sendiri kepentingan nasionalnya bersifat tidak terbatas. Otonomi negara dalam mengejar kepentingan nasionalnya harus memperhatikan legitimasi dan masukan masyarakat agar kepentingan nasionalnya benar-benar selaras. Batasan legitimasi dan persetujuan masyarakat sangat penting untuk memastikan keberlanjutan negara. Misalnya, walaupun kebijakan perpindahan IKN dapat dipandang sebagai otonomi negara untuk kepentingan nasionalnya, kritik masyarakat harus tetap diakomodasi dan diselaraskan dengan rencana dan tahapan pembangunan IKN Nusantara.
Oleh karena itu, ulasan ini merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk terus melakukan sosialisasi dan hearing serta diskusi publik dengan berbagai elemen masyarakat mengenai perpindahan IKN. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi berbagai masukan serta memastikan adanya keselarasan kepentingan umum antara negara dan masyarakat.
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik UI, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI
PADA 15 Februari 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU Nomor 3 Tahun 2022. Setelah UU IKN disahkan dan dilantiknya Kepala Otorita dan Wakil Kepala Otorita serta beberapa aturan turunan UU tersebut selesai dibentuk dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi, maka Otorita IKN Nusantara memulai tahapan-tahapan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN.
Berdasarkan kajian akademis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terdapat beberapa pertimbangan utama yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN). Pertama, beban Jakarta yang sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa, sehingga terjadi penurunan daya lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kedua, krisis ketersediaan air di DKI Jakarta dan Pulau Jawa. Ketiga, beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54% dari total penduduk Indonesia dan 58% produk domestik bruto (PDB) ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa. Keempat, beban Pulau Jawa sebagai sumber ketahanan pangan akan semakin berat bila IKN terdapat di Pulau Jawa.
Lebih lanjut, kajian akademis Bappenas memilih Provinsi Kalimantan Timur dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, Kalimantan Timur memiliki risiko bencana yang minimal dari sisi banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, gunung berapi maupun tanah longsor. Kedua, Provinsi Kalimantan Timur terletak di tengah wilayah Indonesia yang memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan. Ketiga, lokasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara berdekatan dengan wilayah perkotaan yang berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda.
Keempat, Kalimantan Timur memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Kelima, pada dua kabupaten tersebut tersedia lahan 180.000 hektare. Keenam, tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN Perkebunan untuk mengurangi biaya investasi. Ketujuh, potensi konflik sosial rendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang serta memiliki dampak negatif minimal terhadap komunitas lokal.
Sejumlah Penolakan Masyarakat
Perlu disadari, terdapat sejumlah penolakan dari berbagai lapisan masyarakat terkait rencana pemindahan IKN tersebut. Misalnya terdapat sejumlah gugatan dari masyarakat tentang UU Nomor 3 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi yang dianggap memiliki kecacatan secara formil dan materiil. Lalu berbagai lapisan masyarakat peduli lingkungan menilai bahwa terdapat potensi kerusakan lingkungan seperti ancaman terhadap tata air, risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran lingkungan hidup.
Selanjutnya beberapa elemen masyarakat juga menilai bahwa target pemindahan Ibukota pada 2024 akan menyebabkan kontraksi yang cukup berat dari sisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sehingga pemindahan tersebut dianggap kurang memiliki timing yang tepat ketika masih banyak permasalahan nasional yang dianggap lebih penting.
Berdasarkan berbagai penelitian persepsi publik dan sentimen masyarakat, terdapat sejumlah penolakan dan pandangan negatif terhadap pemindahan IKN. Misalnya Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI) merilis survei yang menjelaskan bahwa terdapat 48,2% masyarakat yang meminta Pemindahan IKN ditunda.
Menyelaraskan Kepentingan Nasional
Stephen Krasner dalam bukunya Defending the National Interest menjelaskan bahwa pada dasarnya negara dapat menentukan kepentingan nasionalnya sendiri, yaitu segala sesuatu ketetapan negara yang dibuat oleh para pengambil kebijakan negara dan dianggap selaras dengan kepentingan umum. Hal tersebut mengimplikasikan negara sebagai organisasi otonom yang memiliki kehendak sendiri untuk menentukan kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut, hal tersebut juga mengimplikasikan gagasan kepentingan nasional yang dibuat negara memiliki potensi berseberangan dengan pendapat atau kemauan publik.
Namun, berbeda dengan Krasner, Evans, Rueschemeyer, & Skocpol dalam bukunya yang berjudul Bringing the State Back In menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan negara mengarahkan kepentingan nasionalnya untuk pembangunan ekonomi dan melakukan redistribusi sosial. Dalam konteks itu, kebijakan perpindahan IKN Indonesia dapat dipandang sebagai kepentingan nasional untuk pembangunan ekonomi dan redistribusi sosial. Hal ini selaras dengan gagasan perpindahan IKN untuk mengatasi permasalahan di Jakarta, pemerataan pembangunan nasional, penguatan identitas kebangsaan, dan masalah pertahanan negara.
Namun bukan berarti otonomi negara untuk menentukan sendiri kepentingan nasionalnya bersifat tidak terbatas. Otonomi negara dalam mengejar kepentingan nasionalnya harus memperhatikan legitimasi dan masukan masyarakat agar kepentingan nasionalnya benar-benar selaras. Batasan legitimasi dan persetujuan masyarakat sangat penting untuk memastikan keberlanjutan negara. Misalnya, walaupun kebijakan perpindahan IKN dapat dipandang sebagai otonomi negara untuk kepentingan nasionalnya, kritik masyarakat harus tetap diakomodasi dan diselaraskan dengan rencana dan tahapan pembangunan IKN Nusantara.
Oleh karena itu, ulasan ini merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk terus melakukan sosialisasi dan hearing serta diskusi publik dengan berbagai elemen masyarakat mengenai perpindahan IKN. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi berbagai masukan serta memastikan adanya keselarasan kepentingan umum antara negara dan masyarakat.
(bmm)