Pustakawan untuk Indonesia: Melayani dengan Cinta
loading...
A
A
A
Dedi Junaedi
Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional RI
DIRGAHAYU Ikatan Pustakawan Indonesia yang ke-47 #BanggaJadiPustakawan-Pustakawan untuk Indonesia. 7 Juli 2020, hampir setengah abad Ikatan Pustakawan Indonesia mengabdi meningkatkan literasi rakyat Indonesia.
Para pustakawan dan perpustakaan Indonesia telah menghadapi suka dan duka hingga sampai pada titik saat ini. Titik di mana teknologi menjadi sarana pokok dalam kehidupan sehari-hari.Teknologi mampu menghadirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan termasuk salah satunya dalam menuntut ilmu.
Masa lalu kita menunggu-tunggu jam buka perpustakaan untuk mendapatkan layanannya. Kita menunggu-tunggu pustakawan datang ke perpustakaan untuk kita berkonsultasi dan kita menunggu-tunggu buku favorit yang berada pada peminjaman pemustaka lain. Pada masa itu juga daerah-daerah yang tidak terjangkau perpustakaan mendapatkan layanan perpustakaan dengan mengandalkan perpustakaan keliling dengan berbagai sarana dan prasarana.
Selama setengah abad perjuangan pustakawan Indonesia hingga pada masa kini. Pada masa perpustakaan berada pada genggaman setiap orang, perpustakaan keliling diandalkan tetapi iPusnas semakin dekat di hati. Buku-buku favorit bisa dipinjam lewat jari. Perpustakaan yang nyaman sekarang menjadi perpustakaan dengan co-working space yang instagramable. Akses informasi sangat cepat hingga peran pustakawan yang semakin dibutuhkan untuk melawan hoaks.
Sungguh perjuangan yang tidak mudah. Tidak mudah terus beradaptasi dengan teknologi, tidak mudah beradaptasi dengan sistem terbarukan tetapi semangat membuat pustakawan siap menghadapi tantangan zaman. Siap melayani masyarakat mulai dari generasi baby boomer hingga generasi Z.
Komitmen para pustakawan yang berjuang dari era tercetak hingga era digital bukanlah sembarang komitmen. Butuh kesetiaan dalam melakukan pengabdian pelayanan perpustakaan. Kesetiaan hebat tersebut hanya bisa muncul karena cinta. Pustakawan melayani pemustakanya dengan Cinta.
Achmad, Mansur Sutedjo, Surono, dan Edy Suprayitno (2014) telah mengungkapkan cinta tersebut dalam buku yang berjudul Layanan Cinta: Perwujudan Layanan Prima++ Perpustakaan. Pustakawan yang setia hingga saat ini mengabdi untuk melayani pemustaka tentunya memiliki cinta dan telah menerapkan prinsip-prinsip dalam layanan Cinta.
Prinsip pertama dalam layanan cinta adalah Pemustaka adalah raja. Pustakawan yang menganggap pemustaka adalah raja akan menanggapi dan melayani pemustaka dengan penuh rasa hormat, rasa saling menghargai dan saling tenggang rasa. Karena dengan perspektif ini pustakawan akan menyadari bahwa pemustaka mereka adalah manusia yang memiliki hati dan hati itu bisa kecewa serta tersakiti jika pustakwan tidak sungguh-sungguh dalam memberkan layanannya. Prinsip ini juga memberikan kesadaran bahwa pekerjaan pustakawan hanya semata-mata untuk tuhan yang maha esa.
Prinsip kedua layanan cinta adalah informasi milik semua orang. Pustakwan menyadari bahwa semua orang yang datang ke perpustakaan ingin berkembang, ingin berubah, dan ingin meningkatkan harkat hisupnya hingga mencapai taraf hidup yang baik.
Untuk mewujudkannya, manusia tentunya membutuhkan informasi dengan cara belajar. Informasi yang ada adalah milik semua orang terutama informasi yang sangat berharga, maka pustakawan perlu memberikan informasi yang berharga tersebut kepada pemustaka agar pemustaka merasakan manfaat atas informasi tersebut. Apalagi jika pustakawan mengemas ulang informasi berharga tersebut agar lebih mudah dimengerti dan di manfaatkan maka daya guna perpustakaan akan tinggi.
