Presiden Diminta Turun Tangan Benahi Sektor Hukum di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia saat ini dinilai berada dalam situasi darurat peradaban hukum . Persoalan demi persoalan terus terjadi dari hulu hingga hilir sektor hukum, sehingga masuk dalam kondisi darurat.
Hal ini menjadi garis besar pandangan pakar serta praktisi hukum dalam Seminar Nasional berjudul Darurat Peradaban Hukum, Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif, yang digelar Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) dan Peradi, di Kampus UNKRIS, Rabu (19/10/2022). Hadir sebagai narasumber adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, Ketua Peradi Otto Hasibuan, dan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) Hartanto.
Jimly Asshiddiqie mengatakan, peradaban hukum di Indonesia berada dalam keadaan genting. Hampir semua lini, dari hulu hingga hilir, mengalami masalah berat dalam fungsi negara hukum. Misalnya persoalan yang mencuat di kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Menurut Jimly, dibutuhkan ide-ide dari praktisi dan akademisi untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. "Diperlukan langkah-langkah untuk perbaikan dengan menghimpun ide-ide cemerlang dari para pakar dari dunia perguruan tinggi dan juga dari praktisi. Harus ditemukan solusi atas permasalahan ini," kata Jimly.
Hal yang sama juga disampaikan Gayus Lumbuun. Menurutnya, masyarakat merasakan peradaban hukum saat ini dalam kondisi darurat. Keadaannya abnormal dari yang seharusnya. Padahal, kata Gayus, peradaban adalah satu identitas yang berisi akhlak dan kehormatan yang seharusnya dipertahankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
"Di seminar ini kami membahas apakah bisa presiden mencampuri urusan peradilan? Pendapat saya, tentu sangat bisa. Indonesia punya trias politika tetapi tidak dengan pemisahan kekuasaan, melainkan distribusi kekuasaan," kata Gayus.
Menurutnya, presiden bisa mencampuri semua aspek sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa tertinggi. Presiden mempunyai kewenangan yang bisa masuk ke banyak lembaga dengan catatan ketika keadaan itu darurat.
Baca juga: Kasus Suap Sudrajad Dimyati, Hakim Agung dan Sekretaris MA Mangkir Panggilan KPK
"Nah ini darurat kita ini sekarang. Lembaga penegak hukum mana yang tidak sedang bermasalah hari ini? Semuanya bermasalah. Dari kepolisian, KPK, hingga Mahkamah Agung," kata Gayus.
Gayus menjelaskan, dalam seminar ini para praktisi hukum dan kalangan akademisi mencoba menyampaikan pandangan, sejauh mana seorang presiden bisa masuk lembaga yudikatif.
Otto Hasibuan mengatakan, presiden harus turun tangan dan menjadi back up dalam membenahi masalah penegakan hukum di Indonesia. Sebab, kondisi saat ini dalam keadaan darurat peradaban hukum. "Presiden harus turun tangan menegakkan kembali peradaban hukum di Indonesia," kata Otto.
Hartanto mengatakan, Presiden harus melakukan diskresi dalam upayanya menegakkan peradaban hukum. "Dalam seminar ini kami akan memberikan rekomendasi dan masukan kepada presiden tentang diskresi ini," kata Hartanto.
Sementara itu, Rektor Unkris Ayub Muktiono mengajak sivitas akademika mengembangkan paradigma kritis guna memajukan pendidikan, termasuk permasalahan di bidang hukum. Ia menyebut sejumlah persoalan hukum yang terjadi di Indonesia.
"Pengacara banyak yang dipidana, polisi juga yang melanggar hukum. Polisi Bintang tapi terlibat narkoba. Waketum KPK juga mundur, Kejagung OTT KPK. Dan yang amat merontokkan martabat hukum dengan ditetapkan hakim agung sebagai tersangka," kata Ayub.
Menurut Ayub, Unkris setuju peradaban hukum dalam kondisi darurat. "Bagaimana reformasi hukum, apakah harus ada UU dulu baru reformasi. Seminar ini mencoba memberikan masukan kepada presiden untuk selamatkan bangsa dan negara," kata Ayub.
