Kisah Soekarno dan Sepeda Onthelnya

Kamis, 10 November 2022 - 05:45 WIB
loading...
A A A
Pernah ringsek karena ulah anak H.O.S. Cokroaminoto
Dituliskan dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras, bahwa Bung Karno saat sekolah HBS di Surabaya memiliki sepeda. Pada satu kesempatan, Anwar Cokroaminoto, putra H.O.S. Cokroaminoto yang masih berusia tujuh tahun, iseng-iseng mengeluarkan sepeda Bung Karno, dan menaikinya. Tentu saja tanpa seizin Bung Karno.

Namun, tiba-tiba saja saat itu Anwar tidak bisa mengendalikan laju sepeda, dan menabrak tembok. Sepeda Bung Karno ringsek seketika. Demi melihat suara tabrakan, Bung Karno lantas menghambur keluar. Matanya terbelalak, jantung berdegup kencang ketika itu.

Baca Juga: Kisah Sepeda Tua dan Perjumpaan Soekarno dengan Marhaenisme

Ia lihat Anwar berdiri ketakutan, dan tentu saja kesakitan. Soekarno mendelik dan menyepak bokongnya. Anaknya itu pun menangis meraung-raung. Hati Soekarno sendiri menangis melihat sepeda kesayangan yang ia beli dengan susah payah, kini ringsek.

Beberapa tahun kemudian, ketika Soekarno sudah menjadi tokoh pergerakan, mengetuai organisasi, mendapat honorarium, ia akhirnya kembali membeli sepeda. Menariknya, sepeda itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk si Anwar. Mungkin ia merasa bersalah dulu pernah menyepak bokong Anwar karena marah.

Sepeda tua membawa Soekarno bertemu dengan sosok Marhaen
Tak bisa dipungkiri, sepeda merupakan bagian kecil dari kehidupan Presiden Soekarno yang sangat penting. Saat sedang asyik bersepeda, Soekarno kerap mengalami berbagai peristiwa tidak terlupakan. Salah satunya, saat bertemu dengan pemuda Marhaen.

Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Inggit Ganarsih menceritakan, dengan wajah penuh gembira Bung Karno bercerita bahwa dirinya telah mengayuh sepeda ke Cigereleng sampai di Desa Cibintinu dan bertemu dengan petani yang masih muda bernama Marhaen.

Dengan penuh semangat, Soekarno menceritakan kesannya setelah bertemu pemuda Marhaen. Dia menggambarkan sosok Marhaen sebagai petani kecil dengan milik kecil, dan punya alat-alat kecil sekadar cukup untuk dirinya sendiri.

Penghasilan petani Marhaen juga kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri dan mengganjal perut keluarganya. Tidak ada yang lebihnya sedikit pun. Dia juga tidak bekerja untuk orang lain dan tidak ada orang lain yang bekerja untuknya.

Singkat kata, pada diri Marhaen tidak ada pengisapan tenaga dari seseorang oleh orang lain. "Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," tegas Soekarno kepada Inggit, seperti dikutip dalam halaman 57.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2585 seconds (0.1#10.140)