Prinsip ketiga adalah perpustakaan aset yang sangat mahal. Perpustakaan berdiri di tengah-tengah masyarakat tentunya tidak dengan harga yang murah. Ada harga lahan, harga bangunan, ada harga koleksi yang dibeli serta kelengkapan lainnya sehingga modal untuk berdirinya perpustakaan ini tidak murah. Aset yang mahal ini akan sangat bermanfaaat jika dilayankan dengan baik.
Salah satunya adalah memberikan layanan dengan cinta sehingga pemustaka akan memberikan cintanya kembali kepada perpustakaan dan senang belajar di perpustakaan. Dengan banyaknya pemanfaatan perpustakaan maka semakin bermakna aset mahal yang berbentuk perpustakaan.
Prinsip layanan cinta keempat adalah tenaga perpustakaan bekerja di bidang jasa. Karena jasa ini berbentuk tak kasat mata namun dapat dirasakan. Perlu keramahan pustakawan, perlu ketulusan pustakawan dan perlu senyum pustakawan dalam melayani dengan cinta. Karena jika pemustaka hanya mendapatkan informasi yang ia cari tanpa ketulusan layanan perpustakaan maka bisa dipastikan esok hari pemustaka tersebut tidak kembali lagi menggunakan perpustakaan.
Prinsip kelima layanan cinta adalah pustakawan menjadi penggerak utama. Pustakawan adalah role model utama di perpustakaan. Semangat mereka dalam melayani, ketulusan mereka dalam melayani akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas layanan mereka pribadi.
Dengan demikian, pustakawan harus menjadi sumber energi bagi semua warga perpustakaan. Jika layanan yang diberikan dengan semangat dan senyuman tentunya pemustaka dan tenaga perpustakaan lainnya ikut besemangat. Sebaliknya jika layanan ini diberikan dengan wajah cemberut, maka nuansa horor akan terasa di perpustakaan sehingga pemustaka enggan kembali lagi dan tenaga perpustakaan lainnya tidak bersemangat bekerja di perpustakaan.
Prinsip keenam adalah tenaga perpustakaan terus mengembangkan komunikasi efektif. Komunikasi adalah point penting dalam menyatakan cinta. Cinta dalam pelayanan dinyatakan dengan berkomunikasi dengan pilihan kata yang baik. Setiap kalimat yang diucapkan akan membantu pemustaka dan tidak membuat pemustaka kebingungan. Setiap komunikasi yang dijalin pustakawan akan meningkatkan keakraban, mengeratkan kebersamaan dan meningkatkan silaturahmi.
Prinsip ketujuh, layanan cinta adalah jasa yang diberikan pustakawan harus melebihi harapan pemustaka. Layanan cinta akan bisa diwujudkan jika pemustaka merasa dihargai. Bentuk penghargaannya adalah pemustaka berusaha seoptimal mungkin dalam membantu pemustaka sehingga mereka menyatakan kepuasan mereka meskipun mereka tidak mendapatkan buku atau informasi yang mereka cari.
Prinsip kedelapan, layanan cinta merupakan hasil kerja seluruh tenaga perpustakaan. Keberhasilan layanan cinta bukan karena satu orang atau beberapa orang saja. Layanan cinta adalah keberhasilan setiap orang yang bekerja di perpustakaan di bidang apapun Ia berkecimpung. Setiap jenis pekerjaan yang dilaksanakan tulus akan menghasilkan hasil yang baik. Sehingga kontribusi setiap orang yang bekerja dengan cinta akan secara terpadu menyukseskan layanan berdasarkan cinta di perpustakaan.
Prinsip kesembilan, layanan cinta merupakan suatu kenikmatan dan kebanggaan. Hal ini ibarat kita senang melihat orang lain senang. Pustakawan tentunya merasa bahagia jika pemustakanya senang dilayani oleh pustakawan. Rasa senang pemustaka ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi pustakawan dalam melayani pemustaka. Dengan kebahagiaan dan kebanggaan melayani dengan jinta maka jiwa akan terdorong untuk bekerja keras dengan tulus dan ikhlas.
