PBHI Sebut 7.000 Pengungsi dari Afganistan Berada di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyebut, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan sementara bagi pengungsi Afganistan yang menyelamatkan diri dari perang. Mereka biasanya menanti kesempatan untuk bisa masuk ke Australia atau negara Barat lainnya.
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan, situasi Indonesia yang dibanjiri pengungsi Afganistan sama halnya seperti Turki yang kebanjiran pengungsi konflik di Irak, Afganistan, dan Afrika yang ingin ke negara Uni Eropa. “Negara kita ini seperti tembok penahan bagi Australia sebagai tujuan akhir pengungsi yang datang dari Afganistan, dan daerah konflik sekitarnya yang bermaksud menyeberang ke Australia,” kata Julius, Senin (13/9/2022).
Berdasarkan data UNHCR hingga Juni 2021 tercatat ada 7.000-an pengungsi Afganistan di Indonesia. Sebagian lagi sudah berhasil menyeberang ke Australia pada masa awal Perang Afganistan pada 2001.
“Pekan ini Badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) mengadakan pertemuan di Markas Besar di Jenewa, Swiss. Keberadaan belasan ribu pengungsi yang didominasi pengungsi Afganistan di Indonesia masih menjadi persoalan dan belum ada jalan keluarnya,” katanya.
Menurut Julius, dengan alasan kemanusiaan pemerintah Indonesia menerima para pengungsi dari Afganistan. Padahal, Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB 1951 tentang status pengungsi, maupun protokol 1967. Oleh sebab itu, Indonesia tidak punya kewenangan menetapkan status pengungsi, apalagi menerimanya. Maka Indonesia berpatokan kepada UU Keimigrasian, di mana pengungsi masuk kategori orang yang masuk secara ilegal dan tidak diinginkan berada di Indonesia.
”Saat ini, masih ada puluhan ribu pengungsi Afganistan di Malaysia dan Indonesia serta Papua Nugini. Potensi banjir pengungsi Afganistan ke Asia Tenggara masih mungkin terjadi mengingat kemiskinan dan kekacauan di Afganistan setelah Pemerintahan Taliban berkuasa awal 2022,” katanya.
Julius menegaskan, penanganan pengungsi harus dijalankan dengan cepat untuk mendapatkan kepastian status dan negara penempatan. Penantian bertahun-tahun yang menimpa ribuan pengungsi Afganistan adalah bencana kemanusiaan yang seharusnya jadi pertimbangan Australia dan negara-negara barat yang menjunjung tinggi nilai HAM dan kemanusiaan. Di saat sama dunia barat juga begitu memperhatikan jutaan pengungsi Ukraina yang mencari selamat di Eropa Barat.
Selain di Indonesia, pengungsi Afganistan juga tersebar di Papua Nugini. Sebagian dari mereka sudah sempat masuk wilayah Australia, sebelum dipindahkan ke Kamp Pengungsi di Papua Nugini. Menurut Julius, Australia awalnya bersedia para pengungsi Afganistan, namun sejak Juli 2013, siapa pun yang hendak masuk ke Australia menggunakan perahu untuk mencari suaka akan dikirim ke kamp penampungan bernama Kamp Manus atau Pulau Manus.
“Kamp ini terletak di negara tetangga, Papua Nugini bukan di Australia. Sebelumnya sempat para pengungsi ditampung di Pulau Christmas di selatan Sukabumi, Jawa Barat,” ucapnya.
Kamp Manus yang juga disebut Manus Regional Processing Centre, awalnya ditujukan untuk para imigran gelap yang mencoba masuk ke Australia. Sempat ditutup pada 2008 lalu, namun di 2012 kembali dibuka. Sejak itu pula, terutama oleh pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd digunakan untuk menampung para pengungsi atau pencari suaka.
”Saat itu PM Kevin Rudd menyatakan mereka yang tiba dengan perahu tidak akan pernah bisa menetap di Australia. Hal ini kembali ditegaskan oleh pemerintahan Perdana Menteri Australia Tony Abbot yang menyatakan pencari suaka yang datang dengan perahu tidak akan pernah direlokasi di Australia,” paparnya.
Sejak saat itulah banyak pencari suaka yang tiba dengan perahu di pesisir Australia, langsung dipindahkan ke Kamp Pulau Manus. Potensi konflik sudah bisa terbaca. Pasalnya, para penghuni dengan berbagai latar belakang budaya, ideologi dan politik disatukan dalam satu tempat. Perselisihan demi perselisihan terjadi. Puncaknya, Februari 2014 terjadi kerusuhan di kamp Pulau Manus.
