3 Catatan PBHI Terkait Kasus Brigadir J, Poin Terakhir Menarik Dicermati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengungkapkan tiga catatan terkait kasus pembunuhan Brigadir J atau Yosua Hutabarat. PBHI menyampaikan bahwa pengungkapan kasus Brigadir J telah melalui proses panjang akibat Irjen Ferdy Sambo (FS) merekayasa peristiwa kematian Brigadir J dan memberikan keterangan yang tidak benar (bohong) kepada publik, bahkan internal Polri beserta pemeriksanya.
“Keruwetan kasus Irjen FS ini menjadi entry point pekerjaan rumah besar institusional Polri secara paralel dan simultan, yang harus diselesaikan segera. Karena jika tidak diselesaikan atau lambat, maka akan merusak institusi Polri, dan merugikan masyarakat luas selaku penerima manfaat,” kata Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/8/2022).
Dia mengatakan, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) inti Polri yakni pemeriksaan pro justisia (demi hukum). Dia menambahkan, pro justisia menjadi sangat krusial dan signifikan, karena seharusnya dapat menjawab keresahan publik atas pemberitaan yang begitu liar di berbagai media.
“Terkait apa peristiwa dan bagaimana kronologisnya, siapa pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J, siapa saja yang mengetahui, bekerja sama, atau siapapun yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J, serta apa saja alat bukti yang ditemukan,” imbuhnya.
Dia menuturkan, pro justisia ini wajib dijelaskan kepada publik karena transparansi adalah kewajiban Polri, dan keluarga Brigadir J juga berhak untuk mendapatkan perkembangan pemeriksaan. “Belakangan, publik masih bertanya soal motif pembunuhan, dan Polri wajib membuka motif pembunuhan terhadap Brigadir J segera,” ungkapnya.
Kedua, kata dia, terangnya pro justisia secara paralel akan menjawab terjadinya obstruction of justice atau tindakan yang menghalang-halangi proses hukum dalam pemeriksaan. Dia mengatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menginstruksikan seluruh jajaran Polri untuk menggabungkan pemeriksaan beberapa dugaan tindak pidana sekaligus, mulai dari pembunuhan berencana, pelecehan seksual, pengancaman, dan percobaan pembunuhan, dengan penanganan bersama oleh Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri, langsung di bawah komando Bareskrim Mabes Polri.
“Melalui helicopter view ini terungkap selain materi pro justisia, juga mengungkapkan Irjen FS merekayasa peristiwa dan merusak serta menghilangkan alat bukti CCTV, TKP, dan lainnya,” katanya.
Dia menilai perbuatan tersebut masuk dalam kategori obstruction of justice yang mengandung tiga unsur, adanya tindakan yang menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings), pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya yang salah atau fiktif atau palsu (knowledge of pending proceedings), dan pelaku bertujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Menurutnya, Polri harus memastikan pemeriksaan dugaan pidana obstruction of justice memenuhi unsur tersebut, bukan hanya sebatas pelanggaran profesionalitas dan etik. Dia melanjutkan, Polri tidak bisa bermain di level popularitas belaka dengan melakukan pemecatan jabatan struktural, tanpa menjelaskan apa saja perbuatan obstruction of justice yang terjadi, siapa saja yang menjalankan skenario rekayasa Irjen FS dengan kesadaran dan pengetahuan penuh sejak awal, sehingga menghalangi pro justisia.
Sebaliknya, menurutnya, mereka yang tidak mengetahui adanya rekayasa oleh Irjen FS, dan bahkan kena prank (dibohongi) tidak dapat dikenakan pidana obstruction of justice. Ketiga, kata dia, tragedi buruk institusi Polri melalui kematian Brigadir J harusnya jadi momentum pembebasan institusi Polri dari polemik kontestasi politik internal Polri.
Dia melihat bahwa sistem promosi dan mutasi jabatan di Polri belum sepenuhnya berbasis merit system. “Kerap kali, adanya tragedi seperti ini, justru menjadi ajang kontestasi politik internal Polri yang ditunggangi segelintir pihak internal Polri,” ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, Polri harus memastikan secara paralel dan simultan untuk menuntaskan pro justisia, lalu menyelesaikan obstruction of justice, serta mengevaluasi pihak-pihak yang bertujuan untuk kontestasi politik internal Polri. “Jangan sampai momentum pengungkapan kasus kematian Brigadir J terjebak dalam ruang politisasi dan kontestasi politik internal Polri,” pungkasnya.
