Kemiskinan Telah di Depan Mata, Percepat Pencairan Bansos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi corona (Covid-19) telah di depan mata. Pemerintah harus bekerja cepat agar bantuan sosial (bansos) segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pendataan juga harus lebih cermat agar tak terus terjadi tumpang tindih penerima.
Pemerintah harus lebih responsif melihat situasi di lapangan yang kian memprihantikan. Banyak warga kini kebingungan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum karena tak ada lagi pemasukan sehari-hari. Tak hanya di DKI Jakarta, fenomena ini juga mulai banyak ditemui di berbagai daerah.
Sejak Senin (20/4) lalu, sejumlah bansos memang secara resmi telah disalurkan ke masyarakat.
Namun hingga kemarin masih banyak warga yang belum bisa merasakan bantuan untuk perlindungan sosial tersebut. Di tengah kondisi krisis seperti ini, pemerintah juga jangan lagi berlaku terlalu prosedural karena akan semakin merugikan masyarakat. Aksi protes Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, Sehan Landjar kepada pemerintah soal berbelitnya pencairan bansos yang videonya viral di media sosial juga tak boleh dianggap masalah sepele.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, saat ini masyaraakt sudah banyak yang mengalami kelaparan. Dia mencontohkan sepupu tetangganya di kawasan Pancoran, Jakarta yang belum lama ini melahirkan, sementara suaminya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 15 hari lalu. “Dia tidak bisa makan. Ini ada kelaparan di tengah-tengah Jakarta. Artinya bantuan yang digembar-gemborkan pemerintah itu nonsense. Ini kasat mata," ujar Ujang, kemarin.
Banyaknya kasus kejahatan seperti penjambretan, pembegalan dan perampokan di siang bolong, menurut Ujang, juga menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai kelaparan. Karena itu, menurut Ujang, pencairan bantuan harus segera dilakukan. Namun, di sisi lain pemerintah juga harus memperbaiki persoalan data penerima. Data itu menjadi penting agar tidak ada kecemburuan dan memicu konflik di masyarakat "Kenapa ada bantuan yang tidak tepat sasaran, bantuan juga belum ada, acakadut, ini persoalan data antarkementerian saja berbeda-beda," tutur Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas juga menilai banyak kebijakan pemerintah yang masih lambat dalam menyikapi kondisi di lapangan dan bahkan tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Yang lebih dia sayangkan, di tengah kondisi ini, muncul sikap para pemimpin negeri ini yang justru terkesan menganggap tidak serius wabah Covid ini. Padahal masalah yang dihadapi rakyat saat ini benar-benar berat. Tak hanya soal pekerjaan, Indonesia sebenarnya sedang menghadapi ancaman ketahanan pangan. “Kita butuh pemimpin yang bergerak cepat, responsif menghadapi masalah, tidak justru selalu terlambat seperti sekarang,” tandas Gus Yaqut, panggilan akrabnya.
Dia pun mengajak seluruh kader Ansor di seluruh Indonesia untuk membangun rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesame masyarakat. “Jangan sampai kasus kelaparan yang menyebabkan meninggalnya saudara kita terulang lagi. Ini menyedihkan sekali,” tandasnya.
Senada dengan Ujang dan Gus Yaqut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang juga mengeluhkan persoalan data yang selalu tidak valid. Dalam rapat-rapat dengan pihak pemerintah, Komisi VIII sudah meminta agar segera dilakukan perbaikan data penerima. "Waktu dilakukan penambahan penerima bantuan non tunai (BNT) dan bantuan langsung tunai (BLT), kita sudah katakan bahwa penerima BNT yang 15,2 juta menjadi 20 juta KK itu segera dituntaskan datanya. Oleh pemerintah menyebutkan itu sudah ada di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial)," ungkap dia.
Namun, kata politikus PKB ini, dampak dari virus ini bahwa ada tambahan masyarakat yang terdampak yakni masyarakat miskin baru di luar DTKS, maka perlu disiapkan sekitar 6,7 juta keluarga. Terkait hal ini, Komisi VIII pun sudah mengingatkan agar dilakukan pendataan secara cermat termasuk melibatkan kepala desa yang langsung berhadapan di masyarakat. Sayangnya, kasus salah sasaran penerima terus mencuat, di antaranya yang tambahan 20 ribu di Jakarta. ”Ada PNS, ada orang kaya menerimanya," katanya.
Pihaknya juga menagih janji pemerintah bahwa pada April ini BLT nonreguler sudah semua akan cair. Namun faktanya hingga saat ini belum jelas. Dia mendesak agar bantuan itu segera cair, apalagi di zona-zona merah dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau isolasi yang membuat orang semakin terpuruk sehingga bantuan nontunai itu sangat diharapkan.
Marwan mengatakan, percepatan bantuan sangat diharapkan masyarakat. Namun di satu sisi, prinsip kehati-hatia juga jangan sampai diabaikan. Pihaknya juga menyarankan masyarakat yang terdampak, misalnya pekerja yang di-PHK atau para guru ngaji yang kini tidak lagi mendapatkan insentif karena kegiatannya libur untuk melaporkan ke kelurahan sehingga bisa dimasukkan sebagai data penerima bantuan.