“Akibatnya, salah seorang pengungsi dari Iran, Reza Berati tewas akibat penganiayaan oleh petugas. Sementara, puluhan pengungsi lainnya luka-luka,” kata dia.
Sekretaris Jaksa Agung Australia, Robert Cornall menyebut, kerusuhan terjadi dikarenakan memuncaknya rasa frustasi dan kemarahan para pengungsi karena permohonan mereka yang tidak pernah ada kejelasan. Kekerasan fisik, aksi mogok makan, menjahit mulut, kerusuhan dengan penduduk setempat mewarnai penderitaan pengungsi di Kamp Pulau Manus.
”Behrouz Boochani salah seorang pengungsi asal Iran mengatakan kondisi mengenaskan di kamp pengungsi Pulau Manus bukanlah barang baru. Semuanya sudah terjadi begitu lama dan tidak ada perubahan yang nyata,” katanya.
Menurut Behrouz, kata Julius, para pengungsi tidak mendapat kejelasan tentang status mereka yang digantung bertahun-tahun. Bahkan saat mengosongkan kamp pengungsi Pulau Manus, para pengungsi mendapat tindak kekerasan.
”Bersama Janet Galbraith, Behrouz Boochani menulis satu artikel yang menyoroti kasus petenis kelas dunia, Novak Djokovic yang saat itu ditahan oleh imigrasi Australia karena tidak divaksin Covid19, sebagai persyaratan untuk mengikuti turnamen Autralia Open. Novak Djokovic ditahan di Park Hotel, tempat yang sama di mana 32 pengungsi menunggu giliran untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan,” katanya.
Behrouz menekankan betapa beruntungnya Novak yang punya hak dalam hukum, terwakilkan haknya, dan bisa mendapat kepastian hukum dalam waktu yang singkat. Sementara, para pengungsi yang kebetulan satu hotel dengannya, sudah bertahun-tahun terkatung-katung tanpa kejelasan nasib.
”Behrouz, yang menulis memoir tentang pengalamannya di kamp Manus, berjudul No Friend But The Mountain, akhirnya bisa keluar dari Kamp Pulau Manus, bermukim di Selandia Baru setelah melalui proses panjang dan dibantu oleh aktivis, jurnalis, dan pemerhati sosial di Selandia Baru dan juga Australia,” ucapnya.
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan, situasi Indonesia yang dibanjiri pengungsi Afganistan sama halnya seperti Turki yang kebanjiran pengungsi konflik di Irak, Afganistan, dan Afrika yang ingin ke negara Uni Eropa. “Negara kita ini seperti tembok penahan bagi Australia sebagai tujuan akhir pengungsi yang datang dari Afganistan, dan daerah konflik sekitarnya yang bermaksud menyeberang ke Australia,” kata Julius, Senin (13/9/2022).
Berdasarkan data UNHCR hingga Juni 2021 tercatat ada 7.000-an pengungsi Afganistan di Indonesia. Sebagian lagi sudah berhasil menyeberang ke Australia pada masa awal Perang Afganistan pada 2001.
“Pekan ini Badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) mengadakan pertemuan di Markas Besar di Jenewa, Swiss. Keberadaan belasan ribu pengungsi yang didominasi pengungsi Afganistan di Indonesia masih menjadi persoalan dan belum ada jalan keluarnya,” katanya.
Menurut Julius, dengan alasan kemanusiaan pemerintah Indonesia menerima para pengungsi dari Afganistan. Padahal, Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB 1951 tentang status pengungsi, maupun protokol 1967. Oleh sebab itu, Indonesia tidak punya kewenangan menetapkan status pengungsi, apalagi menerimanya. Maka Indonesia berpatokan kepada UU Keimigrasian, di mana pengungsi masuk kategori orang yang masuk secara ilegal dan tidak diinginkan berada di Indonesia.
”Saat ini, masih ada puluhan ribu pengungsi Afganistan di Malaysia dan Indonesia serta Papua Nugini. Potensi banjir pengungsi Afganistan ke Asia Tenggara masih mungkin terjadi mengingat kemiskinan dan kekacauan di Afganistan setelah Pemerintahan Taliban berkuasa awal 2022,” katanya.
