Restrukturisasi Melalui Kebijakan Sektoral pada Perbankan Nasional
loading...
A
A
A
Kuntum Khairu Basa, SEI, ME
Pengamat Ekonomi Syariah UIN JKT, Mahasiswa Program Doktor Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Undang-Undang No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, kini memasuki usia tahun ke-12. Apabila ditarik lebih jauh lagi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, maka berarti sekarang sudah berumur 28 tahun. Namun, dalam rentang waktu tersebut, pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai 6,1 persen atau Rp513 triliun dari total aset perbankan nasional. Hal ini berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja dirilis baru-baru ini. Sekalipun dikatakan angka itu merupakan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah, namun angka tersebut belum bisa dikatakan ideal karena masih tergolong kecil. Perbankan Syariah sejak lahir langsung disuruh bertarung bebas dengan hanya bermodalkan PP No. 72/1992 dan Undang-Undang No. 21/2008 di atas.
Dalam perspektif sosial kapital, secara makro penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam terbesar di dunia. Dengan jumlah 229,62 juta jiwa atau sebesar 87 persen pada 2020, angka yang signifikan ini merupakan pangsa pasar strategis bagi negara manapun. Hanya saja, hingga kini belum ada satu pun bank syariah yang secara resmi dimiliki BUMN. Kendati bank-bank BUMN, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sudah memiliki unit-unit bank syariah. Namun, status mereka masih sebagai anak perusahaan yang tidak bisa diakui sebagai bank milik BUMN. Di negara manapun yang namanya anak, maka sudah pasti tidak akan bisa bersaing dengan induknya apalagi berkaitan dengan etika bisnis. Bahwa anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya. Itulah yang selalu terjadi. Kita bisa melihat dari komposisi kepemilikan saham. Misalnya Bank Syariah Mandiri 99,9 persen kepemilikan saham dimiliki induknya, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Bank BRI Syariah 99,5 Persen dimiliki PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan BNI Syariah sebanyak 99, 95 persen dimiliki PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pertanyaannya, apa mungkin sang anak bisa bersaing bebas dengan induknya sedang seluruh kepemilikan dikuasai induknya?
Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) dan PP No. 41/2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas, dan Kewenangan Menteri Keuangan Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, maka perlu ada good will dari pemerintah pusat melalui Meneg BUMN dan Menteri Keuangan sebagai kepanjangan tangan dari Presiden. Selain itu, dukungan dari semua pihak terkait, termasuk di dalamnya Komisi VI DPR RI yang menjadi mitra Kemeneg BUMN dan Komisi XI DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tahun 2020 menjadi tahun sejarah bagi dunia akibat Covid-19, merupakan momentum sangat baik bagi pemerintah untuk membuat terobosan serta menumbuhkembangkan daya saing yang harmonis dengan membentuk bank syariah milik BUMN. Mekanisme pendiriannya bisa melalui peleburan dari bank konvensional milik BUMN yang mungkin kurang produktif, bisa juga dengan cara pendirian baru dari nol. Atau melalui pengangkatan status bank syariah yang selama ini menjadi anak dari bank-bank BUMN dengan memberikan pengakuan “Akta Resmi Kelahiran” oleh dan dari pemerintah sekaligus memperjelas jenis kelaminnya, di sisi lain, supaya mereka menjadi “anak yang mandiri”. Cara yang terakhir ini hemat kami tidaklah begitu rumit mengingat dominasi kepemilikan terhadap bank syariah yang menjadi anak-anak bank BUMN tersebut rata-rata di atas 99 persen dimiliki induknya. Kenapa harus dipisah rumah? Ibarat anak gadis mereka sudah waktunya menikah dan belajar hidup mandiri. Terhitung sejak lahirnya dual banking system sebagai respons pemberlakuan Undang-Undang No. 10/1998, maka rata-rata umur anak bank BUMN tersebut yang lahir tahun 1999 kini usianya sudah beranjak umur 21 tahun bahkan ada yang berumur 28 tahun bila didasarkan pada PP No. 72/1992. Usia yang sudah dewasa. Bila sudah dewasa dan waktunya menikah, masa selamanya harus tetap tinggal di rumah orang tuanya? Ini kurang baik bagi pertumbuhan masa depan si anak.