Hal ini menjadi garis besar pandangan pakar serta praktisi hukum dalam Seminar Nasional berjudul Darurat Peradaban Hukum, Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif, yang digelar Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) dan Peradi, di Kampus UNKRIS, Rabu (19/10/2022). Hadir sebagai narasumber adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, Ketua Peradi Otto Hasibuan, dan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) Hartanto.
Jimly Asshiddiqie mengatakan, peradaban hukum di Indonesia berada dalam keadaan genting. Hampir semua lini, dari hulu hingga hilir, mengalami masalah berat dalam fungsi negara hukum. Misalnya persoalan yang mencuat di kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Menurut Jimly, dibutuhkan ide-ide dari praktisi dan akademisi untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. "Diperlukan langkah-langkah untuk perbaikan dengan menghimpun ide-ide cemerlang dari para pakar dari dunia perguruan tinggi dan juga dari praktisi. Harus ditemukan solusi atas permasalahan ini," kata Jimly.
Hal yang sama juga disampaikan Gayus Lumbuun. Menurutnya, masyarakat merasakan peradaban hukum saat ini dalam kondisi darurat. Keadaannya abnormal dari yang seharusnya. Padahal, kata Gayus, peradaban adalah satu identitas yang berisi akhlak dan kehormatan yang seharusnya dipertahankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
"Di seminar ini kami membahas apakah bisa presiden mencampuri urusan peradilan? Pendapat saya, tentu sangat bisa. Indonesia punya trias politika tetapi tidak dengan pemisahan kekuasaan, melainkan distribusi kekuasaan," kata Gayus.
Menurutnya, presiden bisa mencampuri semua aspek sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa tertinggi. Presiden mempunyai kewenangan yang bisa masuk ke banyak lembaga dengan catatan ketika keadaan itu darurat.
Baca juga: Kasus Suap Sudrajad Dimyati, Hakim Agung dan Sekretaris MA Mangkir Panggilan KPK
"Nah ini darurat kita ini sekarang. Lembaga penegak hukum mana yang tidak sedang bermasalah hari ini? Semuanya bermasalah. Dari kepolisian, KPK, hingga Mahkamah Agung," kata Gayus.
Gayus menjelaskan, dalam seminar ini para praktisi hukum dan kalangan akademisi mencoba menyampaikan pandangan, sejauh mana seorang presiden bisa masuk lembaga yudikatif.
Otto Hasibuan mengatakan, presiden harus turun tangan dan menjadi back up dalam membenahi masalah penegakan hukum di Indonesia. Sebab, kondisi saat ini dalam keadaan darurat peradaban hukum. "Presiden harus turun tangan menegakkan kembali peradaban hukum di Indonesia," kata Otto.
Hartanto mengatakan, Presiden harus melakukan diskresi dalam upayanya menegakkan peradaban hukum. "Dalam seminar ini kami akan memberikan rekomendasi dan masukan kepada presiden tentang diskresi ini," kata Hartanto.
Sementara itu, Rektor Unkris Ayub Muktiono mengajak sivitas akademika mengembangkan paradigma kritis guna memajukan pendidikan, termasuk permasalahan di bidang hukum. Ia menyebut sejumlah persoalan hukum yang terjadi di Indonesia.
"Pengacara banyak yang dipidana, polisi juga yang melanggar hukum. Polisi Bintang tapi terlibat narkoba. Waketum KPK juga mundur, Kejagung OTT KPK. Dan yang amat merontokkan martabat hukum dengan ditetapkan hakim agung sebagai tersangka," kata Ayub.
Menurut Ayub, Unkris setuju peradaban hukum dalam kondisi darurat. "Bagaimana reformasi hukum, apakah harus ada UU dulu baru reformasi. Seminar ini mencoba memberikan masukan kepada presiden untuk selamatkan bangsa dan negara," kata Ayub.
(abd)