Julius menegaskan, penanganan pengungsi harus dijalankan dengan cepat untuk mendapatkan kepastian status dan negara penempatan. Penantian bertahun-tahun yang menimpa ribuan pengungsi Afganistan adalah bencana kemanusiaan yang seharusnya jadi pertimbangan Australia dan negara-negara barat yang menjunjung tinggi nilai HAM dan kemanusiaan. Di saat sama dunia barat juga begitu memperhatikan jutaan pengungsi Ukraina yang mencari selamat di Eropa Barat.
Selain di Indonesia, pengungsi Afganistan juga tersebar di Papua Nugini. Sebagian dari mereka sudah sempat masuk wilayah Australia, sebelum dipindahkan ke Kamp Pengungsi di Papua Nugini. Menurut Julius, Australia awalnya bersedia para pengungsi Afganistan, namun sejak Juli 2013, siapa pun yang hendak masuk ke Australia menggunakan perahu untuk mencari suaka akan dikirim ke kamp penampungan bernama Kamp Manus atau Pulau Manus.
“Kamp ini terletak di negara tetangga, Papua Nugini bukan di Australia. Sebelumnya sempat para pengungsi ditampung di Pulau Christmas di selatan Sukabumi, Jawa Barat,” ucapnya.
Kamp Manus yang juga disebut Manus Regional Processing Centre, awalnya ditujukan untuk para imigran gelap yang mencoba masuk ke Australia. Sempat ditutup pada 2008 lalu, namun di 2012 kembali dibuka. Sejak itu pula, terutama oleh pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd digunakan untuk menampung para pengungsi atau pencari suaka.
”Saat itu PM Kevin Rudd menyatakan mereka yang tiba dengan perahu tidak akan pernah bisa menetap di Australia. Hal ini kembali ditegaskan oleh pemerintahan Perdana Menteri Australia Tony Abbot yang menyatakan pencari suaka yang datang dengan perahu tidak akan pernah direlokasi di Australia,” paparnya.
Sejak saat itulah banyak pencari suaka yang tiba dengan perahu di pesisir Australia, langsung dipindahkan ke Kamp Pulau Manus. Potensi konflik sudah bisa terbaca. Pasalnya, para penghuni dengan berbagai latar belakang budaya, ideologi dan politik disatukan dalam satu tempat. Perselisihan demi perselisihan terjadi. Puncaknya, Februari 2014 terjadi kerusuhan di kamp Pulau Manus.
“Akibatnya, salah seorang pengungsi dari Iran, Reza Berati tewas akibat penganiayaan oleh petugas. Sementara, puluhan pengungsi lainnya luka-luka,” kata dia.
Sekretaris Jaksa Agung Australia, Robert Cornall menyebut, kerusuhan terjadi dikarenakan memuncaknya rasa frustasi dan kemarahan para pengungsi karena permohonan mereka yang tidak pernah ada kejelasan. Kekerasan fisik, aksi mogok makan, menjahit mulut, kerusuhan dengan penduduk setempat mewarnai penderitaan pengungsi di Kamp Pulau Manus.
”Behrouz Boochani salah seorang pengungsi asal Iran mengatakan kondisi mengenaskan di kamp pengungsi Pulau Manus bukanlah barang baru. Semuanya sudah terjadi begitu lama dan tidak ada perubahan yang nyata,” katanya.
Menurut Behrouz, kata Julius, para pengungsi tidak mendapat kejelasan tentang status mereka yang digantung bertahun-tahun. Bahkan saat mengosongkan kamp pengungsi Pulau Manus, para pengungsi mendapat tindak kekerasan.
”Bersama Janet Galbraith, Behrouz Boochani menulis satu artikel yang menyoroti kasus petenis kelas dunia, Novak Djokovic yang saat itu ditahan oleh imigrasi Australia karena tidak divaksin Covid19, sebagai persyaratan untuk mengikuti turnamen Autralia Open. Novak Djokovic ditahan di Park Hotel, tempat yang sama di mana 32 pengungsi menunggu giliran untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan,” katanya.
Behrouz menekankan betapa beruntungnya Novak yang punya hak dalam hukum, terwakilkan haknya, dan bisa mendapat kepastian hukum dalam waktu yang singkat. Sementara, para pengungsi yang kebetulan satu hotel dengannya, sudah bertahun-tahun terkatung-katung tanpa kejelasan nasib.
”Behrouz, yang menulis memoir tentang pengalamannya di kamp Manus, berjudul No Friend But The Mountain, akhirnya bisa keluar dari Kamp Pulau Manus, bermukim di Selandia Baru setelah melalui proses panjang dan dibantu oleh aktivis, jurnalis, dan pemerhati sosial di Selandia Baru dan juga Australia,” ucapnya.
(cip)