Dengan lahirnya bank syariah BUMN, Indonesia diharapkan mampu menjadi negara percontohan dunia. Adapun bank syariah BUMN ini kelak perlu ada semacam regulasi khusus sehingga memiliki spesialisasi peranan pembiayaan, ada aturan baku mana pembiayaan usaha yang boleh dijalankan, dan mana harus dianulir sekaligus sebagai mitigasi risiko sejak dini. Dengan demikian, ke depannya tidak terjadi tumpang tindih antara satu bank dengan bank lainnya sebagaimana terjadi di dunia perbankan nasional saat ini. Di kala terjadi wabah Covid-19, perbankan nasional mengalami kenaikan kredit macet NPL (bank konvensional)/NPF (bank syariah) secara serentak sehingga membuat pemerintah harus menyuntikkan dana sebesar Rp34,14 triliun untuk membantu restrukturisasi perbankan. Hal itu karena selama ini terjadinya tumpang tindih antara satu bank dengan bank lainnya. Perbankan saling rebutan segmentasi pasar dan produk pembiayaan yang sama sehingga ketika terjadi musibah seperti Covid-19 ini, maka semua bank mengalami nasib sama.
Idealnya, perbankan nasional hadir berdasarkan sektoral sehingga ketika di kemudian hari terjadi lagi wabah seperti Covid-19, bank pada sektor tertentu saja yang perlu mendapatkan perhatian serius. Restrukturisasi yang dilakukan pemerintah saat ini baiknya untuk melakukan polarisasi segmen pasar dan produk pembiayaan terhadap bank itu, bukan pada produknya. Karena kalau tidak dilakukan restrukturisasi semacam itu, sama halnya menggarami lautan. Berapa pun dana yang disuntikkan pemerintah, maka dana tersebut malah akan menjadi permasalahan baru. Kedua, harus ada inovasi pasar, bukan pasar inovasi seperti halnya ketika produk tabungan haji dibuka. Ramai-ramai seluruh bank syariah rebutan mencari nasabah haji. Seyogianya cukup 1 atau 2 bank syariah melakukan itu. Lalu bank lainnya fokus pada segmen dan produk lainnya dengan regulasi yang diatur pemerintah. Dengan begitu, terjadi pemerataan, kestabilan, dan efektivitas dalam pelaksanaan perbankan nasional.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan polarisasi segmen pasar yang terarah dan terfokus berdasarkan sektoral. Misalnya, sektor pertanian dan peternakan di mana para petani dan peternak masih kesulitan mendapatkan permodalan. Mengambil contoh dari Thailand yang menjadi importir beras terbesar tiap tahunnya. karena per tahun Indonesia melakukan impor dengan rata-rata di atas 1 juta ton beras yang jika dirupiahkan tidaklah kurang dari Rp12 triliun. Dana ini bisa saja ditempatkan sebagai modal dasar untuk bank syariah BUMN tersebut sehingga mereka bisa lari kencang dan dalam periode dua tahun mendatang Indonesia mampu swasembada pangan. Hal ini sebagaimana telah dilakukan Thailand, karena mereka menetapkan kebijakan sektoral dengan membentuk sembilan lembaga keuangan yang menjalankan fungsi secara terspesialisasi. Satu di antaranya, yakni BAAC (Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative) didirikan Pemerintah Thailand pada 1966. sebanyak 99,79 persen sahamnya dimiliki Kementerian Keuangan Thailand. Saat ini memiliki 1.327 cabang, 1.074 titik layanan, dan 2001 ATM.
Ketika tahun 2003 lalu, BAAC telah bermitra dengan 5,37 juta rumah tangga petani atau 93 persen dari total petani se-Thailand. BAAC menerapkan kebijakan yang mengaitkan suku bunga dengan kinerja, yaitu insentif bunga diberikan pada mitra peminjam yang memiliki kinerja dan jejak rekam yang baik. Produktivitas tenaga pencari nasabah diukur oleh kemampuannya mendapatkan nasabah petani sekitar 500 orang. Petugas bank mengorganisasikan petani ke dalam kelompok sekitar 15 orang per kelompok dan seorang petugas bank diberikan portofolio pinjaman antara USD390.000–940.000. Itulah kenapa pertanian di Thailand berkembang pesat dan menjadi negara eksportir pangan terbesar di dunia.
Terakhir, pemerintah tidak perlu khawatir, saat ini Human Capital dari anak-anak bangsa Indonesia sudah lebih dari cukup. Berbagai universitas dan perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak sekali melahirkan para bankir dan calon-calon bankir syariah masa depan yang siap serta mampu bertarung di dunia global. Sumber daya manusia yang mumpuni dan piawai guna mengembangkan bank syariah BUMN sudah menanti dari Aceh hingga Papua. Bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan terkenal dengan bangsa suka terhadap tantangan. Hanya saja persoalannya, apakah para pemangku kebijakan berkenan memberikan kesempatan tantangan tersebut atau tidak kepada mereka. Wallahualambissawab.
