Masanya Pesantren Berbenah!
loading...
A
A
A
Tapi pesantren memiliki kelebihan-kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh institusi-institusi pendidikan lainnya. Satu di antaranya yang terpenting adalah bahwa pesantren tidak sekedar mengajarkan keilmuan. Tapi sekaligus mengajarkan tentang kehidupan. Santri itu adalah manusia yang telah matang untuk menjalani hidup.
Pesantren perlu berbenah
Dengan segala kelebihan dan keunikan itu tentu pesantren, sebagaimana institusi lainnya, bukanlah Institusi yang sempurna. Ada beberapa hal mendasar yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki. Tentu ada sebagian pesantren yang bagus pada aspek lain. Tapi aspek lainnya perlu pembenahan dan perbaikan.
Kali ini saya hanya menekankan urgensi pembenahan pada dua hal saja.
Pertama, pentingnya pendekatan pendidikan yang imbang.
Tentu banyak hal yang perlu diseimbangkan. Dua di antaranya yang terpenting adalah keseimbangan antara pendekatan imani (dogmatis), ‘aqli (rasionalitas) dan jismani (fisikal). Kerap kali pendidikan di pesantren menekankan kepada dogma-dogma dan hafalan yang kurang diimbangi dengan pemahaman aqli (rasionalitas).
Akibat dari pendekatan itu bisa terlihat pada dua sisi yang ekstrim: 1) santri menjadi sangat dogmatis dalam beragama dan tidak menerima perbedaan. 2) mengalami keterkejutan mindset atau cara pandang ketika sudah terbuka dengan dunia luar. Akibatnya ada santri yang lebih sekuler dari mereka yang hanya tamatan sekolah umum.
Hal lain yang memerlukan keseimbangan adalah pemahaman kepada adab menuntut ilmu yang kerap mengikuti petuah Imam Al-Gazali: “murid di hadapan gurunya bagaikan mayat”.
Pemahaman adab dengan petuah Al-Gazali ini menjadikan kreatifitas dan daya inisiatif bahkan “self development” dari santri-santriyah menjadi lambang bahkan terhambat.
Hormat kepada guru dan mereka yang dituakan itu harus. Tapi kecenderungan mengkultuskan dan mengikut tanpa reservasi adalah salah. Para ustadz, kyai, atau apapun gelar dari guru-guru agama itu tidak menjadikan mereka terlepas dari eksistensinya sebagai manusia yang boleh benar/baik atau salah/buruk.
Pesantren perlu berbenah
Dengan segala kelebihan dan keunikan itu tentu pesantren, sebagaimana institusi lainnya, bukanlah Institusi yang sempurna. Ada beberapa hal mendasar yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki. Tentu ada sebagian pesantren yang bagus pada aspek lain. Tapi aspek lainnya perlu pembenahan dan perbaikan.
Kali ini saya hanya menekankan urgensi pembenahan pada dua hal saja.
Pertama, pentingnya pendekatan pendidikan yang imbang.
Tentu banyak hal yang perlu diseimbangkan. Dua di antaranya yang terpenting adalah keseimbangan antara pendekatan imani (dogmatis), ‘aqli (rasionalitas) dan jismani (fisikal). Kerap kali pendidikan di pesantren menekankan kepada dogma-dogma dan hafalan yang kurang diimbangi dengan pemahaman aqli (rasionalitas).
Akibat dari pendekatan itu bisa terlihat pada dua sisi yang ekstrim: 1) santri menjadi sangat dogmatis dalam beragama dan tidak menerima perbedaan. 2) mengalami keterkejutan mindset atau cara pandang ketika sudah terbuka dengan dunia luar. Akibatnya ada santri yang lebih sekuler dari mereka yang hanya tamatan sekolah umum.
Hal lain yang memerlukan keseimbangan adalah pemahaman kepada adab menuntut ilmu yang kerap mengikuti petuah Imam Al-Gazali: “murid di hadapan gurunya bagaikan mayat”.
Pemahaman adab dengan petuah Al-Gazali ini menjadikan kreatifitas dan daya inisiatif bahkan “self development” dari santri-santriyah menjadi lambang bahkan terhambat.
Hormat kepada guru dan mereka yang dituakan itu harus. Tapi kecenderungan mengkultuskan dan mengikut tanpa reservasi adalah salah. Para ustadz, kyai, atau apapun gelar dari guru-guru agama itu tidak menjadikan mereka terlepas dari eksistensinya sebagai manusia yang boleh benar/baik atau salah/buruk.