Satu Tahun yang Menentukan bagi Jokowi-Ma'ruf
loading...
A
A
A
Wim Tohari Daniealdi
Dosen FISIP UNIKOM Bandung, Peneliti Bidang Politik di Pemilu Watch Indonesia
TIDAK terasa, sudah hampir genap tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) berjalan, terhitung sejak 20 Oktober 2019 lalu. Masih ada dua tahun waktu bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk menuntaskan janji-janji politiknya kepada rakyat Indonesia.
Namun, bila kita proyeksikan waktu dua tahun tersebut dengan tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bisa dianggap bahwa waktu yang efektif tinggal setahun saja, karena di tahun terakhir pada 2023, Indonesia sudah memasuki tahun politik.
Baca Juga: koran-sindo.com
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, masa pecalonan presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober 2023-25 November 2023, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada 24 April 2023-25 November 2023, serta DPD pada 6 Desember 2022-25 November 2023 – yang kemudian dilanjutkan dengan masa kampanye pemilu pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana pemerintah menjaga stabilitas politik di tengah banyaknya tantangan, baik resesi global maupun dinamika perpolititkan nasional seiring mendekatnya waktu pemilu.
Secara teoritis, stabilitas politik inilah yang akan menentukan tercapai atau tidaknya program dan kebijakan pembangunan yang dilakukan Jokowi-Ma’ruf, yang pada tahap selanjutnya, akan menentukan tercapai tidaknya tujuan pembangunan suatu bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. (Huntington dalam Ramlan Surbakti; 1992).
Persoalannya, bila kita menelaah komposisi Kabinet Indonesia Maju sekarang, hampir 50% isinya adalah kader partai politik yang memiliki kepentingan sangat tinggi dalam perhelatan dan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2024. Bahkan hampir semua ketua umum partai politik peserta Pemilu 2024 adalah anggota Kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Tanpa bermaksud meragukan profesionalitas para kader partai politik ini, tapi bila kita melihat potensi kesibukan yang akan terjadi di akhir 2023 nanti, rasanya akan sulit bagi mereka menjaga profesionalitas sebagai menteri negara.
Bagaimana tidak? Ini adalah pemilu terbesar dan paling kolosal di dunia.
Selain satu kursi presiden yang diperebutkan, ada setidaknya 542 kepala darrah provinsi/kabupaten/kota, 575 kursi di DPR RI, 19.817 DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan 136 kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Untuk menyelenggarakan event sebesar ini, sekilas saja kita bisa membayangkan betapa banyak sumber daya negara yang akan teralihkan untuk memastikan proses pengorganisasian norma hukum, sumber daya manusia dan logistik yang bersifat kolosal di seluruh pejuru negeri tetap berjalan baik.
Dengan kata lain, bukan hanya beberapa menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju yang akan tersita perhatianya di akhir 2023 mendatang, bisa jadi seluruh isi kabinet akan terpecah konsentrasinya ke perhelatan akbar ini.
Oleh sebab itu, penting bagi Jokowi-Ma’ruf melakukan terobosan mencapai semua target pembangunannya dalam satu tahun ke depan
Variabel Tak Terduga
Sebenarnya ada banyak alasan logis dan acceptable bagi pemerintahan Jokowi bila ingin berkelit dari target yang ditetapkannya. Karena pada periode pemerintahannya yang kedua ini, muncul sejumlah variabel tak terduga (unexpected variable) yang mengintrupsi proses pembangunan tersebut.
Salah satu yang paling menonjol adalah bencana pandemi Covid-19 yang berdampak ke semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga konsentrasi kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf harus teralihkan kepada upaya penanggulangan bencana ini.
Terkait hal itu kita patut pengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang berhasil melewati masa pademi Covid-19 dengan cukup baik. Bahkan, ketika saat ini dunia tengah dihadapkan pada krisis pangan, energi, dan keuangan, keberhasilan Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi juga telah mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Landas Pacu Peradaban
Hanya saja, persoalannyan bukan itu. Bila kita telaah lebih jauh lima substansi program pembangunan Jokowi pada periode keduanya ini, target yang ingin dicapai sebenarnya adalah menyiapkan landasan pacu peradaban dalam rangka menyongsong era Indonesia Emas 2045.
