Hindari Grooming dan Cyberbullying, Orang Tua Wajib Awasi Anak Gunakan Medsos

Rabu, 01 Juli 2020 - 13:54 WIB
loading...
Hindari Grooming dan Cyberbullying, Orang Tua Wajib Awasi Anak Gunakan Medsos
Berdasarkan laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) pada April 2020, jumlah eksploitasi seksual anak mencapai 4,2 juta di masa pandemi COVID-19. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Eksploitasi seksual anak melalui daring (online) terindikasi semakin merebak di masa pandemi COVID-19 . Berdasarkan laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) pada April 2020, jumlah eksploitasi seksual anak mencapai 4,2 juta. Jumlah ini meningkat 2 juta anak dalam sebulan dari laporan pada Maret 2020.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menduga intensitas gawai pada anak meningkat selama masa pandemi Corona, terutama untuk mengakses media sosial ketika mereka merasa jenuh di rumah. Namun, masih banyak anak yang tidak sadar bahwa ada predator seksual anak yang mengintai. (Baca juga: Menkes Yakinkan Masyarakat Jangan Khawatir Konsumsi Obat Tradisional Modern)

“Masih banyak anak-anak yang tidak mengetahui konsekuensi berbahaya pada media sosial. Anak harus sadar ketika mereka mengakses media sosial, kemungkinan ada predator seksual anak yang mengintai dan menyasar mereka untuk melakukan hal-hal berbahaya,” ujar Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi KemenPPPA, Ciput Eka Purwianti, dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Rabu (1/7/2020).

Ia menjelaskan predator seksual mendekati anak-anak melalui pesan langsung (direct message) di media sosial. Sayangnya, anak-anak juga tidak tahu bagaimana caranya melindungi diri dari aksi tersebut di media sosial.

Eka menilai perlunya pengawasan orang tua (parenting control) dan bekerja sama dengan anak untuk sepakat terkait penggunaan media sosial. Menurut dia, kedua hal itu tidak terbatas pada akses media sosial saja.

“Parenting control dan kesepakatan dengan orang tua tidak terbatas pada penggunaan media sosial, tapi penggunaan gawai secara umum, termasuk akses aplikasi media sosial, game online, dan materi-materi online lainnya di internet. Kami berharap anak-anak mampu menjadi netizen unggul,” jelasnya.

Sementara itu, Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Indonesia, Rio Hendra mengatakan naiknya intensitas anak dalam menggunakan media sosial selama pandemi membuka peluang bagi pelaku kekerasan untuk melakukan grooming sebagai tujuan seksual.

“Grooming merupakan salah satu bentuk eksploitasi seksual anak online. Tahapan grooming untuk tujuan seksual berawal ketika oknum mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi,” terang Rio.

Para pelaku kemudian membangun komunikasi dengan anak tersebut hingga masuk fase rahasia dan isolasi. Ketika anak sudah merasa nyaman, oknum tersebut melakukan perjanjian dengan anak sehingga anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitarnya dan hanya berkomunikasi secara menyendiri. Lalu, pelaku secara bertahap meningkatkan komunikasinya ke arah seksual.

Rio menuturkan ada beberapa tips agar anak terhindar dari grooming. Pertama, anak diharapkan mampu mengatakan ‘Tidak’ apabila diminta atau diajak dalam situasi yang dapat diindikasikan grooming.

“Berikutnya, keluar dari grup atau lingkungan yang membuat mereka terjebak dalam situasi tersebut. Lalu, diharapkan anak mampu menceritakan hal tersebut kepada orang yang mereka percayai ketika mereka atau temannya menghadapi situasi tersebut,” terang dia.

Pendiri Yayasan SEJIWA Diena Haryana menilai, selain menyebabkan adanya eksploitasi seksual online pada anak, sifat tanpa batas pada internet juga membuka peluang terhadap terjadinya aksi perundungan melalui siber (cyberbullying). Menurut dia, dampak paling parah pada cyberbullying adalah menyebabkan bunuh diri.

“Cyberbullying seperti virus, awalnya hanya satu orang yang tidak suka terhadap target bullying, dan akhirnya ia mengajak orang lain untuk ikut membenci dan mengintimidasi target tersebut,” tuturnya. (Baca juga: Jokowi Minta Polri Tidak Boleh Melupakan Agenda Strategis)

Diena menjelaskan cyberbullying terjadi apabila sudah ada orang yang merasa tersakiti, terluka, dipermalukan, dan merasa sedih. Lantaran itu, dirinya berharap anak-anak juga harus diajari untuk menjadi warganet (netizen) yang unggul dan memiliki empati terhadap teman-temannya yang jadi korban perundungan.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2241 seconds (0.1#10.140)