Pengamat Ekonomi Syariah UIN JKT, Mahasiswa Program Doktor Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Undang-Undang No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, kini memasuki usia tahun ke-12. Apabila ditarik lebih jauh lagi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, maka berarti sekarang sudah berumur 28 tahun. Namun, dalam rentang waktu tersebut, pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai 6,1 persen atau Rp513 triliun dari total aset perbankan nasional. Hal ini berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja dirilis baru-baru ini. Sekalipun dikatakan angka itu merupakan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah, namun angka tersebut belum bisa dikatakan ideal karena masih tergolong kecil. Perbankan Syariah sejak lahir langsung disuruh bertarung bebas dengan hanya bermodalkan PP No. 72/1992 dan Undang-Undang No. 21/2008 di atas.
Dalam perspektif sosial kapital, secara makro penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam terbesar di dunia. Dengan jumlah 229,62 juta jiwa atau sebesar 87 persen pada 2020, angka yang signifikan ini merupakan pangsa pasar strategis bagi negara manapun. Hanya saja, hingga kini belum ada satu pun bank syariah yang secara resmi dimiliki BUMN. Kendati bank-bank BUMN, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sudah memiliki unit-unit bank syariah. Namun, status mereka masih sebagai anak perusahaan yang tidak bisa diakui sebagai bank milik BUMN. Di negara manapun yang namanya anak, maka sudah pasti tidak akan bisa bersaing dengan induknya apalagi berkaitan dengan etika bisnis. Bahwa anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya. Itulah yang selalu terjadi. Kita bisa melihat dari komposisi kepemilikan saham. Misalnya Bank Syariah Mandiri 99,9 persen kepemilikan saham dimiliki induknya, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Bank BRI Syariah 99,5 Persen dimiliki PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan BNI Syariah sebanyak 99, 95 persen dimiliki PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pertanyaannya, apa mungkin sang anak bisa bersaing bebas dengan induknya sedang seluruh kepemilikan dikuasai induknya?
Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) dan PP No. 41/2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas, dan Kewenangan Menteri Keuangan Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, maka perlu ada good will dari pemerintah pusat melalui Meneg BUMN dan Menteri Keuangan sebagai kepanjangan tangan dari Presiden. Selain itu, dukungan dari semua pihak terkait, termasuk di dalamnya Komisi VI DPR RI yang menjadi mitra Kemeneg BUMN dan Komisi XI DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tahun 2020 menjadi tahun sejarah bagi dunia akibat Covid-19, merupakan momentum sangat baik bagi pemerintah untuk membuat terobosan serta menumbuhkembangkan daya saing yang harmonis dengan membentuk bank syariah milik BUMN. Mekanisme pendiriannya bisa melalui peleburan dari bank konvensional milik BUMN yang mungkin kurang produktif, bisa juga dengan cara pendirian baru dari nol. Atau melalui pengangkatan status bank syariah yang selama ini menjadi anak dari bank-bank BUMN dengan memberikan pengakuan “Akta Resmi Kelahiran” oleh dan dari pemerintah sekaligus memperjelas jenis kelaminnya, di sisi lain, supaya mereka menjadi “anak yang mandiri”. Cara yang terakhir ini hemat kami tidaklah begitu rumit mengingat dominasi kepemilikan terhadap bank syariah yang menjadi anak-anak bank BUMN tersebut rata-rata di atas 99 persen dimiliki induknya. Kenapa harus dipisah rumah? Ibarat anak gadis mereka sudah waktunya menikah dan belajar hidup mandiri. Terhitung sejak lahirnya dual banking system sebagai respons pemberlakuan Undang-Undang No. 10/1998, maka rata-rata umur anak bank BUMN tersebut yang lahir tahun 1999 kini usianya sudah beranjak umur 21 tahun bahkan ada yang berumur 28 tahun bila didasarkan pada PP No. 72/1992. Usia yang sudah dewasa. Bila sudah dewasa dan waktunya menikah, masa selamanya harus tetap tinggal di rumah orang tuanya? Ini kurang baik bagi pertumbuhan masa depan si anak.