Di mana itu adalah era revolusi industri sudah berlangsung advance, dan gugus material yang akan kita hadapi nanti sudah berbeda sama sekali.
Itu sebabnya kita lima target pembangunan Jokowi-Ma’ruf harus terwujud, yaitu:
Pertama, melanjutkan pembangunan infrastruktur dengan fokus ditujukan untuk menyambungkan infrastruktur-infrastruktur yang telah dibangun dengan kawasan-kawasan industri, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, kawasan-kawasan persawahan, perkebunan, tambak-tambak perikanan.
Kedua, menggencarkan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, menyiapkan lapangan kerja dan kemudahan investasi. Keempat, reformasi birokrasi agar lembaga-lembaga negara semakin sederhana dan lincah. Dan kelima, alokasi dan penggunaan APBN secara efektif dan efisien.
Belum lagi bila kita tambahkan proyek pembanguan Ibu Kota Negara yang digadang-gadang akan menjadi milestone peradaban Indonesia masa depan.
Munculnya Dua Fakta Alamiah
Semua target pembangunan tersebut, bagaimanapun harus tercapai. Sebab, ada dua fakta alamiah yang muncul saat ini – yang bila tidak direspon atau dituntaskan – akan menjadi beban bagi kepemimpinan yang akan datang, serta akan membuat cita-cita Indonesia emas tahun 2045 bisa tidak tercapai.
Pertama, surplus demografi. Menurut Bappenas, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada 2030-2040 di mana jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. (bappenas.go.id)
Fakta ini, melahirkan harapan (optimisme) di satu sisi, tapi juga tantangan di sisi lain. Agar Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi, ketersediaan sumber daya manusia usia produktif yang melimpah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.
Kedua, masa depan yang datang lebih cepat. Selama masa pandemi Covid-19 ini kita menyaksikan di tiap negara, jutaan orang kehilangan pekerjaan, rantai suplai global terputus, negara-negara mengalami defisit keuangan yang serius, dan potensi ancaman keamanan datang dari mana-mana. Tapi sebagaimana kita saksikan bersama, secara perlahan kita semua diselamatkan oleh “masa depan” yang datang lebih cepat dari seharusnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami lompatan yang siginifikan, sebut saja; kemajuan dalam bidang komunikasi dan informatika, artificial intelligence (AI), bio-technology, nano-technology, aerospace technology, dan energy alternatif nonfosil.
Semua pecapaian ini, memang belum optimal dan sempurna. Tapi kita sadari, inilah infrastruktur masa depan yang akan kita tuju nantinya. Itu sebabnya kita secara perlahan berbenah dan mulai beradaptasi.
Tapi pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini, membuat masa depan itu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam ngarai kebingungan yang melanda, pecapaian teknologi masa depan itu menjadi jawaban.
Ketika semua orang disuruh untuk mejaga jarak dan berdiam di dalam rumah (lockdown), global inter-connectivity menjadi jawabannya; AI menggantikan kerja-kerja fundamental manusia yang tidak maksimal di masa pandemi; bio-technologi melalui derivasinya (genomic, recombinant gene techniques, applied immunology, and development of pharmaceutical therapies and diagnostic test), terus menembus batas untuk menemukan vaksin dan solusi lainnya yang berguna bagi manusia.
Dengan kata lain, bencana pandemi Covid-19 telah mendorong peradaban modern memasuki era yang benar-benar baru dengan bertumpu sepenuhnya pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini jelas sebuat tantangan nyata bagi setiap negara, khususnya para generasi muda yang akan menjadi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa.
Maka itu – terlepas dari sebesar apapun pencapaian pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19 – tidak bisa tidak, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf harus bisa memanfaatkan satu tahun yang menentukan ini untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan guna menuntaskan semua program pembangunan yang sudah direncanakan.
Bila tidak, maka landasan pacu peradaban Indonesia masa depan akan terbengkalai, dan cita-cita Indonesia Emas 2024 akan sulit terealisasi. Wallahualam bi sawab.
