Menimbang Pilkada di Era New Normal
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta
SETELAH melalui dinamika politik yang melelahkan, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, akhirnya sepakat menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Meski banyak kritik karena kurva pandemi korona belum landai, tapi ritual lima tahunan itu diputuskan tetap diselenggarakan serentak. Sepertinya tak ada lagi ruang bernegoisasi untuk menunda atau memundurkan pilkada yang bakal dilaksanakan di 270 wilayah itu.
Layar sudah terkembang, pantang surut ke belakang. Begitulah kira-kira filsafat politik pilkada di era new normal. Satu fase kehidupan baru dalam menghadapi pandemi virus korona. Tak ada pilihan lain kecuali menerima kebijakan itu sebagai keniscayaan politik terbaik. Memang sulit mencari solusi pilkada di tengah wabah. Selama vaksin virus belum ditemukan, selama itu pula pilkada terjebak dalam kubangan ketidakpastian. Karenanya, pilihan melanjutkan pilkada serentak mesti dimaknai sebagai ikhtiar win-win solution. Satu sisi diniatkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di level daerah, tapi di sisi lainnya, kesehatan masyarakat mesti prioritas dengan protokol kesehatan saat pencoblosan.
Meski begitu, dalam politik tak ada keputusan hitam putih yang abadi. Segala sesuatu serba mungkin bisa berubah setiap saat. Apalagi jika kurva korona terus membumbung tinggi, tentu perlu evaluasi akademik terukur untuk melanjutkan pilkada serentak atau tidak. Sebab, di setiap daerah lonjakan pandeminya variatif. Di daerah yang laju pandeminya menurun layak dilaksanakan pilkada. Sementara itu, daerah yang masih meratap zona merah perlu ditinjau ulang. Misalnya, diundur ke Maret 2021 tahun depan. Toh, ada klausul regulasi yang mengatur mundurnya pilkada. Cukup berisiko jika pilkada serentak dipaksakan di wilayah yang wabahnya terus melambung.
Dalam konteks inilah sepertinya pemerintah, anggota dewan, dan penyelenggara pemilu, perlu menimbang ulang pelaksanaan pilkada serentak di era new normal yang kurva pandeminya tak kunjung landai. Setidaknya memilah dan memetakan wilayah mana saja yang masuk kategori lanjut atau diundur. Ini penting dilakukan sebagai upaya mencari solusi terbaik. Misalnya, daerah zona hijau boleh lanjut, sedangkan zona merah pilkada ditunda tahun depan.
Keharusan Inovasi
Andai pilkada serentak tetap lanjut di 270 daerah atau hanya di sebagian wilayah, tetap saja pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu inovasi tambahan untuk menjaga kualitas pilkada. Karena cukup potensial terjadi hambatan, baik dari segi substansi maupun teknis. Dalam kondisi normal saja politik elektoral daerah kerap menyimpan sejuta catatan kritis. Apalagi pilkada di tengah pandemi, tentu bakal dihantui begitu banyak kesulitan yang mungkin bisa merusak kredibilitas demokrasi.
Banyak hal perlu inovasi baru. Pertama, soal model kampanye. Setelah kampanye akbar dilarang, tentu harus ada medium lain yang disiapkan untuk menyampaikan gagasan kandidat. Penyelenggara maupun kontestan perlu berpikir keras memeras otak. Misalnya, metode kampanye melalui media sosial diutamakan meski tak semua daerah terpapar teknologi informasi. Atau metode door to door campaign dengan meminimalisasikan risiko penularan virus melalui alat pelindung diri.
Jika tak ada kreativitas merekayasa model kampanye, bisa dipastikan kualitas demokrasi buruk karena visi-misi kandidat tak akan sampai kepada pemilih (voter). Lalu apa yang akan menjadi preferensi pilihan politik jika pemilih tak kenal visi besar kandidat. Tentu semua pihak tak mau pilkada sebatas seremonial. Ritus tak bermakna. Kering substansi karena yang terjadi sebatas mobilisasi artifisial bukan partisipasi politik yang sehat.
