Tim Advokasi 12 Korban Gagal Ginjal Pertanyakan Rehabilitasi dan Restorasi Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim Advokasi Hukum untuk Kemanusiaan 12 keluarga korban gagal ginjal akut mempertanyakan sikap pemerintah, khususnya BPOM dan Kemenkes, terhadap keluarga korban gagal ginjal akut. Pasalnya, hingga kini kedua instansi tersebut tak menunjukan empati dengan merehabilitasi dan merestorasi kondisi korban gagal ginjal akut.
"Sudah jadi kebiasaan pemerintah, dari orang yang punya otoritas, ketika ada warga negara kehilangan nyawa, yang dilakukan bukan datang pada para korban dan merehabilitasi serta merestorasi keadaan dari masing-masing korban.Justru yang sering dilakukan dan jadi pola berpikir adalah lepas tanggung jawab, cari kambing hitam di luar itu semua lalu menghukum pihak-pihak sebisa mungkin yang berada pada layer ke sekian," ujar Tim Advokasi Hukum untuk Kemanusiaan, Tegar Putuhena pada wartawan, Jumat (18/11/2022).
Menurutnya, pola serupa juga dinilai terjadi pada proses penanganan kasus gagal ginjal akut tersebut. Kemenkes dan BPOM malah melimpahkan semua kesalahan tersebut pada produsen obat. Dengan begitu BPOM-Kemenkes seolah sudah bekerja, membuat proses penyidikan, bekerja sama dengan Bareskrim Polri menetapkan tersangka.
"Bagi kami itu jauh dari kata cukup. Dihukumnya produsen obat dan dicabut izin usahanya sekalipun, dipenjara direktur sekalipun, termasuk ganti rugi misalnya, tak akan kembalikan nyawa anak-anak yang sudah terlanjur hilang," tuturnya.
"Setidaknya, otoritas kekuasaan kita, yang punya kewenangan, tunjukan empati dengan memihak korban, mari bicara soal proses rehabilitasi korban dan restorasi korban, itu yang tak kita temukan, entah itu BPOM, Kemenkes, kita tak lihat ada niat baik itu," imbuhnya.
Dia memaparkan, tak adanya empati dari BPOM dan Kemenkes menjadi salah satu sebab pihaknya mengajukan gugatan kasus gagal ginjal akut ke PN Jakarta Pusat. Tujuan, BPOM, Kemenkes, Produsen Obat, Penjual Obat, hingga Penasok bahan dasar obat tak main-main dengan persoalan nyawa manusia hanya demi mencari uang dan uang.
Dia mengungkapkan, berapapun jumlah tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut tak bakal cukup lantaran sejatinya korban membutuhkan rehabilitasi dan restorasi, khususnya korban yang hingga saat ini masih menjalani pengobatan. Parahnya, desakan pihak korban agar peristiwa gagal ginjal akut itu ditetapkan sebagai peristiwa luar biasa pun tak kunjung dilakukan dengan alasan kasusnya telah melandai dan sudah banyak yang sembuh.
"Lalu soal nyawa yang sudah terlanjur hilang ini gimana? Menkes harus jawab itu tuh, saya gak tahu yah karena mungkin Menkesnya bukan dari background tenaga kesehatan atau dari dokter, backgroundnya bankir mungkin hitung-hitungannya agak berbeda dengan yang seharusnya, begitu juga dengan BPOM," katanya.
Dia menambahkan, BPOM sejatinya memiliki dua kewenangan, baik sebelum obat beredar maupun saat obat telah beredar. BPOM memastikan dengan metodenya obat-obatan tersebut terjamin keamanan dan keselamatannya saat dikonsumsi, jangan sampai obat-obatan dan materi farmasi lainnya yang beredar untuk dikonsumsi menjadi ancaman.
"Obat penurun panas dan sebagainya, paracemtamol, kenapa itu kemudian dikonsumsi karena korban dan kita semua percaya pemerintah kita, BPOM kita itu sudah bekerja dan jamin keselamatan kita, itu latar belangnya disitu. Terakhir, keselamatan kita semua, keselamatan warga itu hukum tertinggi, jadi kalau BPOM, Menkes mumpung belum jauh, kalau merasa tak bisa tegakan hukum tertinggi sebaiknya ganti orang saja," paparnya.
