Alat Pendeteksi Kebohongan; Pseudosains atau Plasebo?
loading...
A
A
A
Iqbal Mochtar
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Koordinator Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) Wilayah Timur Tengah dan Afrika
NAMA alat ini keren: pendeteksi kebohongan atau lie detector. Nama sebenarnya adalah polygraph; arti harfiahnya banyak grafik. Entah mengapa berubah menjadi lie detector.
Alat ini, katanya, mampu mendeteksi apakah seseorang berbohong atau tidak. Jadilah alat ini terkenal dan marak digunakan. Di Amerika, polisi biasa menggunakan alat ini untuk menginterogasi tersangka kejahatan.
Bukan hanya itu, beberapa institusi juga menggunakan alat ini saat skrining penerimaan staf baru. Di Indonesia, alat ini kadang digunakan polisi. Baru-baru ini, beberapa orang yang diduga terlibat mega-kasus Ferdi Sambo dites dengan alat ini.
Alat ini sebenarnya lebih tepat disebut psycho-physiological equipment. Ada komponen psikologinya, ada juga fisiologisnya. Konsep kerja alat ini sebenarnya sederhana. Ia mengukur beberapa elemen fisiologis manusia, seperti tekanan darah, denyut jantung, irama pernapasan dan kulit, sambil ditanyakan pertanyaan tertentu.
Prinsip mekanismenya, bila orang berbohong, maka saat menjawab pertanyaan akan terjadi perubahan elemen fisiologis, yaitu denyut jantung makin cepat, pernapasan makin cepat, tekanan darah meninggi dan kulit dingin dan berkeringat. Kalau tidak berbohong, tidak ada deviasi elemen fisiologis. Itu basisnya, katanya.
Faktanya, hipotesis hubungan psiko-fisiologis yang menjadi basis alat ini ternyata masih sangat meragukan; bahkan ada yang menganggapnya ambiguous concept.
Sebagian masyarakat sangat percaya bahwa orang berbohong akan mengalami gangguan perilaku saat diinterogasi; menghindari tatapan, melakukan gerakan tangan dan kaki berlebihan serta terus mengubah postur tubuh. Ada juga konsep facial micro-expression yang digagas Paul Ekman yang mengatakan orang berbohong akan memperlihatkan beragam perubahan mimik wajah.
Tapi semua itu kepercayaan masyarakat. Fakta sainsnya ternyata berbeda. Para ahli justru berargumen bahwa hingga saat ini belum ada bukti kuat keterkaitan aspek psikologis dan fisiologis saat orang berbohong. Beberapa dekade penelitian di bidang ini justru membuktikan bahwa tidak ada non-verbal signs yang bisa mengindikasikan seseorang berbohong atau tidak.
Kasarnya, tidak ada conclusive finding terkait psikologis berbohong. Dalam sebuah penelitian substansial yang menggunakan lebih dari 1.000 referensi, Vrij dkk berkesimpulan bahwa konsep non-verbal signs akibat berbohong sebenarnya faint and unreliable. Meragukan dan tidak dapat dipercaya.
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Koordinator Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) Wilayah Timur Tengah dan Afrika
NAMA alat ini keren: pendeteksi kebohongan atau lie detector. Nama sebenarnya adalah polygraph; arti harfiahnya banyak grafik. Entah mengapa berubah menjadi lie detector.
Alat ini, katanya, mampu mendeteksi apakah seseorang berbohong atau tidak. Jadilah alat ini terkenal dan marak digunakan. Di Amerika, polisi biasa menggunakan alat ini untuk menginterogasi tersangka kejahatan.
Bukan hanya itu, beberapa institusi juga menggunakan alat ini saat skrining penerimaan staf baru. Di Indonesia, alat ini kadang digunakan polisi. Baru-baru ini, beberapa orang yang diduga terlibat mega-kasus Ferdi Sambo dites dengan alat ini.
Alat ini sebenarnya lebih tepat disebut psycho-physiological equipment. Ada komponen psikologinya, ada juga fisiologisnya. Konsep kerja alat ini sebenarnya sederhana. Ia mengukur beberapa elemen fisiologis manusia, seperti tekanan darah, denyut jantung, irama pernapasan dan kulit, sambil ditanyakan pertanyaan tertentu.
Prinsip mekanismenya, bila orang berbohong, maka saat menjawab pertanyaan akan terjadi perubahan elemen fisiologis, yaitu denyut jantung makin cepat, pernapasan makin cepat, tekanan darah meninggi dan kulit dingin dan berkeringat. Kalau tidak berbohong, tidak ada deviasi elemen fisiologis. Itu basisnya, katanya.
Faktanya, hipotesis hubungan psiko-fisiologis yang menjadi basis alat ini ternyata masih sangat meragukan; bahkan ada yang menganggapnya ambiguous concept.
Sebagian masyarakat sangat percaya bahwa orang berbohong akan mengalami gangguan perilaku saat diinterogasi; menghindari tatapan, melakukan gerakan tangan dan kaki berlebihan serta terus mengubah postur tubuh. Ada juga konsep facial micro-expression yang digagas Paul Ekman yang mengatakan orang berbohong akan memperlihatkan beragam perubahan mimik wajah.
Tapi semua itu kepercayaan masyarakat. Fakta sainsnya ternyata berbeda. Para ahli justru berargumen bahwa hingga saat ini belum ada bukti kuat keterkaitan aspek psikologis dan fisiologis saat orang berbohong. Beberapa dekade penelitian di bidang ini justru membuktikan bahwa tidak ada non-verbal signs yang bisa mengindikasikan seseorang berbohong atau tidak.
Kasarnya, tidak ada conclusive finding terkait psikologis berbohong. Dalam sebuah penelitian substansial yang menggunakan lebih dari 1.000 referensi, Vrij dkk berkesimpulan bahwa konsep non-verbal signs akibat berbohong sebenarnya faint and unreliable. Meragukan dan tidak dapat dipercaya.