Kagetnya Rudini Jenderal Lulusan Belanda Ditunjuk Soeharto Jadi KSAD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kaget dan tidak percaya, itulah yang dirasakan Rudini jenderal lulusan Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda ketika ditunjuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat ( KSAD ) pada 1983. Betapa tidak, Rudini lebih muda dari tiga jenderal yang ketika itu dinilai punya peluang besar untuk menggantikan KSAD Jenderal Poniman.
Ketiga jenderal senior dengan karier militer cemerlang itu adalah Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Sudarman, dan Himawan Soesanto. Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf mengungkapkan bahwa nama Rudini keluar langsung dari mulut Presiden Soeharto.
Tugasnya hanya memanggil mantan Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders itu untuk menghadap ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Saat itu, Rudini benar-benar tak tahu untuk apa dirinya dipanggil Panglima.
Mayjen Rudini yang saat itu menjabat Pangkostrad berdebar menunggu perintah Jenderal Jusuf. Betapa terkejutnya ketika diberitahu telah ditunjuk sebagai KSAD atau Kasad.
“Kamu nanti menggantikan Poniman sebagai Kasad. Pelantikan oleh Presiden akan dilakukan dua hari lagi di Istana Negara,” kata Jusuf dalam buku biografi berjudul “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” yang ditulis Atmadji Sumarkidjo.
“Siap, Pak,” jawab singkat Rudini di tengah rasa terkejut dan tidak percayanya.
Rudini menjabat KSAD periode 1983-1986. Semula Jusuf ingin penerus Poniman berasal dari dari perwira terbaik lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta.
Dari tiga nama yang muncul ketika itu, Himawan Soesanto cukup kuat terdengar. Maklum, jenderal tempur asal Jawa Timur ini punya reputasi mentereng. Saat berpangkat mayor, Himawan memimpin Batalyon 330/Kujang dari Kodam Siliwangi yang diterjunkan ke Sulawesi Selatan.
Himawan dan pasukannya berhasil menghancurkan kekuatan pemberontak Andi Selle di Pinrang. Dia pula yang turut menyelamatkan nyawa M Jusuf dari berondongan tembakan anak buah Andi Selle di Pinrang, Sulawesi Selatan.
Jusuf yang saat itu Pangdam Hasanuddin nyaris direnggut maut usai perundingan damai dengan Selle gagal dan berujung baku tembak. Namun faktanya tiga jenderal tersebut tak satu pun melaju sebagai orang nomor satu AD.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto” mengisahkan, rencana pergantian Poniman sebelumnya juga didengar Ibu Negara, Tien Soeharto.
Dalam sebuah makan malam di Jalan Cendana, Bu Tien berharap Pangdam Udayana Mayjen Dading Kalbuadi yang akan menjabat KSAD. Dia mengutarakan hal itu kepada Pak Harto atau Soeharto.
“Itu lho Pak, sing apik iku (yang bagus itu) Pangdam Bali Pak Dading. Tinggi, gagah dan ganteng Pak. Cocok itu, sebaiknya dia yang jadi Kasad Pak,” ujar Bu Tien, ditirukan Prabowo.
Makan malam keluarga itu memang hanya tiga orang. Soeharto, Tien, dan Prabowo. Soeharto hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya. Pada makan malam berikutnya Bu Tien kembali menanyakan hal sama.
Dia kembali berharap Dading Kalbuadi yang dipilih. Sama seperti sebelumnya, Pak Harto hanya tersenyum. “Masih digodok,” ujar Presiden kelahiran Kemusuk, DIY itu.
Beberapa hari setelahnya, media massa ramai memberitakan KSAD telah terpilih. Sosok itu tak lain Rudini. Dalam sebuah makan malam yang kembali dihadiri Prabowo, Bu Tien tampak kecewa. “Bapak (Soeharto) itu enggak mau dengar saran Ibu,” kata Bu Tien pada Prabowo.
Profil Jenderal TNI Rudini
Pria kelahiran Malang pada 15 Desember 1929 ini sempat kuliah di Jakarta. Orang tuanya menginginkannya menjadi seorang dokter. Namun, Rudini sesungguhnya sangat ingin menjadi tentara.
Rudini sempat tidak diterima saat mendaftar sebagai prajurit TNI AU lantaran tinggi badannya tak memenuhi syarat. Pada Agustus 1951, Rudini mendengar TNI AD membuka pendaftaran untuk pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda.
Impian menjadi tentara pun akhirnya diwujudkannya. Pada masa pendidikan itu, dia sempat masuk korps perhubungan, meski kemudian dipindah ke infanteri.
Berbagai penugasan dijalaninya ketika kembali ke Indonesia. Rekam jejak militernya banyak dihabiskan di Korps Baret Hijau Kostrad. Di masa-masa awal kariernya, dia terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Lulus dari Kursus Lanjutan Perwira di Bandung, dia dipercaya sebagai Komandan Batalyon (Danyon) 401/Banteng Raiders. Kemudian pada 1968, batalyon ini menjadi satuan organik Kostrad.
Rudini juga pernah menjabat Kepala Staf dan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad, Kepala Staf dan Panglima Komando Tempur Lintas Udara, Kas Kostrad, dan Pangdam XIII/Merdeka. Kariernya makin bersinar dengan dipercaya sebagai orang nomor satu di Pasukan Cakra alias Pangkostrad, jabatan strategis yang pernah dipegang Soeharto.
