Mengurai Benang Kusut Ketahanan Pangan
loading...
A
A
A
Masalah pangan senyatanya juga masalah politik. Ada banyak pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini, mafia pangan masih bermain. Mafia pangan inilah yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia stagnan, setiap tahun ada saja bermunculan mafia pangan yang baru.
Proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi. Kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya.
Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Selain itu, jumlah petani/pertenak kita tidak kunjung meningkat. Bahkan, didominasi oleh para petani yang secara umur tidak muda lagi. Dalam sebuah riset yang diinisiasi Universitas Erasmus di Rotterdam-Belanda berjudul “Becoming a Young Farmer: Young People’s Pathways into Farming in Four Countries” (2016) yang dilakukan di Indonesia, China, India, dan Kanada, menunjukkan, minat masyarakat terutama kaum muda untuk menggeluti bidang pertanian semakin menurun.
Dalam 30 tahun terakhir di Indonesia, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2021 lalu juga mengatakan, sebanyak 71% petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29%.
Belum lagi soal alih fungsi lahan. Hampir sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian/peternakan menyusut setiap tahunnya. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian/peternakan. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol, serta fasilitas umum lainnya.
Solusi Mikro dan Makro
Guna memecahkan hal itu, perlu penanganan mikro dan makro. Secara mikro, paling tidak ada lima hal yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah perlu memberikan akses lahan pertanian/peternakan kepada kaum muda yang ingin berprofesi sebagai peternak dan petani.
Akses lahan ini penting karena sebagian besar petani/peternak muda baru bisa mendapatkan akses lahan setelah mereka menikah atau setelah orangtuanya meninggal dunia.
Kedua, pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi petani/peternak untuk berinovasi. Tentu saja hal ini berkaitan dengan pola pikir petani/peternak masa kini yang sudah maju dan ingin menggunakan hal yang baru seiring berkembangnya teknologi. Inovasi tersebut misalnya dengan melakukan indoor farming seperti hidroponik atau aquaponik.
Untuk peternak, harus ada pendekatan baru yang dapat dilakukan seperti peternakan yang adaptif terhadap kondisi tropis, perkembangan teknologi reproduksi, sistem peternakan terpadu, impor indukan, dan pengaplikasian agriculture precision dengan teknologi industri 4.0.
Proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi. Kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya.
Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Selain itu, jumlah petani/pertenak kita tidak kunjung meningkat. Bahkan, didominasi oleh para petani yang secara umur tidak muda lagi. Dalam sebuah riset yang diinisiasi Universitas Erasmus di Rotterdam-Belanda berjudul “Becoming a Young Farmer: Young People’s Pathways into Farming in Four Countries” (2016) yang dilakukan di Indonesia, China, India, dan Kanada, menunjukkan, minat masyarakat terutama kaum muda untuk menggeluti bidang pertanian semakin menurun.
Dalam 30 tahun terakhir di Indonesia, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2021 lalu juga mengatakan, sebanyak 71% petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29%.
Belum lagi soal alih fungsi lahan. Hampir sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian/peternakan menyusut setiap tahunnya. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian/peternakan. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol, serta fasilitas umum lainnya.
Solusi Mikro dan Makro
Guna memecahkan hal itu, perlu penanganan mikro dan makro. Secara mikro, paling tidak ada lima hal yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah perlu memberikan akses lahan pertanian/peternakan kepada kaum muda yang ingin berprofesi sebagai peternak dan petani.
Akses lahan ini penting karena sebagian besar petani/peternak muda baru bisa mendapatkan akses lahan setelah mereka menikah atau setelah orangtuanya meninggal dunia.
Kedua, pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi petani/peternak untuk berinovasi. Tentu saja hal ini berkaitan dengan pola pikir petani/peternak masa kini yang sudah maju dan ingin menggunakan hal yang baru seiring berkembangnya teknologi. Inovasi tersebut misalnya dengan melakukan indoor farming seperti hidroponik atau aquaponik.
Untuk peternak, harus ada pendekatan baru yang dapat dilakukan seperti peternakan yang adaptif terhadap kondisi tropis, perkembangan teknologi reproduksi, sistem peternakan terpadu, impor indukan, dan pengaplikasian agriculture precision dengan teknologi industri 4.0.