Inilah 5 Warga Negara Asing yang Membantu Kemerdekaan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diraih dengan perjuangan keras tanpa lelah seluruh rakyat Indonesia. Namun di balik gempita perjuangan tersebut ada pula peran pemuda negara penjajah yang tak kalah penting membantu kemerdekaan Indonesia.
Berikut adalah deretan warga negara asing yang membantu kemerdekaan Indonesia.
1. Laksamana Maeda
Foto/wikipedia
Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Hindia Belanda. Pria asal Jepang yang lahir di Kagoshima, 3 Maret 1898 ini menyediakan rumahnya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat untuk menjadi tempat berkumpulnya para tokoh bangsa guna merumuskan naskah proklamasi.
Maeda juga ikut membangkitkan semangat pemuda Indonesia untuk segera mencapai kemerdekaan. Tokoh nasional Ir Soekarno dan Mohammad Hatta merumuskan Proklamasi di rumah Maeda, setelah sebelumnya mereka sempat dibawa para tokoh pemuda ke Rengasdengklok. Akhirnya naskah proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Yang Chil-seong
Foto/wikipedia
Yang Chil-seong adalah orang berdarah Korea yang membantu kemerdekaan Indonesia. Lahir pada 29 Mei 1919, lelaki yang memiliki nama Jepang Shichisei Yanagawa itu ditugaskan pemerintah kolonial Jepang sebagai penjaga tawanan tentara sekutu di Bandung pada 1942.
Setelah Indonesia merdeka, dia memilih tetap tinggal di Indonesia. Dia memutuskan masuk Islam dengan mengganti namanya menjadi Komarudin.
Yang Chil-seong pergi ke Garut dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan yang bernama Pasukan Pangeran Papak untuk melawan agresi militer Belanda. Keberadaan Yang Chil-seong membuat Belanda resah karena perilakunya. Yang Chil-seong tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1949.
3. Shigeru Ono
Foto/ist
Shigeru Ono menjadi salah satu tentara Jepang yang memihak Indonesia. Shigeru merupakan pasukan yang menolak pulang ke Jepang dan memilih bergabung dengan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Kelompok pejuang kemerdekaan tersebut dikenal sebagai komando elite Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang berada di bawah Pasukan Untung Suropati.
Alasan Shigeru tidak mau bertekuk lutut kepada pihak sekutu salah satunya karena melihat jasa orang-orang Indonesia kala memerangi sekutu. Pria asal Jepang yang lahir pada 26 September 1919 ini memiliki nama Indonesia yaitu Rahmat. Setelah menetap di Indonesia, ia menikah dengan wanita pribumi bernama Darkasih. Shigeru menetap di Kota Batu, Jawa Timur hingga akhir hidupnya.
4. Eduard Douwes Dekker
Foto/wikipedia
Eduard Douwes Dekker merupakan pria Beland, penulis buku fenomenal berjudul Max Havelaar pada tahun 1860. Buku itu memotret nasib rarkyat di negeri jajahan. Datang ke Hindia Belanda pada 1839, dia ia bekerja sebagai pegawai di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.
Douwes Dekker pernah dituduh melakukan penggelapan uang, tapi pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Melalui buku yang ditulisnya dengan nama pena Multatuli tersebut, Eduard menceritakan kekejaman kolonial Belanda yang disajikan secara detail.
Hal ini memperlihatkan keberpihakan Eduard Douwes Dekker kepada Indonesia dan perjuangan rakyatnya. Bukan sekadar tulisan, Eduard juga menghadirkan bukti-bukti sehingga kondisi Indonesia dapat dengan jelas tergambar dan dipahami pembacanya. Buku Max Havelaar ini juga menginspirasi para pejuang kemerdekaan untuk tetap semangat dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
5. Ichiki Tatsuo
Foto/wikipedia
Ichiki Tatsuo dikenal dengan nama Abdul Rachman. Dia adalah pemuda asal Jepang yang merasa negaranya telah mengkhianati Indonesia. Sebab janji untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia ternyata tidak dipenhi.
Tekadnya pun menjadi bulat untuk bersama-sama rakyat Indonesia melawan Sekutu yang diboncengi Belanda. Dia bergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta) di Divisi Pendidikan. Nama Abdul Rachman oleh Haji Agus Salim sebagai penghargaan karena dirinya telah menjadi penasihat di divisi tersebut.
