Relevansi Teori Agen di Pemerintah Daerah dalam Sektor Anggaran

Senin, 29 Agustus 2022 - 10:47 WIB
loading...
Relevansi Teori Agen di Pemerintah Daerah dalam Sektor Anggaran
Armyn Gultom. FOTO/FACEBOOK
A A A
Armyn Gultom
Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

SEJAK otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 2001, pembahasan teori keagenan (agency theory) menjadi menarik, dan berpeluang dijadikan sebagai bahan penelian. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif).

Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Berdasarkan UU 22 Tahun 1999, legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar.

Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ilmu administrasi publik, ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut prinsipal) dan yang menerima kewenangan (disebut agen). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai agen). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan.

Hubungan eksekutif-legislatif seperti disebutkan di atas menjadi lebih menarik untuk dikaji dengan diamandemennya UU 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU terbaru tersebut terjadi perubahan posisi 'luasnya kekuasaan' atau kesejajaran antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen.

Teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan bahwa kerangka hubungan prinsipal-agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.

Dalam konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif. Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi selfinterestnya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang pergunakan untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif.

Dalam hal pembuatan kebijakan, hubungan principal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.

Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah.

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22 tahun 1999 (dan UU 3 Tahun 2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran.

Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda).

Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama.

Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik.

Penyusunan anggaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda).

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.

Sebagai agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang teridentifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.

Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk 'titipan'. Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya, sehingga dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran.

Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung di daerah merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami kecenderungan ini.

Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus).
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1954 seconds (0.1#10.140)