Rekam jejak cemerlang inilah yang membawanya sebagai KSAD. Selepas dari militer, Rudini menjabat sebagai menteri dalam negeri. Setelahnya dia menjadi ketua Lembaga Pemilihan Umum (kini KPU). Rudini meninggal dunia pada 21 Januari 2006 di Jakarta.
Ketiga jenderal senior dengan karier militer cemerlang itu adalah Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Sudarman, dan Himawan Soesanto. Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf mengungkapkan bahwa nama Rudini keluar langsung dari mulut Presiden Soeharto.
Tugasnya hanya memanggil mantan Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders itu untuk menghadap ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Saat itu, Rudini benar-benar tak tahu untuk apa dirinya dipanggil Panglima.
Mayjen Rudini yang saat itu menjabat Pangkostrad berdebar menunggu perintah Jenderal Jusuf. Betapa terkejutnya ketika diberitahu telah ditunjuk sebagai KSAD atau Kasad.
“Kamu nanti menggantikan Poniman sebagai Kasad. Pelantikan oleh Presiden akan dilakukan dua hari lagi di Istana Negara,” kata Jusuf dalam buku biografi berjudul “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” yang ditulis Atmadji Sumarkidjo.
“Siap, Pak,” jawab singkat Rudini di tengah rasa terkejut dan tidak percayanya.
Rudini menjabat KSAD periode 1983-1986. Semula Jusuf ingin penerus Poniman berasal dari dari perwira terbaik lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta.
Dari tiga nama yang muncul ketika itu, Himawan Soesanto cukup kuat terdengar. Maklum, jenderal tempur asal Jawa Timur ini punya reputasi mentereng. Saat berpangkat mayor, Himawan memimpin Batalyon 330/Kujang dari Kodam Siliwangi yang diterjunkan ke Sulawesi Selatan.
Himawan dan pasukannya berhasil menghancurkan kekuatan pemberontak Andi Selle di Pinrang. Dia pula yang turut menyelamatkan nyawa M Jusuf dari berondongan tembakan anak buah Andi Selle di Pinrang, Sulawesi Selatan.
Jusuf yang saat itu Pangdam Hasanuddin nyaris direnggut maut usai perundingan damai dengan Selle gagal dan berujung baku tembak. Namun faktanya tiga jenderal tersebut tak satu pun melaju sebagai orang nomor satu AD.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto” mengisahkan, rencana pergantian Poniman sebelumnya juga didengar Ibu Negara, Tien Soeharto.
Dalam sebuah makan malam di Jalan Cendana, Bu Tien berharap Pangdam Udayana Mayjen Dading Kalbuadi yang akan menjabat KSAD. Dia mengutarakan hal itu kepada Pak Harto atau Soeharto.
“Itu lho Pak, sing apik iku (yang bagus itu) Pangdam Bali Pak Dading. Tinggi, gagah dan ganteng Pak. Cocok itu, sebaiknya dia yang jadi Kasad Pak,” ujar Bu Tien, ditirukan Prabowo.
Makan malam keluarga itu memang hanya tiga orang. Soeharto, Tien, dan Prabowo. Soeharto hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya. Pada makan malam berikutnya Bu Tien kembali menanyakan hal sama.
Dia kembali berharap Dading Kalbuadi yang dipilih. Sama seperti sebelumnya, Pak Harto hanya tersenyum. “Masih digodok,” ujar Presiden kelahiran Kemusuk, DIY itu.
Beberapa hari setelahnya, media massa ramai memberitakan KSAD telah terpilih. Sosok itu tak lain Rudini. Dalam sebuah makan malam yang kembali dihadiri Prabowo, Bu Tien tampak kecewa. “Bapak (Soeharto) itu enggak mau dengar saran Ibu,” kata Bu Tien pada Prabowo.
Profil Jenderal TNI Rudini
Pria kelahiran Malang pada 15 Desember 1929 ini sempat kuliah di Jakarta. Orang tuanya menginginkannya menjadi seorang dokter. Namun, Rudini sesungguhnya sangat ingin menjadi tentara.
Rudini sempat tidak diterima saat mendaftar sebagai prajurit TNI AU lantaran tinggi badannya tak memenuhi syarat. Pada Agustus 1951, Rudini mendengar TNI AD membuka pendaftaran untuk pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda.
Impian menjadi tentara pun akhirnya diwujudkannya. Pada masa pendidikan itu, dia sempat masuk korps perhubungan, meski kemudian dipindah ke infanteri.
Berbagai penugasan dijalaninya ketika kembali ke Indonesia. Rekam jejak militernya banyak dihabiskan di Korps Baret Hijau Kostrad. Di masa-masa awal kariernya, dia terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Lulus dari Kursus Lanjutan Perwira di Bandung, dia dipercaya sebagai Komandan Batalyon (Danyon) 401/Banteng Raiders. Kemudian pada 1968, batalyon ini menjadi satuan organik Kostrad.
Rudini juga pernah menjabat Kepala Staf dan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad, Kepala Staf dan Panglima Komando Tempur Lintas Udara, Kas Kostrad, dan Pangdam XIII/Merdeka. Kariernya makin bersinar dengan dipercaya sebagai orang nomor satu di Pasukan Cakra alias Pangkostrad, jabatan strategis yang pernah dipegang Soeharto.
Rekam jejak cemerlang inilah yang membawanya sebagai KSAD. Selepas dari militer, Rudini menjabat sebagai menteri dalam negeri. Setelahnya dia menjadi ketua Lembaga Pemilihan Umum (kini KPU). Rudini meninggal dunia pada 21 Januari 2006 di Jakarta.
(rca)