Pemanfaatan BBM Subsidi Selama Ini Dinilai Salahi Prinsip Keadilan

Selasa, 06 September 2022 - 20:43 WIB
loading...
Pemanfaatan BBM Subsidi Selama Ini Dinilai Salahi Prinsip Keadilan
Pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Foto:MPI/Arif Julianto
A A A
JAKARTA - Pemanfaatan bahan bakar minyak ( BBM ) bersubsidi selama ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Pasalnya, BBM bersubsidi selama ini banyak dinikmati oleh masyarakat mampu.

Padahal, kebijakan pemerintah menyubsidi harga BBM untuk membantu masyarakat yang tidak mampu. "Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80% Pertalite dan 95% Solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu sehinga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," ujar Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya, Selasa (6/9/2022).

Hal tersebut dikatakan Berly merespons keputusan pemerintah menyesuaikan harga BBM. Dia mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah harus membuat penyesuaian harga BBM.





Pemulihan ekonomi setelah Covid-19 reda dan invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga minyak dunia sehingga melebihi USD100 per barel sejak Mei 2022. Kompensasi yang dianggarkan di APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga Solar dan Pertalite.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Akan tetapi, ternyata masih tidak mencukupi sehingga diperkirakan perlu tambahan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp195,6 triliun hingga akhir 2022.

"Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15% dari APBN 2022 alias melebihi semua katagori belanja lain kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN yaitu stabilisasi, distribusi dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitasi, dalam konteks ini harga Solar dan Pertalite ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya," tutur dosen FEB Universitas Indonesia ini.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih dari banyak opsi yang tidak sempurna dan ada dampak negatifnya. Tantangan bagi pemerintah dan policy maker adalah mencari dan mengambil opsi yang paling sedikit dampak negatif (least worse).

"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4% dan terjadi deflasi 0,2% di bulan Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," imbuhnya.

Dia mengatakan bahwa bantuan sosial (bansos) selama pandemi Covid-19 yang masih jauh dari sempurna menurut kajian BPS perlu diperbaiki di penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM 2022. Data masyarakat miskin dan rentan terakhir diperbarui dengan sensus terbatas nasional tahun 2015.

Dia menilai perlu evaluasi akurasi dan kecukupannya untuk diumumkan ke publik dan diperbaiki di tahap kedua sambil pemerintah menyalurkan BLT BBM tahap pertama. "BLT adalah pelampung bagi warga yang miskin dan rentan dalam kapal ekonomi Indonesia yang sedang menghadapi badai sehingga tetap mengapung dan tidak terbenam sehingga perlu tepat sasaran," katanya.

Dia melanjutkan, realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan, sehingga kenaikan harga transportasi publik perlu dihitung seksama secara supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi terlalu tinggi.

Selain itu, formula kenaikan Upah Minimum Regional (UMP) di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 juga perlu direvisi, sehingga setidaknya setara dengan inflasi untuk melindungi daya beli pekerja. "Nelayan yang dalam proses mencari ikan menggunakan solar, perlu perlindungan dan bantuan khusus sehingga tidak kehilangan mata pencariannya," ungkapnya.

Dia juga meminta pemerintah menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan, perbaikan transportasi publik di wilayah urban, dan perlunya ditetapkan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40% atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2815 seconds (0.1#10.140)