Bisnis Manifestasi Anak Muda
A
A
A
Fashion sering dianggap sebagai identitas orang yang memakainya. Banyak anak muda kelas menengah yang menggunakan fashion untuk mencerminkan kepribadian dan gaya hidup mereka. Guna memburu fashion impian, mereka banyak yang memilih mencari di distro dibanding di toko pada umumnya.
Sejumlah pengusaha melirik potensi besar pada fashion anak muda kelas menengah. Guna masuk ke sektor ini, dibutuhkan kreativitas segi pemasaran maupun kualitas produk. Para pengusaha dituntut melahirkan produk yang fashionable, mencerminkan kepribadian segmen yang akan mereka bidik. Kebutuhan fashion tidak hanya pakaian, namun juga aksesori lain seperti tas, sepatu, ikat pinggang dan lainnya.
Satrya Putra Adhitama, seorang pengusaha muda yang memproduksi tas dengan merek “Shore “ menyebutkan, dia sengaja membidik orang yang peduli pada fashion yang dikenakan. Menurutnya, tas merupakan salah satu aksesori penting untuk melengkapi fashion. “Pakaian bagus tidak lengkap jika tidak dilengkapi dengan tas fashionable. Banyak model tas yang bisa dipilih mulai dari tas untuk ke kantor, kuliah, bepergian dan lainnya,”kata Satrya kepada KORAN SINDO kemarin.
Satrya mengaku saat ini produk-produk Shore sebagian besar dipasarkan melalui media online seperti Instagram. Dia menarget, tahun depan sudah ada distro khusus yang menjual produknya. Saat ini selain melalui media online, dia juga menjual produk melalui pameran yang sering dilaksanakan di pusat perbelanjaan. Bulan depan dia akan mengikuti dua pameran yang akan diadakan di Jakarta, salah satunya adalah di Kuningan City.
Pameran dinilai efektif untuk memperkenalkan produk Shore dan pembelian biasanya melonjak saat pameran berlangsung. Satrya mengungkap, setiap bulan mengantongi omzet berkisar Rp20- anjuta. Dia yakin jika rencana membuka distro bisa terealisasi tahun depan, omzet yang akan dia dapatkan jauh lebih besar. Apalagi, dia sedang mengonsep sebuah distro menarik yang di dalamnya konsumen bisa melihat proses produksi mulai menjahit bahan hingga finishing .
Dia berencana konsumen bisa langsung memesan dan menunggu produk yang merekarancang sendiri. Harga yang ditawarkan Shore cukup beragam, ada tas yang seharga Rp50.000 hingga Rp5 juta. “Kami merancang sebuah distro yang semua proses pembuatan bisa dilakukan di dalamnya. Distro yang unik ini akan bisa mengundang calon konsumen untuk datang. Konsumen bisa langsung melihat proses pembuatan karena produk kami adalah hand made,” tambah Satrya.
Pengamat industri kreatif Prasetiya Mulya Business School (PMBS) Bachtiar Hakim menyebutkan, saat ini ada pergeseran makna distro di kalangan pelaku industri kreatif. Banyak pengusaha kreatif yang sebenarnya melakukan usaha seperti distro, namun tidak mau toko mereka disebut distro.
Fenomena ini disebabkan terlalu menjamurnya distro hingga kota-kota kecil yang kualitas produknya masih diragukan. “Mereka lebih senang disebut sebagai local brand dibanding distro. Padahal, distro umumnya juga menjual produk-produk dengan brand lokal,” jelas Bachtiar kepada KORAN SINDO kemarin.
Pengusaha yang mengidentifikasikan dirinya bergerak di sektor local brand biasanya menjual produk-produk premium dengan jumlah yang terbatas. Dia mencontohkan sebuah pengusaha local brand menjual sebuah dompet hingga ratusan ribu rupiah. Mereka tidak mau main-main dengan kualitas bahan, sehingga sering memilih impor untuk memastikan kualitas bahan baku.
Local brand juga banyak yang mengandalkan hand made. Produk-produk kerajinan tangan ini biasanya memang lebih bernilai dibanding buatan mesin. Selain menjual melalui outlet, mereka sering bergabung dalam pameran tahunan seperti localfest atau pop up market. Mereka juga sering berpromosi atau mempunyai perkumpulan sendiri dalam dunia maya.
Fenomena penyebutan local brand menurut Bachtiar pertama kali muncul di Jakarta. Bachtiar menyebutkan, fenomena perbedaan local brand dan distro tidak perlu diperuncing, karena keduanya adalah sebuah manifestasi dari industri kreatif yang berkembang saat ini. Industri kreatif ini terutama melibatkan anak muda, baik yang baru memulai atau yang sudah lama berkecimpung.