Kedua, memperbanyak tempat pemungutan suara (TPS) untuk mengurangi penumpukan massa. Jika selama ini ada opsi maksimal satu TPS berkapasitas 500 orang, di pilkada nanti setiap TPS maksimal 250 hingga 300 orang. Atau berupaya memperpanjang waktu pencoblosan mulai dari pagi hingga jelang petang menghindari kerumunan. Rekayasa semacam ini penting untuk mengamputasi sebaran korana yang kian agresif. Tak mudah memang, tapi inovasi baru perlu dilakukan jika pilkada tetap diselenggarakan di era new normal yang pandemi koronanya belum usai.
Jangan pernah melakukan perjudian. Karena menyangkut nyawa dan keselamatan warga. Jangan cuma karena urusan politik elektoral. protokol kesehatan pemilih diabaikan. Apa pun harus dilakukan untuk memangkas sebaran korona. Masih banyak inovasi lain yang masih bisa dilakukan demi merawat kualitas pilkada serta menjaga kesehatan pemilih. Misalnya, masa kampanye diringkus menjadi 30 atau 40 hari saja, yang penting bisa menggairahkan pemilih.
Masih Ada Harapan
Di tengah kesulitan pasti terselip sebuah harapan. Menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi bukan perkara mudah. Butuh tekad, keseriusan, dan ‘manuver tak biasa’ untuk tetap menjaga keadaban berdemokrasi. Inilah ujian sesungguhnya bangsa saat ini. Segala daya upaya ditantang untuk bisa mewujudkan perhelatan pilkada berkualitas di masa wabah korona. Kekuatan intelektual serta kreativitas ilmu pengetahuan dipaksa melahirkan inovasi baru dalam merekayasa pilkada serentak kali ini.
Semua pihak paham, memaksakan pilkada serentak di tengah pandemi korona bukan sebatas regenerasi kepemimpinan daerah, tapi melainkan juga sebagai upaya menstimulasi ekonomi yang luluh lantak akibat terpaan badai korona. Roda ekonomi dipastikan kembali berdenyut saat pilkada. Kandidat, tim sukses, serta partai politik tentu mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka untuk memenangkan pertarungan meski harus berjibaku dengan wabah.
Istilah new normal sebenarnya mengacu pada pelonggaran aktivitas di bidang ekonomi. Pilkada sebagai medium politik elektoral yang diyakini sebagai salah satu instrumen untuk bisa menggerakkan kembali roda ekonomi daerah setelah sekian purnama dihantam prahara korona. Kandidat pasti belanja aksesori kampanye, memobilisasi tim sukses, dan sosialisasi lewat ‘serangan udara dan darat’, membutuhkan cadangan logistik yang tak sedikit. Aktivitas ekonomi pilkada semacam ini setidaknya menyasar pelaku usaha kelas ekonomi menengah, usia produktif yang bisa bekerja politik, dan seterusnya.
Tentu suasa kebatinan politik campur aduk. Antara kehendak baik melanjutkan estafet kepemimpinan, menggairahkan kembali roda ekonomi, hingga pertaruhan keselamatan warga. Karena itu, harapan paling mungkin bisa digelayutkan ialah memilih wilayah paling mungkin atau tidak menyelenggarakan pilkada serentak. Semua wilayah tak bisa digeneralisasikan kondisi pandeminya. Ada yang mulai melandai, zona hijau, dan tetap merah.
Ibarat pepatah bijak, sekali dayung tiga pulau terlampaui. Regenerasi politik jalan terus, sektor ekonomi kembali berdenyut, dan kesehatan masyarakat terjamin. Kuncinya cuma satu, yakni menimbang ulang pilkada yang didasarkan pada kategorisasi daerah berbasis sebaran korona. Zona hijau bisa melaksanakan pilkada, sedangkan zona merah bisa mundur tahun depan. Ini namanya ikhtiar mencari titik keseimbangan baru dalam pelaksanaan pilkada. Semoga!