Untuk membantu pengawasan pendistribusian bansos, kalangan DPR juga mengajak kerja sama media massa dalam menyerap aduan masyarakat. “DPR juga meminta agar pemerintah tidak kaku terkait dengan data penerima bansos dan terus memperbaharuinya,” terang Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto.
PSBB Segera Berakhir, Bansos Belum Cair
Sinyalemen Marwan terkait lambannya bantuan di zona-zona merah antara lain terjadi di Kota Bogor. Bantuan yang bersumber dari Pemkot Bogor ini akan disalurkan hari ini. Sementara penerapan PSBB akan berakhir dua hari lagi atau Rabu (29/4). "Sumber yang dari Pemprov sudah mulai dari tanggal 15 April lalu (awal PSBB), tapi sempat tertahan karena ada data yang salah input namun sudah direvisi. Mudah-mudahan penyaluran terus dilaksanakan sesuai dengan target," kata Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim yang juga menjabat Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Bogor, kemarin.
Pencairan bansos akan dilakukan bertahap dimulai hari ini dan proses penyalurannya dikerjasamakan dengan PT Pos Indonesia ke penerima langsung berbasis nama dan alamat (by name by address). "Sehingga tidak ada campur tangan aparat di bawah," ungkapnya.
Tak hanya itu, kata Dedie, nantinya aparat di wilayah akan dibekali list (daftar) nama penerima dari lima sumber bantuan baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun Pemkot Bogor. Bagi penerima akan ditandai dengan stiker jenis sumber bantuan, sehingga apabila ada penerima yang menerima bantuan berkali kali atau tidak tepat sasaran dapat diketahui warga lain.
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengakui bansos tidak bisa sangat cepat karena diberikan bertahap. Mensos menerangkan bahwa bantuan diberikan kepada keluarga rentan dengan cara transfer bagi pemilik rekening di bank milik negara atau himpunan bank Negara (Himbara). "Untuk yang tidak memiliki rekening di bank Himbara, maka penyaluran ke masyarakat diberikan melalui PT Pos," kata dia saat pembagian bantuan di Kantor Pos Curug, Kabupaten Tangerang, Sabtu (25/4).
Dia mengungkapkan, bantuan sosial tunai (BST) disalurkan kepada sembilan juta keluarga penerima manfaat (KPM) sebesar Rp600.000 per bulan. Pemberian bantuan dilakukan selama tiga bulan, BST diberikan di seluruh Indonesia, kecuali wilayah Jabodetabek. Di Jabodetabek, pemerintah telah memberikan bantuan sembako. (Abdul Rochim/Kiswondari/Haryudi)
Pemerintah harus lebih responsif melihat situasi di lapangan yang kian memprihantikan. Banyak warga kini kebingungan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum karena tak ada lagi pemasukan sehari-hari. Tak hanya di DKI Jakarta, fenomena ini juga mulai banyak ditemui di berbagai daerah.
Sejak Senin (20/4) lalu, sejumlah bansos memang secara resmi telah disalurkan ke masyarakat.
Namun hingga kemarin masih banyak warga yang belum bisa merasakan bantuan untuk perlindungan sosial tersebut. Di tengah kondisi krisis seperti ini, pemerintah juga jangan lagi berlaku terlalu prosedural karena akan semakin merugikan masyarakat. Aksi protes Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, Sehan Landjar kepada pemerintah soal berbelitnya pencairan bansos yang videonya viral di media sosial juga tak boleh dianggap masalah sepele.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, saat ini masyaraakt sudah banyak yang mengalami kelaparan. Dia mencontohkan sepupu tetangganya di kawasan Pancoran, Jakarta yang belum lama ini melahirkan, sementara suaminya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 15 hari lalu. “Dia tidak bisa makan. Ini ada kelaparan di tengah-tengah Jakarta. Artinya bantuan yang digembar-gemborkan pemerintah itu nonsense. Ini kasat mata," ujar Ujang, kemarin.
Banyaknya kasus kejahatan seperti penjambretan, pembegalan dan perampokan di siang bolong, menurut Ujang, juga menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai kelaparan. Karena itu, menurut Ujang, pencairan bantuan harus segera dilakukan. Namun, di sisi lain pemerintah juga harus memperbaiki persoalan data penerima. Data itu menjadi penting agar tidak ada kecemburuan dan memicu konflik di masyarakat "Kenapa ada bantuan yang tidak tepat sasaran, bantuan juga belum ada, acakadut, ini persoalan data antarkementerian saja berbeda-beda," tutur Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas juga menilai banyak kebijakan pemerintah yang masih lambat dalam menyikapi kondisi di lapangan dan bahkan tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Yang lebih dia sayangkan, di tengah kondisi ini, muncul sikap para pemimpin negeri ini yang justru terkesan menganggap tidak serius wabah Covid ini. Padahal masalah yang dihadapi rakyat saat ini benar-benar berat. Tak hanya soal pekerjaan, Indonesia sebenarnya sedang menghadapi ancaman ketahanan pangan. “Kita butuh pemimpin yang bergerak cepat, responsif menghadapi masalah, tidak justru selalu terlambat seperti sekarang,” tandas Gus Yaqut, panggilan akrabnya.