Tatsuo memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur. Pasukan tersebut merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang terdiri dari tentara-tentara Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Ichiki Tatsuo tewas tertembak pasukan Belanda pada 9 Januari 1949 di Desa Dampit, Malang.
Berikut adalah deretan warga negara asing yang membantu kemerdekaan Indonesia.
1. Laksamana Maeda
Foto/wikipedia
Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Hindia Belanda. Pria asal Jepang yang lahir di Kagoshima, 3 Maret 1898 ini menyediakan rumahnya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat untuk menjadi tempat berkumpulnya para tokoh bangsa guna merumuskan naskah proklamasi.
Maeda juga ikut membangkitkan semangat pemuda Indonesia untuk segera mencapai kemerdekaan. Tokoh nasional Ir Soekarno dan Mohammad Hatta merumuskan Proklamasi di rumah Maeda, setelah sebelumnya mereka sempat dibawa para tokoh pemuda ke Rengasdengklok. Akhirnya naskah proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Yang Chil-seong
Foto/wikipedia
Yang Chil-seong adalah orang berdarah Korea yang membantu kemerdekaan Indonesia. Lahir pada 29 Mei 1919, lelaki yang memiliki nama Jepang Shichisei Yanagawa itu ditugaskan pemerintah kolonial Jepang sebagai penjaga tawanan tentara sekutu di Bandung pada 1942.
Setelah Indonesia merdeka, dia memilih tetap tinggal di Indonesia. Dia memutuskan masuk Islam dengan mengganti namanya menjadi Komarudin.
Yang Chil-seong pergi ke Garut dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan yang bernama Pasukan Pangeran Papak untuk melawan agresi militer Belanda. Keberadaan Yang Chil-seong membuat Belanda resah karena perilakunya. Yang Chil-seong tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1949.
3. Shigeru Ono
Foto/ist
Shigeru Ono menjadi salah satu tentara Jepang yang memihak Indonesia. Shigeru merupakan pasukan yang menolak pulang ke Jepang dan memilih bergabung dengan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Kelompok pejuang kemerdekaan tersebut dikenal sebagai komando elite Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang berada di bawah Pasukan Untung Suropati.
Alasan Shigeru tidak mau bertekuk lutut kepada pihak sekutu salah satunya karena melihat jasa orang-orang Indonesia kala memerangi sekutu. Pria asal Jepang yang lahir pada 26 September 1919 ini memiliki nama Indonesia yaitu Rahmat. Setelah menetap di Indonesia, ia menikah dengan wanita pribumi bernama Darkasih. Shigeru menetap di Kota Batu, Jawa Timur hingga akhir hidupnya.
4. Eduard Douwes Dekker
Foto/wikipedia
Eduard Douwes Dekker merupakan pria Beland, penulis buku fenomenal berjudul Max Havelaar pada tahun 1860. Buku itu memotret nasib rarkyat di negeri jajahan. Datang ke Hindia Belanda pada 1839, dia ia bekerja sebagai pegawai di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.
Douwes Dekker pernah dituduh melakukan penggelapan uang, tapi pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Melalui buku yang ditulisnya dengan nama pena Multatuli tersebut, Eduard menceritakan kekejaman kolonial Belanda yang disajikan secara detail.
Hal ini memperlihatkan keberpihakan Eduard Douwes Dekker kepada Indonesia dan perjuangan rakyatnya. Bukan sekadar tulisan, Eduard juga menghadirkan bukti-bukti sehingga kondisi Indonesia dapat dengan jelas tergambar dan dipahami pembacanya. Buku Max Havelaar ini juga menginspirasi para pejuang kemerdekaan untuk tetap semangat dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
5. Ichiki Tatsuo
Foto/wikipedia
Ichiki Tatsuo dikenal dengan nama Abdul Rachman. Dia adalah pemuda asal Jepang yang merasa negaranya telah mengkhianati Indonesia. Sebab janji untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia ternyata tidak dipenhi.
Tekadnya pun menjadi bulat untuk bersama-sama rakyat Indonesia melawan Sekutu yang diboncengi Belanda. Dia bergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta) di Divisi Pendidikan. Nama Abdul Rachman oleh Haji Agus Salim sebagai penghargaan karena dirinya telah menjadi penasihat di divisi tersebut.
Tatsuo memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur. Pasukan tersebut merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang terdiri dari tentara-tentara Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Ichiki Tatsuo tewas tertembak pasukan Belanda pada 9 Januari 1949 di Desa Dampit, Malang.
(muh)