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta
SETELAH melalui dinamika politik yang melelahkan, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, akhirnya sepakat menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Meski banyak kritik karena kurva pandemi korona belum landai, tapi ritual lima tahunan itu diputuskan tetap diselenggarakan serentak. Sepertinya tak ada lagi ruang bernegoisasi untuk menunda atau memundurkan pilkada yang bakal dilaksanakan di 270 wilayah itu.
Layar sudah terkembang, pantang surut ke belakang. Begitulah kira-kira filsafat politik pilkada di era new normal. Satu fase kehidupan baru dalam menghadapi pandemi virus korona. Tak ada pilihan lain kecuali menerima kebijakan itu sebagai keniscayaan politik terbaik. Memang sulit mencari solusi pilkada di tengah wabah. Selama vaksin virus belum ditemukan, selama itu pula pilkada terjebak dalam kubangan ketidakpastian. Karenanya, pilihan melanjutkan pilkada serentak mesti dimaknai sebagai ikhtiar win-win solution. Satu sisi diniatkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di level daerah, tapi di sisi lainnya, kesehatan masyarakat mesti prioritas dengan protokol kesehatan saat pencoblosan.
Meski begitu, dalam politik tak ada keputusan hitam putih yang abadi. Segala sesuatu serba mungkin bisa berubah setiap saat. Apalagi jika kurva korona terus membumbung tinggi, tentu perlu evaluasi akademik terukur untuk melanjutkan pilkada serentak atau tidak. Sebab, di setiap daerah lonjakan pandeminya variatif. Di daerah yang laju pandeminya menurun layak dilaksanakan pilkada. Sementara itu, daerah yang masih meratap zona merah perlu ditinjau ulang. Misalnya, diundur ke Maret 2021 tahun depan. Toh, ada klausul regulasi yang mengatur mundurnya pilkada. Cukup berisiko jika pilkada serentak dipaksakan di wilayah yang wabahnya terus melambung.
Dalam konteks inilah sepertinya pemerintah, anggota dewan, dan penyelenggara pemilu, perlu menimbang ulang pelaksanaan pilkada serentak di era new normal yang kurva pandeminya tak kunjung landai. Setidaknya memilah dan memetakan wilayah mana saja yang masuk kategori lanjut atau diundur. Ini penting dilakukan sebagai upaya mencari solusi terbaik. Misalnya, daerah zona hijau boleh lanjut, sedangkan zona merah pilkada ditunda tahun depan.
Keharusan Inovasi
Andai pilkada serentak tetap lanjut di 270 daerah atau hanya di sebagian wilayah, tetap saja pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu inovasi tambahan untuk menjaga kualitas pilkada. Karena cukup potensial terjadi hambatan, baik dari segi substansi maupun teknis. Dalam kondisi normal saja politik elektoral daerah kerap menyimpan sejuta catatan kritis. Apalagi pilkada di tengah pandemi, tentu bakal dihantui begitu banyak kesulitan yang mungkin bisa merusak kredibilitas demokrasi.
Banyak hal perlu inovasi baru. Pertama, soal model kampanye. Setelah kampanye akbar dilarang, tentu harus ada medium lain yang disiapkan untuk menyampaikan gagasan kandidat. Penyelenggara maupun kontestan perlu berpikir keras memeras otak. Misalnya, metode kampanye melalui media sosial diutamakan meski tak semua daerah terpapar teknologi informasi. Atau metode door to door campaign dengan meminimalisasikan risiko penularan virus melalui alat pelindung diri.
Jika tak ada kreativitas merekayasa model kampanye, bisa dipastikan kualitas demokrasi buruk karena visi-misi kandidat tak akan sampai kepada pemilih (voter). Lalu apa yang akan menjadi preferensi pilihan politik jika pemilih tak kenal visi besar kandidat. Tentu semua pihak tak mau pilkada sebatas seremonial. Ritus tak bermakna. Kering substansi karena yang terjadi sebatas mobilisasi artifisial bukan partisipasi politik yang sehat.