“Keruwetan kasus Irjen FS ini menjadi entry point pekerjaan rumah besar institusional Polri secara paralel dan simultan, yang harus diselesaikan segera. Karena jika tidak diselesaikan atau lambat, maka akan merusak institusi Polri, dan merugikan masyarakat luas selaku penerima manfaat,” kata Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/8/2022).
Dia mengatakan, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) inti Polri yakni pemeriksaan pro justisia (demi hukum). Dia menambahkan, pro justisia menjadi sangat krusial dan signifikan, karena seharusnya dapat menjawab keresahan publik atas pemberitaan yang begitu liar di berbagai media.
“Terkait apa peristiwa dan bagaimana kronologisnya, siapa pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J, siapa saja yang mengetahui, bekerja sama, atau siapapun yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J, serta apa saja alat bukti yang ditemukan,” imbuhnya.
Dia menuturkan, pro justisia ini wajib dijelaskan kepada publik karena transparansi adalah kewajiban Polri, dan keluarga Brigadir J juga berhak untuk mendapatkan perkembangan pemeriksaan. “Belakangan, publik masih bertanya soal motif pembunuhan, dan Polri wajib membuka motif pembunuhan terhadap Brigadir J segera,” ungkapnya.
Kedua, kata dia, terangnya pro justisia secara paralel akan menjawab terjadinya obstruction of justice atau tindakan yang menghalang-halangi proses hukum dalam pemeriksaan. Dia mengatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menginstruksikan seluruh jajaran Polri untuk menggabungkan pemeriksaan beberapa dugaan tindak pidana sekaligus, mulai dari pembunuhan berencana, pelecehan seksual, pengancaman, dan percobaan pembunuhan, dengan penanganan bersama oleh Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri, langsung di bawah komando Bareskrim Mabes Polri.
“Melalui helicopter view ini terungkap selain materi pro justisia, juga mengungkapkan Irjen FS merekayasa peristiwa dan merusak serta menghilangkan alat bukti CCTV, TKP, dan lainnya,” katanya.
Dia menilai perbuatan tersebut masuk dalam kategori obstruction of justice yang mengandung tiga unsur, adanya tindakan yang menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings), pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya yang salah atau fiktif atau palsu (knowledge of pending proceedings), dan pelaku bertujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Menurutnya, Polri harus memastikan pemeriksaan dugaan pidana obstruction of justice memenuhi unsur tersebut, bukan hanya sebatas pelanggaran profesionalitas dan etik. Dia melanjutkan, Polri tidak bisa bermain di level popularitas belaka dengan melakukan pemecatan jabatan struktural, tanpa menjelaskan apa saja perbuatan obstruction of justice yang terjadi, siapa saja yang menjalankan skenario rekayasa Irjen FS dengan kesadaran dan pengetahuan penuh sejak awal, sehingga menghalangi pro justisia.
Sebaliknya, menurutnya, mereka yang tidak mengetahui adanya rekayasa oleh Irjen FS, dan bahkan kena prank (dibohongi) tidak dapat dikenakan pidana obstruction of justice. Ketiga, kata dia, tragedi buruk institusi Polri melalui kematian Brigadir J harusnya jadi momentum pembebasan institusi Polri dari polemik kontestasi politik internal Polri.
Dia melihat bahwa sistem promosi dan mutasi jabatan di Polri belum sepenuhnya berbasis merit system. “Kerap kali, adanya tragedi seperti ini, justru menjadi ajang kontestasi politik internal Polri yang ditunggangi segelintir pihak internal Polri,” ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, Polri harus memastikan secara paralel dan simultan untuk menuntaskan pro justisia, lalu menyelesaikan obstruction of justice, serta mengevaluasi pihak-pihak yang bertujuan untuk kontestasi politik internal Polri. “Jangan sampai momentum pengungkapan kasus kematian Brigadir J terjebak dalam ruang politisasi dan kontestasi politik internal Polri,” pungkasnya.
(rca)