Dosen FISIP UNIKOM Bandung, Peneliti Bidang Politik di Pemilu Watch Indonesia
TIDAK terasa, sudah hampir genap tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) berjalan, terhitung sejak 20 Oktober 2019 lalu. Masih ada dua tahun waktu bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk menuntaskan janji-janji politiknya kepada rakyat Indonesia.
Namun, bila kita proyeksikan waktu dua tahun tersebut dengan tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bisa dianggap bahwa waktu yang efektif tinggal setahun saja, karena di tahun terakhir pada 2023, Indonesia sudah memasuki tahun politik.
Baca Juga: koran-sindo.com
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, masa pecalonan presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober 2023-25 November 2023, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada 24 April 2023-25 November 2023, serta DPD pada 6 Desember 2022-25 November 2023 – yang kemudian dilanjutkan dengan masa kampanye pemilu pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana pemerintah menjaga stabilitas politik di tengah banyaknya tantangan, baik resesi global maupun dinamika perpolititkan nasional seiring mendekatnya waktu pemilu.
Secara teoritis, stabilitas politik inilah yang akan menentukan tercapai atau tidaknya program dan kebijakan pembangunan yang dilakukan Jokowi-Ma’ruf, yang pada tahap selanjutnya, akan menentukan tercapai tidaknya tujuan pembangunan suatu bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. (Huntington dalam Ramlan Surbakti; 1992).
Persoalannya, bila kita menelaah komposisi Kabinet Indonesia Maju sekarang, hampir 50% isinya adalah kader partai politik yang memiliki kepentingan sangat tinggi dalam perhelatan dan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2024. Bahkan hampir semua ketua umum partai politik peserta Pemilu 2024 adalah anggota Kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Tanpa bermaksud meragukan profesionalitas para kader partai politik ini, tapi bila kita melihat potensi kesibukan yang akan terjadi di akhir 2023 nanti, rasanya akan sulit bagi mereka menjaga profesionalitas sebagai menteri negara.
Bagaimana tidak? Ini adalah pemilu terbesar dan paling kolosal di dunia.
Selain satu kursi presiden yang diperebutkan, ada setidaknya 542 kepala darrah provinsi/kabupaten/kota, 575 kursi di DPR RI, 19.817 DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan 136 kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Untuk menyelenggarakan event sebesar ini, sekilas saja kita bisa membayangkan betapa banyak sumber daya negara yang akan teralihkan untuk memastikan proses pengorganisasian norma hukum, sumber daya manusia dan logistik yang bersifat kolosal di seluruh pejuru negeri tetap berjalan baik.
Dengan kata lain, bukan hanya beberapa menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju yang akan tersita perhatianya di akhir 2023 mendatang, bisa jadi seluruh isi kabinet akan terpecah konsentrasinya ke perhelatan akbar ini.
Oleh sebab itu, penting bagi Jokowi-Ma’ruf melakukan terobosan mencapai semua target pembangunannya dalam satu tahun ke depan
Variabel Tak Terduga
Sebenarnya ada banyak alasan logis dan acceptable bagi pemerintahan Jokowi bila ingin berkelit dari target yang ditetapkannya. Karena pada periode pemerintahannya yang kedua ini, muncul sejumlah variabel tak terduga (unexpected variable) yang mengintrupsi proses pembangunan tersebut.
Salah satu yang paling menonjol adalah bencana pandemi Covid-19 yang berdampak ke semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga konsentrasi kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf harus teralihkan kepada upaya penanggulangan bencana ini.
Terkait hal itu kita patut pengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang berhasil melewati masa pademi Covid-19 dengan cukup baik. Bahkan, ketika saat ini dunia tengah dihadapkan pada krisis pangan, energi, dan keuangan, keberhasilan Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi juga telah mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Landas Pacu Peradaban
Hanya saja, persoalannyan bukan itu. Bila kita telaah lebih jauh lima substansi program pembangunan Jokowi pada periode keduanya ini, target yang ingin dicapai sebenarnya adalah menyiapkan landasan pacu peradaban dalam rangka menyongsong era Indonesia Emas 2045.