Prinsip terakhir, adalah tulus dan ikhlas merupakan komponen utama layanan cinta. Ketulusan dan keihlasan adalah sikap yang bijaksana dimana setiap pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya kinerja.
Dengan begini pemustaka akan merasa puas dan senang juga merasa dihargai oleh pustakawan. Jika tulus dan ikhlas ini menjadi habituasi bagi pustakawan dalam keseharian kerjannya maka layanan cinta akan dirasakan oleh hati pemustaka.
Layanan cinta sebenarnya telah diberikan namun banyak pustakawan yang tidak sadar telah melakukannya. Berikut adalah siklus layanan cinta yang digambarkan oleh Achmad, Mansur Sutedjo, Surono, dan Edy Suprayitno (2014) pada halaman 185 dalam buku Layanan Cinta.
Titik nol (0) merupakan titik awal peningkatan kualitas religitus (keimanan, ketaqwaan, ketulusan, keikhlasan, kesabaran dan bersyukur). Titik ini adalah titik pustakawan meningkatkan kualitas hubungannya denga tuhan yang maha esa. Titik ini merupakan proses tanpa henti karena keimanan, ketulusan dan rasa lainnya perlu dipupuk. Sehingga dengan titik ini pustakawan berharap bahwa setiap pekerjaannya bernilai ibadah karena berawal dari energi ikhlas dan tulus.
Siklus nomor 1 memberikan layanan cinta dengan tulus kepada pemustaka. Pustakawan menyadari bahwa pemustaka bukanlah benda mati. Pemustaka adalah manusia yang memiliki hati dan rasa yang harus dipelihara. Gagalnya memelihara hati pemustaka akan mengakibatkan matinya perpustakaan karena pemustaka sejatinya adalah promotor baik dan buruknya layanan yang ia terima.
Siklus nomor 2 Memberikan Layanan cinta dengan ikhlas, hal ini sejalan dengan hubungan dengan Tuhan dan memberikan layanan dengan sungguh-sungguh kepada pemustaka. Layanan yang diberikan tidak diiringi rasa ingin dibalas dan dibayar oleh pemustaka. Rasa ikhlas yang telah tertanam akan meningkatkan siklus nomor 1 dan titik (0). Karena ikhlas merupakan salah satu kunci utama dalam layanan cinta di perpustakaan.
Siklus nomor 3 tuhan adala sumber energi cinta memberikan apa yang dibutuhkan keperpustakaan. Mendoakan pemustaka agar ilmu yang mereka tuntut bermanfaat adalah salah satu bentuk cinta pustakawan kepada pemustaka.
Pemustaka menyadari bahwa layanan cinta yang sempurna hanya dapat diberikan jika pustakawan berdoa kepada pencipta cinta tersebut. Tentunya layanan sungguh-sungguh dan doa harus beriringan. Tidak akan berjalan dengan baik jika hanya berdoa saja karena doa butuh ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Siklus nomor 4 juga membuktikan bahwa pemustaka akan merasa ikhlas menerima segala kekurangan atas usaha terbaik dalam pelayanan. Pemustaka menghargai perpustakaan, menghormati pustakawan karena pemustaka menyadari ia bukan hanya menumpang belajar tetapi tamu penting yang sedang belajar di perpustakaan. Sebagaimana ia memanfaatkan sumber daya perpustsakaan dengan baik pada siklus nomor 5 maka pustakawan juga memaksimalkan sumber daya pustakawan dengan efisien dan efektif dalam rangka melayani pemustaka. Tidak hanya itu pustakawan juga melakukan penambahan dan pembaruan pada sumber daya perpustakaan.
Berkomitmen puluhan tahun bukanlah perkara mudah. Berjuang puluhan tahun jauh lebih sulit. Namun pustakawan Indonesia telah melakukannya. Pustakawan-pustakawan yang kini mengamati generasi penerusnya telah memberikan pijakan kuat dan inspirasi untuk para pustakawan baru dan pegiat literasi untuk tetap kuat dan tangguh. Tangguh dalam menjawab tantangan zaman.
Kuat dalam pengetahuan dan keterampilan untuk indonesia maju. Pustakawan masa lalu dan masa kini selalu memperjuangkan literasi rakyat Indonesia. kebanggaan menjadi pustakawan adalah bentuk layanan cinta untuk Indonesia.
Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional RI
DIRGAHAYU Ikatan Pustakawan Indonesia yang ke-47 #BanggaJadiPustakawan-Pustakawan untuk Indonesia. 7 Juli 2020, hampir setengah abad Ikatan Pustakawan Indonesia mengabdi meningkatkan literasi rakyat Indonesia.
Para pustakawan dan perpustakaan Indonesia telah menghadapi suka dan duka hingga sampai pada titik saat ini. Titik di mana teknologi menjadi sarana pokok dalam kehidupan sehari-hari.Teknologi mampu menghadirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan termasuk salah satunya dalam menuntut ilmu.
Masa lalu kita menunggu-tunggu jam buka perpustakaan untuk mendapatkan layanannya. Kita menunggu-tunggu pustakawan datang ke perpustakaan untuk kita berkonsultasi dan kita menunggu-tunggu buku favorit yang berada pada peminjaman pemustaka lain. Pada masa itu juga daerah-daerah yang tidak terjangkau perpustakaan mendapatkan layanan perpustakaan dengan mengandalkan perpustakaan keliling dengan berbagai sarana dan prasarana.
Selama setengah abad perjuangan pustakawan Indonesia hingga pada masa kini. Pada masa perpustakaan berada pada genggaman setiap orang, perpustakaan keliling diandalkan tetapi iPusnas semakin dekat di hati. Buku-buku favorit bisa dipinjam lewat jari. Perpustakaan yang nyaman sekarang menjadi perpustakaan dengan co-working space yang instagramable. Akses informasi sangat cepat hingga peran pustakawan yang semakin dibutuhkan untuk melawan hoaks.
Sungguh perjuangan yang tidak mudah. Tidak mudah terus beradaptasi dengan teknologi, tidak mudah beradaptasi dengan sistem terbarukan tetapi semangat membuat pustakawan siap menghadapi tantangan zaman. Siap melayani masyarakat mulai dari generasi baby boomer hingga generasi Z.
Komitmen para pustakawan yang berjuang dari era tercetak hingga era digital bukanlah sembarang komitmen. Butuh kesetiaan dalam melakukan pengabdian pelayanan perpustakaan. Kesetiaan hebat tersebut hanya bisa muncul karena cinta. Pustakawan melayani pemustakanya dengan Cinta.
Achmad, Mansur Sutedjo, Surono, dan Edy Suprayitno (2014) telah mengungkapkan cinta tersebut dalam buku yang berjudul Layanan Cinta: Perwujudan Layanan Prima++ Perpustakaan. Pustakawan yang setia hingga saat ini mengabdi untuk melayani pemustaka tentunya memiliki cinta dan telah menerapkan prinsip-prinsip dalam layanan Cinta.
Prinsip pertama dalam layanan cinta adalah Pemustaka adalah raja. Pustakawan yang menganggap pemustaka adalah raja akan menanggapi dan melayani pemustaka dengan penuh rasa hormat, rasa saling menghargai dan saling tenggang rasa. Karena dengan perspektif ini pustakawan akan menyadari bahwa pemustaka mereka adalah manusia yang memiliki hati dan hati itu bisa kecewa serta tersakiti jika pustakwan tidak sungguh-sungguh dalam memberkan layanannya. Prinsip ini juga memberikan kesadaran bahwa pekerjaan pustakawan hanya semata-mata untuk tuhan yang maha esa.
Prinsip kedua layanan cinta adalah informasi milik semua orang. Pustakwan menyadari bahwa semua orang yang datang ke perpustakaan ingin berkembang, ingin berubah, dan ingin meningkatkan harkat hisupnya hingga mencapai taraf hidup yang baik.
Untuk mewujudkannya, manusia tentunya membutuhkan informasi dengan cara belajar. Informasi yang ada adalah milik semua orang terutama informasi yang sangat berharga, maka pustakawan perlu memberikan informasi yang berharga tersebut kepada pemustaka agar pemustaka merasakan manfaat atas informasi tersebut. Apalagi jika pustakawan mengemas ulang informasi berharga tersebut agar lebih mudah dimengerti dan di manfaatkan maka daya guna perpustakaan akan tinggi.
