Kisah Jenderal TNI Berpakaian Mirip Presiden Soeharto untuk Kecoh Sniper

Jum'at, 11 November 2022 - 17:08 WIB
loading...
Kisah Jenderal TNI Berpakaian Mirip Presiden Soeharto untuk Kecoh Sniper
Komandan Grup A Paspampres Kolonel Inf Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) mengawal Presiden Soeharto dalam kunjungan ke Bosnia Herzegovina pada 13 Maret 1995. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Kolonel TNI Sjafrie Syamsoeddin kebingungan di dalam pesawat sewaan buatan Rusia menuju Bosnia Herzegovina pada 13 Maret 1995. Presiden Soeharto yang ia kawal enggan mengenakan rompi antipeluru dan helm pengamanan di tengah situasi perang.

Kunjungan Presiden Soeharto ke Bosnia Herzegovina tergolong nekat. Apalagi diperoleh kabar dua hari sebelumnya pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.

"Kita ini pemimpin Negara Non-Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat," kata Soeharto dikutip dari buku Pak Harto The Unstold Stories (2012), Jumat (11/11/2022).

Baca juga: Cerita Pak Harto Makamkan Istri Pahlawan Nasional di Samping Suaminya

Tekad Soeharto sudah bulat untuk melakukan lawatan ke Bosnia. Presiden ke-2 RI itu langsung menandatangani surat pernyataan yang berisi PBB tidak bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama berkunjung ke Bosnia.

Dengan pesawat sewaan buatan Rusia, Presiden Soeharto akhirnya terbang dari Zagreb, Kroasia ke Bosnia Herzegovina. Ikut mendampingi, Komandan Grup A Paspampres Kolonel Inf Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Detasemen Pengawal Pribadi Presiden Mayor Cpm Unggul K Yudhoyono, Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moediono, Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen TNI Syamsir Siregar, Danpaspampres Mayjen TNI Jasril Jakub, dan Ajudan Presiden, Kolonel Inf Sugiono.

Kisah Jenderal TNI Berpakaian Mirip Presiden Soeharto untuk Kecoh Sniper

Komandan Grup A Paspampres Kolonel Inf Sjafrie Sjamsoeddin duduk disamping Presiden Soeharto di dalam pesawat menuju Bosnia Herzegovina pada 13 Maret 1995. FOTO/IST

Jarak waktu Zagreb ke Bosnia sekitar 1,5 jam perjalanan. Di tengah perjalanan, terdengar instruksi semua penumpang wajib memakai helm dan rompi pengamanan.

"Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru belum?" tanya Soeharto.

Baca juga: Murka Dituduh Berpolitik, Jenderal Top AD Ini Berani Gebrak Meja Pak Harto

"Sudah Pak. Kami tutup semua dengan bulletproof, untuk mengantisipasi tembakan dari bawah," jawab Sjafrie.

"Sampingnya?" tanya Soeharto lagi.

"Juga sudah, Pak," kata Sjafrie sambil memegang rompi dan helm pengamanan untuk Soeharto.

"Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini, ya! Nanti helmnya masukkan ke (Museum) Purna Bhakti," kata Soeharto.

"Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (tenteng) saja. Kamu cangking saja," kata Soeharto yang menandakan ia enggan memakai rompi antipeluru seberat 12 kilogram yang mampu menahan tembakan M-16.

Soeharto hanya mengenakan jas dan kopiah dalam lawatan ke negeri perang Bosnia Herzegovina. Padahal dari pengamatan Sjafrie dari balik jendela pesawat menjelang turun di Sarajevo, ia melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat, berputar-putar mengikuti pesawat yang ditumpangi Pak Harto.

Dalam situasi itu, abituren Akademi Militer (Akmil) 1974 ini langsung memutar otak untuk melindungi Presiden Soeharto yang enggan mengenakan rompi dan helm pengamanan. Sjafrie yang memiliki kemampuan di bidang intelijen kemudian meminjam jas dan peci hitam sama persis dengan yang dipakai Soeharto.

"Ini untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," kata Sjafrie yang mengakhiri karier militernya berpangkat Letnan Jenderal (Letjen) ini.

Pesawat yang ditumpangi rombongan Soeharto akhirnya sampai di bandara Sarajevo, Ibu Kota Bosnia. Rombongan dijemput Pasukan Kontingen Garuda XIV yaitu prajurit TNI yang bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Bosnia dengan menggunakan dengan VAB, panser buatan Prancis yang mirip dengan Panser Anoa 6x6 produk PT Pindad. Soeharto memilih naik panser nomor 5.

Rombongan Soeharto kemudian menuju Istana Kepresidenan Bosnia untuk bertemu Presiden Bosnia Alja Izetbegovic.Untuk mencapai tujuan, panser-panser itu harus melewati Sniper Valley, tempat para penembak jitu dari kedua belah pihak yang berperang.

Rombongan Soeharto sampai di Istana Kepresidenan Bosnia yang memprihatinkan. Di Istana itu tidak ada air, sehingga air bersih harus diambil dengan ember.

Presiden Soeharto disambut hangat oleh Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic. Keduanya berbincang tak kurang dari 1,5 jam dilanjutkan dengan jamuan makan siang. Soeharto lalu memerintahkan Menlu Ali Alatas untuk memberikan keterangan pers di ruangan lainnya.

Saat pertemuan Soeharto dan Alija Izetbegovic, proyektil meriam jatuh sekitar 3 kilometer dari Istana Kepresidenan. Sjafrie lalu memberitahukan Soeharto bahwa sisa waktu hanya tiga jam karena situasi semakin mencekam. Suara tembakan terdengar dari kejauhan. Prajurit-prajurit juga terlihat bersiaga. Setelah tiga jam melaksanakan kunjungan, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia.

"Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” kata Sjafrie yang kelak menjadi Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.

Kunjungan bersejarah Soeharto itu menghasilkan berdirinya masjid megah di Ibu Kota Bosnia. Masjid yang dibangun dari hasil bantuan para dermawan Indonesia itu diresmikan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Hingga kini masyarakat Bosnia menyebut masjid itu dengan nama Masjid Soeharto atau Masjid Indonesia.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1723 seconds (0.1#10.140)