Di mana itu adalah era revolusi industri sudah berlangsung advance, dan gugus material yang akan kita hadapi nanti sudah berbeda sama sekali.
Itu sebabnya kita lima target pembangunan Jokowi-Ma’ruf harus terwujud, yaitu:
Pertama, melanjutkan pembangunan infrastruktur dengan fokus ditujukan untuk menyambungkan infrastruktur-infrastruktur yang telah dibangun dengan kawasan-kawasan industri, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, kawasan-kawasan persawahan, perkebunan, tambak-tambak perikanan.
Kedua, menggencarkan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, menyiapkan lapangan kerja dan kemudahan investasi. Keempat, reformasi birokrasi agar lembaga-lembaga negara semakin sederhana dan lincah. Dan kelima, alokasi dan penggunaan APBN secara efektif dan efisien.
Belum lagi bila kita tambahkan proyek pembanguan Ibu Kota Negara yang digadang-gadang akan menjadi milestone peradaban Indonesia masa depan.
Munculnya Dua Fakta Alamiah
Semua target pembangunan tersebut, bagaimanapun harus tercapai. Sebab, ada dua fakta alamiah yang muncul saat ini – yang bila tidak direspon atau dituntaskan – akan menjadi beban bagi kepemimpinan yang akan datang, serta akan membuat cita-cita Indonesia emas tahun 2045 bisa tidak tercapai.
Pertama, surplus demografi. Menurut Bappenas, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada 2030-2040 di mana jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. (bappenas.go.id)
Fakta ini, melahirkan harapan (optimisme) di satu sisi, tapi juga tantangan di sisi lain. Agar Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi, ketersediaan sumber daya manusia usia produktif yang melimpah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.
Kedua, masa depan yang datang lebih cepat. Selama masa pandemi Covid-19 ini kita menyaksikan di tiap negara, jutaan orang kehilangan pekerjaan, rantai suplai global terputus, negara-negara mengalami defisit keuangan yang serius, dan potensi ancaman keamanan datang dari mana-mana. Tapi sebagaimana kita saksikan bersama, secara perlahan kita semua diselamatkan oleh “masa depan” yang datang lebih cepat dari seharusnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami lompatan yang siginifikan, sebut saja; kemajuan dalam bidang komunikasi dan informatika, artificial intelligence (AI), bio-technology, nano-technology, aerospace technology, dan energy alternatif nonfosil.
Semua pecapaian ini, memang belum optimal dan sempurna. Tapi kita sadari, inilah infrastruktur masa depan yang akan kita tuju nantinya. Itu sebabnya kita secara perlahan berbenah dan mulai beradaptasi.
Tapi pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini, membuat masa depan itu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam ngarai kebingungan yang melanda, pecapaian teknologi masa depan itu menjadi jawaban.
Ketika semua orang disuruh untuk mejaga jarak dan berdiam di dalam rumah (lockdown), global inter-connectivity menjadi jawabannya; AI menggantikan kerja-kerja fundamental manusia yang tidak maksimal di masa pandemi; bio-technologi melalui derivasinya (genomic, recombinant gene techniques, applied immunology, and development of pharmaceutical therapies and diagnostic test), terus menembus batas untuk menemukan vaksin dan solusi lainnya yang berguna bagi manusia.
Dengan kata lain, bencana pandemi Covid-19 telah mendorong peradaban modern memasuki era yang benar-benar baru dengan bertumpu sepenuhnya pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini jelas sebuat tantangan nyata bagi setiap negara, khususnya para generasi muda yang akan menjadi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa.
Maka itu – terlepas dari sebesar apapun pencapaian pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19 – tidak bisa tidak, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf harus bisa memanfaatkan satu tahun yang menentukan ini untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan guna menuntaskan semua program pembangunan yang sudah direncanakan.
Bila tidak, maka landasan pacu peradaban Indonesia masa depan akan terbengkalai, dan cita-cita Indonesia Emas 2024 akan sulit terealisasi. Wallahualam bi sawab.
(bmm)