Prinsip ketiga adalah perpustakaan aset yang sangat mahal. Perpustakaan berdiri di tengah-tengah masyarakat tentunya tidak dengan harga yang murah. Ada harga lahan, harga bangunan, ada harga koleksi yang dibeli serta kelengkapan lainnya sehingga modal untuk berdirinya perpustakaan ini tidak murah. Aset yang mahal ini akan sangat bermanfaaat jika dilayankan dengan baik.
Salah satunya adalah memberikan layanan dengan cinta sehingga pemustaka akan memberikan cintanya kembali kepada perpustakaan dan senang belajar di perpustakaan. Dengan banyaknya pemanfaatan perpustakaan maka semakin bermakna aset mahal yang berbentuk perpustakaan.
Prinsip layanan cinta keempat adalah tenaga perpustakaan bekerja di bidang jasa. Karena jasa ini berbentuk tak kasat mata namun dapat dirasakan. Perlu keramahan pustakawan, perlu ketulusan pustakawan dan perlu senyum pustakawan dalam melayani dengan cinta. Karena jika pemustaka hanya mendapatkan informasi yang ia cari tanpa ketulusan layanan perpustakaan maka bisa dipastikan esok hari pemustaka tersebut tidak kembali lagi menggunakan perpustakaan.
Prinsip kelima layanan cinta adalah pustakawan menjadi penggerak utama. Pustakawan adalah role model utama di perpustakaan. Semangat mereka dalam melayani, ketulusan mereka dalam melayani akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas layanan mereka pribadi.
Dengan demikian, pustakawan harus menjadi sumber energi bagi semua warga perpustakaan. Jika layanan yang diberikan dengan semangat dan senyuman tentunya pemustaka dan tenaga perpustakaan lainnya ikut besemangat. Sebaliknya jika layanan ini diberikan dengan wajah cemberut, maka nuansa horor akan terasa di perpustakaan sehingga pemustaka enggan kembali lagi dan tenaga perpustakaan lainnya tidak bersemangat bekerja di perpustakaan.
Prinsip keenam adalah tenaga perpustakaan terus mengembangkan komunikasi efektif. Komunikasi adalah point penting dalam menyatakan cinta. Cinta dalam pelayanan dinyatakan dengan berkomunikasi dengan pilihan kata yang baik. Setiap kalimat yang diucapkan akan membantu pemustaka dan tidak membuat pemustaka kebingungan. Setiap komunikasi yang dijalin pustakawan akan meningkatkan keakraban, mengeratkan kebersamaan dan meningkatkan silaturahmi.
Prinsip ketujuh, layanan cinta adalah jasa yang diberikan pustakawan harus melebihi harapan pemustaka. Layanan cinta akan bisa diwujudkan jika pemustaka merasa dihargai. Bentuk penghargaannya adalah pemustaka berusaha seoptimal mungkin dalam membantu pemustaka sehingga mereka menyatakan kepuasan mereka meskipun mereka tidak mendapatkan buku atau informasi yang mereka cari.
Prinsip kedelapan, layanan cinta merupakan hasil kerja seluruh tenaga perpustakaan. Keberhasilan layanan cinta bukan karena satu orang atau beberapa orang saja. Layanan cinta adalah keberhasilan setiap orang yang bekerja di perpustakaan di bidang apapun Ia berkecimpung. Setiap jenis pekerjaan yang dilaksanakan tulus akan menghasilkan hasil yang baik. Sehingga kontribusi setiap orang yang bekerja dengan cinta akan secara terpadu menyukseskan layanan berdasarkan cinta di perpustakaan.
Prinsip kesembilan, layanan cinta merupakan suatu kenikmatan dan kebanggaan. Hal ini ibarat kita senang melihat orang lain senang. Pustakawan tentunya merasa bahagia jika pemustakanya senang dilayani oleh pustakawan. Rasa senang pemustaka ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi pustakawan dalam melayani pemustaka. Dengan kebahagiaan dan kebanggaan melayani dengan jinta maka jiwa akan terdorong untuk bekerja keras dengan tulus dan ikhlas.
Prinsip terakhir, adalah tulus dan ikhlas merupakan komponen utama layanan cinta. Ketulusan dan keihlasan adalah sikap yang bijaksana dimana setiap pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya kinerja.