Dia pun mengajak seluruh kader Ansor di seluruh Indonesia untuk membangun rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesame masyarakat. “Jangan sampai kasus kelaparan yang menyebabkan meninggalnya saudara kita terulang lagi. Ini menyedihkan sekali,” tandasnya.
Senada dengan Ujang dan Gus Yaqut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang juga mengeluhkan persoalan data yang selalu tidak valid. Dalam rapat-rapat dengan pihak pemerintah, Komisi VIII sudah meminta agar segera dilakukan perbaikan data penerima. "Waktu dilakukan penambahan penerima bantuan non tunai (BNT) dan bantuan langsung tunai (BLT), kita sudah katakan bahwa penerima BNT yang 15,2 juta menjadi 20 juta KK itu segera dituntaskan datanya. Oleh pemerintah menyebutkan itu sudah ada di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial)," ungkap dia.
Namun, kata politikus PKB ini, dampak dari virus ini bahwa ada tambahan masyarakat yang terdampak yakni masyarakat miskin baru di luar DTKS, maka perlu disiapkan sekitar 6,7 juta keluarga. Terkait hal ini, Komisi VIII pun sudah mengingatkan agar dilakukan pendataan secara cermat termasuk melibatkan kepala desa yang langsung berhadapan di masyarakat. Sayangnya, kasus salah sasaran penerima terus mencuat, di antaranya yang tambahan 20 ribu di Jakarta. ”Ada PNS, ada orang kaya menerimanya," katanya.
Pihaknya juga menagih janji pemerintah bahwa pada April ini BLT nonreguler sudah semua akan cair. Namun faktanya hingga saat ini belum jelas. Dia mendesak agar bantuan itu segera cair, apalagi di zona-zona merah dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau isolasi yang membuat orang semakin terpuruk sehingga bantuan nontunai itu sangat diharapkan.
Marwan mengatakan, percepatan bantuan sangat diharapkan masyarakat. Namun di satu sisi, prinsip kehati-hatia juga jangan sampai diabaikan. Pihaknya juga menyarankan masyarakat yang terdampak, misalnya pekerja yang di-PHK atau para guru ngaji yang kini tidak lagi mendapatkan insentif karena kegiatannya libur untuk melaporkan ke kelurahan sehingga bisa dimasukkan sebagai data penerima bantuan.
Untuk membantu pengawasan pendistribusian bansos, kalangan DPR juga mengajak kerja sama media massa dalam menyerap aduan masyarakat. “DPR juga meminta agar pemerintah tidak kaku terkait dengan data penerima bansos dan terus memperbaharuinya,” terang Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto.
PSBB Segera Berakhir, Bansos Belum Cair
Sinyalemen Marwan terkait lambannya bantuan di zona-zona merah antara lain terjadi di Kota Bogor. Bantuan yang bersumber dari Pemkot Bogor ini akan disalurkan hari ini. Sementara penerapan PSBB akan berakhir dua hari lagi atau Rabu (29/4). "Sumber yang dari Pemprov sudah mulai dari tanggal 15 April lalu (awal PSBB), tapi sempat tertahan karena ada data yang salah input namun sudah direvisi. Mudah-mudahan penyaluran terus dilaksanakan sesuai dengan target," kata Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim yang juga menjabat Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Bogor, kemarin.
Pencairan bansos akan dilakukan bertahap dimulai hari ini dan proses penyalurannya dikerjasamakan dengan PT Pos Indonesia ke penerima langsung berbasis nama dan alamat (by name by address). "Sehingga tidak ada campur tangan aparat di bawah," ungkapnya.
Tak hanya itu, kata Dedie, nantinya aparat di wilayah akan dibekali list (daftar) nama penerima dari lima sumber bantuan baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun Pemkot Bogor. Bagi penerima akan ditandai dengan stiker jenis sumber bantuan, sehingga apabila ada penerima yang menerima bantuan berkali kali atau tidak tepat sasaran dapat diketahui warga lain.
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengakui bansos tidak bisa sangat cepat karena diberikan bertahap. Mensos menerangkan bahwa bantuan diberikan kepada keluarga rentan dengan cara transfer bagi pemilik rekening di bank milik negara atau himpunan bank Negara (Himbara). "Untuk yang tidak memiliki rekening di bank Himbara, maka penyaluran ke masyarakat diberikan melalui PT Pos," kata dia saat pembagian bantuan di Kantor Pos Curug, Kabupaten Tangerang, Sabtu (25/4).
Dia mengungkapkan, bantuan sosial tunai (BST) disalurkan kepada sembilan juta keluarga penerima manfaat (KPM) sebesar Rp600.000 per bulan. Pemberian bantuan dilakukan selama tiga bulan, BST diberikan di seluruh Indonesia, kecuali wilayah Jabodetabek. Di Jabodetabek, pemerintah telah memberikan bantuan sembako. (Abdul Rochim/Kiswondari/Haryudi)
(ysw)