Kedua, memperbanyak tempat pemungutan suara (TPS) untuk mengurangi penumpukan massa. Jika selama ini ada opsi maksimal satu TPS berkapasitas 500 orang, di pilkada nanti setiap TPS maksimal 250 hingga 300 orang. Atau berupaya memperpanjang waktu pencoblosan mulai dari pagi hingga jelang petang menghindari kerumunan. Rekayasa semacam ini penting untuk mengamputasi sebaran korana yang kian agresif. Tak mudah memang, tapi inovasi baru perlu dilakukan jika pilkada tetap diselenggarakan di era new normal yang pandemi koronanya belum usai.
Jangan pernah melakukan perjudian. Karena menyangkut nyawa dan keselamatan warga. Jangan cuma karena urusan politik elektoral. protokol kesehatan pemilih diabaikan. Apa pun harus dilakukan untuk memangkas sebaran korona. Masih banyak inovasi lain yang masih bisa dilakukan demi merawat kualitas pilkada serta menjaga kesehatan pemilih. Misalnya, masa kampanye diringkus menjadi 30 atau 40 hari saja, yang penting bisa menggairahkan pemilih.
Masih Ada Harapan
Di tengah kesulitan pasti terselip sebuah harapan. Menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi bukan perkara mudah. Butuh tekad, keseriusan, dan ‘manuver tak biasa’ untuk tetap menjaga keadaban berdemokrasi. Inilah ujian sesungguhnya bangsa saat ini. Segala daya upaya ditantang untuk bisa mewujudkan perhelatan pilkada berkualitas di masa wabah korona. Kekuatan intelektual serta kreativitas ilmu pengetahuan dipaksa melahirkan inovasi baru dalam merekayasa pilkada serentak kali ini.
Semua pihak paham, memaksakan pilkada serentak di tengah pandemi korona bukan sebatas regenerasi kepemimpinan daerah, tapi melainkan juga sebagai upaya menstimulasi ekonomi yang luluh lantak akibat terpaan badai korona. Roda ekonomi dipastikan kembali berdenyut saat pilkada. Kandidat, tim sukses, serta partai politik tentu mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka untuk memenangkan pertarungan meski harus berjibaku dengan wabah.
Istilah new normal sebenarnya mengacu pada pelonggaran aktivitas di bidang ekonomi. Pilkada sebagai medium politik elektoral yang diyakini sebagai salah satu instrumen untuk bisa menggerakkan kembali roda ekonomi daerah setelah sekian purnama dihantam prahara korona. Kandidat pasti belanja aksesori kampanye, memobilisasi tim sukses, dan sosialisasi lewat ‘serangan udara dan darat’, membutuhkan cadangan logistik yang tak sedikit. Aktivitas ekonomi pilkada semacam ini setidaknya menyasar pelaku usaha kelas ekonomi menengah, usia produktif yang bisa bekerja politik, dan seterusnya.
Tentu suasa kebatinan politik campur aduk. Antara kehendak baik melanjutkan estafet kepemimpinan, menggairahkan kembali roda ekonomi, hingga pertaruhan keselamatan warga. Karena itu, harapan paling mungkin bisa digelayutkan ialah memilih wilayah paling mungkin atau tidak menyelenggarakan pilkada serentak. Semua wilayah tak bisa digeneralisasikan kondisi pandeminya. Ada yang mulai melandai, zona hijau, dan tetap merah.
Ibarat pepatah bijak, sekali dayung tiga pulau terlampaui. Regenerasi politik jalan terus, sektor ekonomi kembali berdenyut, dan kesehatan masyarakat terjamin. Kuncinya cuma satu, yakni menimbang ulang pilkada yang didasarkan pada kategorisasi daerah berbasis sebaran korona. Zona hijau bisa melaksanakan pilkada, sedangkan zona merah bisa mundur tahun depan. Ini namanya ikhtiar mencari titik keseimbangan baru dalam pelaksanaan pilkada. Semoga!
(ras)