Dengan begini pemustaka akan merasa puas dan senang juga merasa dihargai oleh pustakawan. Jika tulus dan ikhlas ini menjadi habituasi bagi pustakawan dalam keseharian kerjannya maka layanan cinta akan dirasakan oleh hati pemustaka.
Layanan cinta sebenarnya telah diberikan namun banyak pustakawan yang tidak sadar telah melakukannya. Berikut adalah siklus layanan cinta yang digambarkan oleh Achmad, Mansur Sutedjo, Surono, dan Edy Suprayitno (2014) pada halaman 185 dalam buku Layanan Cinta.
Titik nol (0) merupakan titik awal peningkatan kualitas religitus (keimanan, ketaqwaan, ketulusan, keikhlasan, kesabaran dan bersyukur). Titik ini adalah titik pustakawan meningkatkan kualitas hubungannya denga tuhan yang maha esa. Titik ini merupakan proses tanpa henti karena keimanan, ketulusan dan rasa lainnya perlu dipupuk. Sehingga dengan titik ini pustakawan berharap bahwa setiap pekerjaannya bernilai ibadah karena berawal dari energi ikhlas dan tulus.
Siklus nomor 1 memberikan layanan cinta dengan tulus kepada pemustaka. Pustakawan menyadari bahwa pemustaka bukanlah benda mati. Pemustaka adalah manusia yang memiliki hati dan rasa yang harus dipelihara. Gagalnya memelihara hati pemustaka akan mengakibatkan matinya perpustakaan karena pemustaka sejatinya adalah promotor baik dan buruknya layanan yang ia terima.
Siklus nomor 2 Memberikan Layanan cinta dengan ikhlas, hal ini sejalan dengan hubungan dengan Tuhan dan memberikan layanan dengan sungguh-sungguh kepada pemustaka. Layanan yang diberikan tidak diiringi rasa ingin dibalas dan dibayar oleh pemustaka. Rasa ikhlas yang telah tertanam akan meningkatkan siklus nomor 1 dan titik (0). Karena ikhlas merupakan salah satu kunci utama dalam layanan cinta di perpustakaan.
Siklus nomor 3 tuhan adala sumber energi cinta memberikan apa yang dibutuhkan keperpustakaan. Mendoakan pemustaka agar ilmu yang mereka tuntut bermanfaat adalah salah satu bentuk cinta pustakawan kepada pemustaka.
Pemustaka menyadari bahwa layanan cinta yang sempurna hanya dapat diberikan jika pustakawan berdoa kepada pencipta cinta tersebut. Tentunya layanan sungguh-sungguh dan doa harus beriringan. Tidak akan berjalan dengan baik jika hanya berdoa saja karena doa butuh ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Siklus nomor 4 juga membuktikan bahwa pemustaka akan merasa ikhlas menerima segala kekurangan atas usaha terbaik dalam pelayanan. Pemustaka menghargai perpustakaan, menghormati pustakawan karena pemustaka menyadari ia bukan hanya menumpang belajar tetapi tamu penting yang sedang belajar di perpustakaan. Sebagaimana ia memanfaatkan sumber daya perpustsakaan dengan baik pada siklus nomor 5 maka pustakawan juga memaksimalkan sumber daya pustakawan dengan efisien dan efektif dalam rangka melayani pemustaka. Tidak hanya itu pustakawan juga melakukan penambahan dan pembaruan pada sumber daya perpustakaan.
Berkomitmen puluhan tahun bukanlah perkara mudah. Berjuang puluhan tahun jauh lebih sulit. Namun pustakawan Indonesia telah melakukannya. Pustakawan-pustakawan yang kini mengamati generasi penerusnya telah memberikan pijakan kuat dan inspirasi untuk para pustakawan baru dan pegiat literasi untuk tetap kuat dan tangguh. Tangguh dalam menjawab tantangan zaman.
Kuat dalam pengetahuan dan keterampilan untuk indonesia maju. Pustakawan masa lalu dan masa kini selalu memperjuangkan literasi rakyat Indonesia. kebanggaan menjadi pustakawan adalah bentuk layanan cinta untuk Indonesia.
(dam)