Dengan lahirnya bank syariah BUMN, Indonesia diharapkan mampu menjadi negara percontohan dunia. Adapun bank syariah BUMN ini kelak perlu ada semacam regulasi khusus sehingga memiliki spesialisasi peranan pembiayaan, ada aturan baku mana pembiayaan usaha yang boleh dijalankan, dan mana harus dianulir sekaligus sebagai mitigasi risiko sejak dini. Dengan demikian, ke depannya tidak terjadi tumpang tindih antara satu bank dengan bank lainnya sebagaimana terjadi di dunia perbankan nasional saat ini. Di kala terjadi wabah Covid-19, perbankan nasional mengalami kenaikan kredit macet NPL (bank konvensional)/NPF (bank syariah) secara serentak sehingga membuat pemerintah harus menyuntikkan dana sebesar Rp34,14 triliun untuk membantu restrukturisasi perbankan. Hal itu karena selama ini terjadinya tumpang tindih antara satu bank dengan bank lainnya. Perbankan saling rebutan segmentasi pasar dan produk pembiayaan yang sama sehingga ketika terjadi musibah seperti Covid-19 ini, maka semua bank mengalami nasib sama.
Idealnya, perbankan nasional hadir berdasarkan sektoral sehingga ketika di kemudian hari terjadi lagi wabah seperti Covid-19, bank pada sektor tertentu saja yang perlu mendapatkan perhatian serius. Restrukturisasi yang dilakukan pemerintah saat ini baiknya untuk melakukan polarisasi segmen pasar dan produk pembiayaan terhadap bank itu, bukan pada produknya. Karena kalau tidak dilakukan restrukturisasi semacam itu, sama halnya menggarami lautan. Berapa pun dana yang disuntikkan pemerintah, maka dana tersebut malah akan menjadi permasalahan baru. Kedua, harus ada inovasi pasar, bukan pasar inovasi seperti halnya ketika produk tabungan haji dibuka. Ramai-ramai seluruh bank syariah rebutan mencari nasabah haji. Seyogianya cukup 1 atau 2 bank syariah melakukan itu. Lalu bank lainnya fokus pada segmen dan produk lainnya dengan regulasi yang diatur pemerintah. Dengan begitu, terjadi pemerataan, kestabilan, dan efektivitas dalam pelaksanaan perbankan nasional.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan polarisasi segmen pasar yang terarah dan terfokus berdasarkan sektoral. Misalnya, sektor pertanian dan peternakan di mana para petani dan peternak masih kesulitan mendapatkan permodalan. Mengambil contoh dari Thailand yang menjadi importir beras terbesar tiap tahunnya. karena per tahun Indonesia melakukan impor dengan rata-rata di atas 1 juta ton beras yang jika dirupiahkan tidaklah kurang dari Rp12 triliun. Dana ini bisa saja ditempatkan sebagai modal dasar untuk bank syariah BUMN tersebut sehingga mereka bisa lari kencang dan dalam periode dua tahun mendatang Indonesia mampu swasembada pangan. Hal ini sebagaimana telah dilakukan Thailand, karena mereka menetapkan kebijakan sektoral dengan membentuk sembilan lembaga keuangan yang menjalankan fungsi secara terspesialisasi. Satu di antaranya, yakni BAAC (Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative) didirikan Pemerintah Thailand pada 1966. sebanyak 99,79 persen sahamnya dimiliki Kementerian Keuangan Thailand. Saat ini memiliki 1.327 cabang, 1.074 titik layanan, dan 2001 ATM.
Ketika tahun 2003 lalu, BAAC telah bermitra dengan 5,37 juta rumah tangga petani atau 93 persen dari total petani se-Thailand. BAAC menerapkan kebijakan yang mengaitkan suku bunga dengan kinerja, yaitu insentif bunga diberikan pada mitra peminjam yang memiliki kinerja dan jejak rekam yang baik. Produktivitas tenaga pencari nasabah diukur oleh kemampuannya mendapatkan nasabah petani sekitar 500 orang. Petugas bank mengorganisasikan petani ke dalam kelompok sekitar 15 orang per kelompok dan seorang petugas bank diberikan portofolio pinjaman antara USD390.000–940.000. Itulah kenapa pertanian di Thailand berkembang pesat dan menjadi negara eksportir pangan terbesar di dunia.
Terakhir, pemerintah tidak perlu khawatir, saat ini Human Capital dari anak-anak bangsa Indonesia sudah lebih dari cukup. Berbagai universitas dan perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak sekali melahirkan para bankir dan calon-calon bankir syariah masa depan yang siap serta mampu bertarung di dunia global. Sumber daya manusia yang mumpuni dan piawai guna mengembangkan bank syariah BUMN sudah menanti dari Aceh hingga Papua. Bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan terkenal dengan bangsa suka terhadap tantangan. Hanya saja persoalannya, apakah para pemangku kebijakan berkenan memberikan kesempatan tantangan tersebut atau tidak kepada mereka. Wallahualambissawab.
(ras)