Apalagi, tidak menutup kemungkinan fenomena istilah local brand akan sama dengan yang dialami distro saat istilah ini banyak dipakai pengusaha lain hingga ke berbagai daerah. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah menentukan dan menjaga kualitas produk yang mereka tawarkan.
Islahuddin
Sejumlah pengusaha melirik potensi besar pada fashion anak muda kelas menengah. Guna masuk ke sektor ini, dibutuhkan kreativitas segi pemasaran maupun kualitas produk. Para pengusaha dituntut melahirkan produk yang fashionable, mencerminkan kepribadian segmen yang akan mereka bidik. Kebutuhan fashion tidak hanya pakaian, namun juga aksesori lain seperti tas, sepatu, ikat pinggang dan lainnya.
Satrya Putra Adhitama, seorang pengusaha muda yang memproduksi tas dengan merek “Shore “ menyebutkan, dia sengaja membidik orang yang peduli pada fashion yang dikenakan. Menurutnya, tas merupakan salah satu aksesori penting untuk melengkapi fashion. “Pakaian bagus tidak lengkap jika tidak dilengkapi dengan tas fashionable. Banyak model tas yang bisa dipilih mulai dari tas untuk ke kantor, kuliah, bepergian dan lainnya,”kata Satrya kepada KORAN SINDO kemarin.
Satrya mengaku saat ini produk-produk Shore sebagian besar dipasarkan melalui media online seperti Instagram. Dia menarget, tahun depan sudah ada distro khusus yang menjual produknya. Saat ini selain melalui media online, dia juga menjual produk melalui pameran yang sering dilaksanakan di pusat perbelanjaan. Bulan depan dia akan mengikuti dua pameran yang akan diadakan di Jakarta, salah satunya adalah di Kuningan City.
Pameran dinilai efektif untuk memperkenalkan produk Shore dan pembelian biasanya melonjak saat pameran berlangsung. Satrya mengungkap, setiap bulan mengantongi omzet berkisar Rp20- anjuta. Dia yakin jika rencana membuka distro bisa terealisasi tahun depan, omzet yang akan dia dapatkan jauh lebih besar. Apalagi, dia sedang mengonsep sebuah distro menarik yang di dalamnya konsumen bisa melihat proses produksi mulai menjahit bahan hingga finishing .
Dia berencana konsumen bisa langsung memesan dan menunggu produk yang merekarancang sendiri. Harga yang ditawarkan Shore cukup beragam, ada tas yang seharga Rp50.000 hingga Rp5 juta. “Kami merancang sebuah distro yang semua proses pembuatan bisa dilakukan di dalamnya. Distro yang unik ini akan bisa mengundang calon konsumen untuk datang. Konsumen bisa langsung melihat proses pembuatan karena produk kami adalah hand made,” tambah Satrya.
Pengamat industri kreatif Prasetiya Mulya Business School (PMBS) Bachtiar Hakim menyebutkan, saat ini ada pergeseran makna distro di kalangan pelaku industri kreatif. Banyak pengusaha kreatif yang sebenarnya melakukan usaha seperti distro, namun tidak mau toko mereka disebut distro.
Fenomena ini disebabkan terlalu menjamurnya distro hingga kota-kota kecil yang kualitas produknya masih diragukan. “Mereka lebih senang disebut sebagai local brand dibanding distro. Padahal, distro umumnya juga menjual produk-produk dengan brand lokal,” jelas Bachtiar kepada KORAN SINDO kemarin.
Pengusaha yang mengidentifikasikan dirinya bergerak di sektor local brand biasanya menjual produk-produk premium dengan jumlah yang terbatas. Dia mencontohkan sebuah pengusaha local brand menjual sebuah dompet hingga ratusan ribu rupiah. Mereka tidak mau main-main dengan kualitas bahan, sehingga sering memilih impor untuk memastikan kualitas bahan baku.
Local brand juga banyak yang mengandalkan hand made. Produk-produk kerajinan tangan ini biasanya memang lebih bernilai dibanding buatan mesin. Selain menjual melalui outlet, mereka sering bergabung dalam pameran tahunan seperti localfest atau pop up market. Mereka juga sering berpromosi atau mempunyai perkumpulan sendiri dalam dunia maya.
Fenomena penyebutan local brand menurut Bachtiar pertama kali muncul di Jakarta. Bachtiar menyebutkan, fenomena perbedaan local brand dan distro tidak perlu diperuncing, karena keduanya adalah sebuah manifestasi dari industri kreatif yang berkembang saat ini. Industri kreatif ini terutama melibatkan anak muda, baik yang baru memulai atau yang sudah lama berkecimpung.
Apalagi, tidak menutup kemungkinan fenomena istilah local brand akan sama dengan yang dialami distro saat istilah ini banyak dipakai pengusaha lain hingga ke berbagai daerah. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah menentukan dan menjaga kualitas produk yang mereka tawarkan.
Islahuddin
(ftr)