New Normal Perbankan, Tak Sekedar Layanan Digital

Rabu, 01 Juli 2020 - 20:04 WIB
loading...
New Normal Perbankan, Tak Sekedar Layanan Digital
M. Andi Miftachul H.
A A A
M. Andi Miftachul H.
Pengawas Bank - OJK

COVID-19 mengeliminasi aktivitas bisnis yang mengandalkan pertemuan fisik. Memaksa bisnis menjadi lebih digital. Tak terkecuali di industri perbankan. Tetapi digital dalam perbankan tak cukup sekedar internet/mobile banking. Banyak aspek perbankan yang masih perlu transformasi digital.

Internet dan mobile banking memang menjadi backbone pelayanan bank di luar kantor cabang. Fungsinya menjadi semakin penting di masa di saat orang tidak bebas keluar rumah. Survei oleh penyedia teknologi pembayaran FIS (2020) mengkonfirmasi hal tersebut. Sebanyak 35% responden mengandalkan layanan antar makanan lebih sering dibandingkan sebelum pandemi. Selanjutnya, 40% responden mengaku akan lebih banyak berbelanja online daripada datang ke toko. Hal ini akan meningkatkan penggunaan digital banking serta uang elektronik.

Peningkatan transaksi digital banking juga penting bagi bank. Fee dari transaksi digital bisa menjadi alternatif pendapatan perbankan. Kohler (2013) mengungkapkan bahwa bagi bank retail, persentase pendapatan nonbunga yang tinggi punya efek positif bagi bank. Pendapatan nonbunga lebih stabil karena relatif tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi.

Di sisi lain, pendapatan bunga akan menurun pada masa krisis seperti pada saat pandemi saat ini. Menurut Pricewaterhousecoopers (2020), pendapatan bunga bank di Amerika Serikat semester I tahun 2020 lebih rendah USD1 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Situasi ini tidak ideal bagi bank BUKU 1 yang tidak bisa memiliki layanan internet banking. Untungnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mendorong bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 untuk berkonsolidasi atau memperkuat permodalan. Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang terbit Maret 2020 mewajibkan bank mempunyai modal inti minimal sebesar Rp1 triliun pada akhir tahun ini. Dengan demikian, mulai tahun depan, minimal kelas bank adalah BUKU 2. Level ini dianggap punya cukup modal untuk memiliki layanan internet banking.

Hanya saja, untuk mendapatkan fasilitas internet/mobile banking, banyak bank yang masih mewajibkan nasabahnya untuk datang ke cabang. Ini menjadi ironi tersendiri. Untuk mendapatkan layanan secara daring, nasabah justru perlu datang ke bank secara luring. Aktivitas administratif lain juga masih banyak yang mengharuskan nasabah datang ke cabang. Yang paling umum membuat bank meminta nasabah ke cabang adalah proses update data nasabah. Update data ini terkesan sepele, tetapi menjadi kunci dalam beberapa transaksi atau layanan bank.

Dalam normal yang baru, bank perlu melakukan evaluasi terhadap standar prosedur operasionalnya. Kegiatan mana yang benar-benar membutuhkan kehadiran nasabah ke bank perlu redefinisi. Protokol kesehatan perlu dikedepankan dengan tetap memastikan mitigasi risiko terhadap keamanan transaksi nasabah. Kegiatan administratif yang tidak benar-benar membutuhkan tatap muka, dapat dipindah ke layanan nasabah daring. Sebagai konsekuensinya, bank perlu memperkuat kapasitas pelayanan nasabah via call center maupun media sosial.

Masalahnya, sebuah call center biasanya adalah ratusan bilik dalam sebuah ruangan. Desain ruang kerja seperti ini rentan untuk penularan Covid-19. Sebuah call center kantor pos di Jepang, sebagaimana dikutip Reuters, menjadi lokasi penyebaran Covid-19 bagi 17 pegawainya. Karena itu, bank perlu melakukan pengaturan lokasi kerja call center yang tersebar. Masing-masing lokasi mempunyai pegawai yang kompeten dalam pelayanan nasabah. Positifnya, bank secara natural sudah mempunyai sumber daya untuk itu yakni kantor cabang bank itu sendiri. Bank hanya perlu melakukan revitalisasi kantor cabang setelah dalam beberapa tahun terakhir direncanakan untuk ditutup. Tugas kantor cabang bisa diperluas untuk tidak hanya melayani nasabah yang datang secara fisik. Kewenangan dan keterampilan pegawai kantor cabang, perlu dibuat fleksibel untuk dapat melayani nasabah secara daring.

Di sisi lain, menurunnya frekuensi kedatangan nasabah ke cabang berarti berkurangnya kesempatan untuk melakukan pemasaran produk. Brosur-brosur tak lagi bisa ditempatkan di dekat formulir setor rekening. Penjelasan lengkap terkait produk, tak bisa lagi mengandalkan momentum ketika nasabah datang ke cabang. Program pemasaran bank juga perlu dialihkan menjadi daring. Informasi produk bank secara lengkap harus tersedia di website atau sosial media. Sebagai pengganti brosur, bank perlu melakukan penawaran kepada nasabah melalui SMS atau email. Hal ini tidak mudah, mengingat tawaran produk melalui daring lebih mudah untuk diabaikan.

Personalisasi Layanan
Agar program pemasaran daring lebih efektif, bank perlu melakukan personalisasi tawaran kepada nasabah. Menurut McKinsey & Company (2020), personalisasi dapat meningkatkan conversion rate 10 hingga 15%. Dari sisi biaya, personalisasi dapat mengurangi biaya pemasaran 10 hingga 20%. Berdasarkan data yang dimiliki, bank dapat menawarkan diferensiasi penempatan aset ataupun asuransi pendidikan kepada nasabah yang tepat. Bank dapat juga memilih nasabah mana yang membutuhkan tawaran KPR atau peningkatan plafon kartu kredit.

Untuk hasil yang maksimal, McKinsey merekomendasikan program personalisasi diawali dengan fokus kepada nasabah prioritas. Pemasaran pada segmen nasabah ini menghasilkan laba atas investasi tiga kali lebih tinggi dibanding promosi massal. Selain itu, keberhasilan pemasaran kepada nasabah prioritas juga memberikan data yang lebih berkualitas untuk program berikutnya. Setelah Covid-19, digital tak lagi merupakan strategi kompetisi bank. Digital menjadi sebuah keharusan untuk tetap relevan. Bank tidak lagi bisa lega hanya dengan merasa telah memiliki aplikasi mobile. Segala aspek layanan serta dukungan kepada nasabah, juga harus bisa dilakukan secara digital.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1041 seconds (0.1#10.140)