--
"Sudah jadi kebiasaan pemerintah, dari orang yang punya otoritas, ketika ada warga negara kehilangan nyawa, yang dilakukan bukan datang pada para korban dan merehabilitasi serta merestorasi keadaan dari masing-masing korban.Justru yang sering dilakukan dan jadi pola berpikir adalah lepas tanggung jawab, cari kambing hitam di luar itu semua lalu menghukum pihak-pihak sebisa mungkin yang berada pada layer ke sekian," ujar Tim Advokasi Hukum untuk Kemanusiaan, Tegar Putuhena pada wartawan, Jumat (18/11/2022).
Menurutnya, pola serupa juga dinilai terjadi pada proses penanganan kasus gagal ginjal akut tersebut. Kemenkes dan BPOM malah melimpahkan semua kesalahan tersebut pada produsen obat. Dengan begitu BPOM-Kemenkes seolah sudah bekerja, membuat proses penyidikan, bekerja sama dengan Bareskrim Polri menetapkan tersangka.
"Bagi kami itu jauh dari kata cukup. Dihukumnya produsen obat dan dicabut izin usahanya sekalipun, dipenjara direktur sekalipun, termasuk ganti rugi misalnya, tak akan kembalikan nyawa anak-anak yang sudah terlanjur hilang," tuturnya.
"Setidaknya, otoritas kekuasaan kita, yang punya kewenangan, tunjukan empati dengan memihak korban, mari bicara soal proses rehabilitasi korban dan restorasi korban, itu yang tak kita temukan, entah itu BPOM, Kemenkes, kita tak lihat ada niat baik itu," imbuhnya.
Dia memaparkan, tak adanya empati dari BPOM dan Kemenkes menjadi salah satu sebab pihaknya mengajukan gugatan kasus gagal ginjal akut ke PN Jakarta Pusat. Tujuan, BPOM, Kemenkes, Produsen Obat, Penjual Obat, hingga Penasok bahan dasar obat tak main-main dengan persoalan nyawa manusia hanya demi mencari uang dan uang.
Dia mengungkapkan, berapapun jumlah tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut tak bakal cukup lantaran sejatinya korban membutuhkan rehabilitasi dan restorasi, khususnya korban yang hingga saat ini masih menjalani pengobatan. Parahnya, desakan pihak korban agar peristiwa gagal ginjal akut itu ditetapkan sebagai peristiwa luar biasa pun tak kunjung dilakukan dengan alasan kasusnya telah melandai dan sudah banyak yang sembuh.
"Lalu soal nyawa yang sudah terlanjur hilang ini gimana? Menkes harus jawab itu tuh, saya gak tahu yah karena mungkin Menkesnya bukan dari background tenaga kesehatan atau dari dokter, backgroundnya bankir mungkin hitung-hitungannya agak berbeda dengan yang seharusnya, begitu juga dengan BPOM," katanya.
Dia menambahkan, BPOM sejatinya memiliki dua kewenangan, baik sebelum obat beredar maupun saat obat telah beredar. BPOM memastikan dengan metodenya obat-obatan tersebut terjamin keamanan dan keselamatannya saat dikonsumsi, jangan sampai obat-obatan dan materi farmasi lainnya yang beredar untuk dikonsumsi menjadi ancaman.
"Obat penurun panas dan sebagainya, paracemtamol, kenapa itu kemudian dikonsumsi karena korban dan kita semua percaya pemerintah kita, BPOM kita itu sudah bekerja dan jamin keselamatan kita, itu latar belangnya disitu. Terakhir, keselamatan kita semua, keselamatan warga itu hukum tertinggi, jadi kalau BPOM, Menkes mumpung belum jauh, kalau merasa tak bisa tegakan hukum tertinggi sebaiknya ganti orang saja," paparnya.
--
(muh)